December 20, 2011

Day 19

Day 19: point of view about Religion.

Kalau dipikir-pikir ini adalah tema yang berat, sensitive dan menakutkan. Aku yakin sedikit nih yang mau nulis tentang ini. That’s oke. Special for today, actually it’s a challenge for my self to measure how deep that I know about what I’ve discussed before. Sekali lagi, ini tantangan sbenarnya bersifat pribadi, nggak maksa orang buat ikutan apalagi memaksakan sudut pandang dan menyamakan persepsi.
Well, kita liat aja seberapa mampu aku bikin tulisan tentan g tema ini dalam waktu yang terbatas
(siapa suruh nunda-nunda!) let’s start:

Secara garis besar, kebutuhan manusia dapat dibagi jadi 2, Jasmani dan Rohani. Kebutuhan itupun bertingkat-tingkat; primer, sekunder, tersier. Bahkan seorang tokoh, Abraham Maslow, memnabgi tingkat kebutuhan ini menjadi 5 kebutuhan dasar; biologis, keselamatan, rasa aman, sosialisasi, harga diri, aktualisasi diri.
Kalau diperhatikan, seringkali kebutuhan tersebut bersifat material. Sayangnya, kebahagiaan seringkali diukur dan ditentukan oleh sejauh mana ia mampu memenuhi kebutuhan material, sehingga melupakan hal-hal yang bersifat immaterial seperti kebutuhan terhadap agama dan jiwa (batin).
Kebutuhan terhadap agama dan kebebasan dalam menjalankannya adalah kebutuhan yang paling asasi. dan hal-hal yang bersifat material ataupun immaterial sekalipun penting, merupakan instrument untuk terpenuhinya kebutuhan agama (kepercayaan) agar menjadi lebih baik.

Pada dasarnya, semua agama mengajarkan kepada pemeluknya agar berbuat baik. Dalam agama inilah ada system pandangan hidup yang menawarkan tentang makna dan tujuan hidup yang benar dan baik itu. berbeda dengan ‘idelogi’, agama memiliki tingkatan tertinggi, yaitu Tuhan. ‘Idelogi’ hanyalah system nilai yang menggiring manusia untuk bersikap ideal sesuai dengan kerangka berpikirnya.

Nah, agama adalah suatu hal yang sangat penting, karena sebenarnya disinilah titik kebutuhan yang paling hakiki. Yaitu adanya dorongan hati nurani untk selalu tunduk dan patuh pada Tuhan Sang Pencipta.

Lalu bagaimana dengan atheis? Memang, pada dasarnya atheis merupakan ideology yang menolak keberadaan atau eksistensi Tuhan. Namun, tanpa disadari, alam bawah sadarnya akan tetap ada satu bentuk pikiran yang mengarah pada Tuhan. Kita analogikan saja, dalam keadaan panik, atau terdesak, bahkan sekaratul maut, pikirannya bergantung pada Tuhan. Dia akan meminta pertolongan pada Tuhan.
Kita contohkan saja Prof Ehrenfest dan Prof Kohnstamm (Capita Selecta, hlm 113) yang meninggal akibat gantung diri. Seorang professor yang ilmu nya sangat dalam, semakin hari ternyata merasa semakin kehilangan tempat berpijak. Mereka merasa tidak ada ketentraan dalam hidup. Apa penyebabnya?   Karena kebutuhan batin tadi yang tidak terpenuhi. Hal-hal yang bersifat ruhaniyah tidak lagi memilik tempat bergantung, dan tidak ada lagis ebuah keyakinan dan pegangan dalam hidupnya. Mereka tidak merasakan sesuatu yang orang bilang: Kepercayaan kepada Tuhan.


Dengan demikian, kebutuhan akan kepercayaan terhadap Tuhan merupakan FITRAH manusia itu sendiri. Ini merupakan fitrah kemanusiaan yang tidak dapat begitu saja ditolak. Kenapa? Karena sejak di dalam kandungan saja, manusia sudah dibisikkan untuk pasrah dan tunduk kepada Sang Pencipta. Maka dari itulah, Tuhan mengizinkan seorang bayi lahir, karena dia telah menyepakati ‘perjanjian’ itu.

Masih ingat tentang analogi yang diceritakan di atas tadi kan? Kenapa seorang atheis memiliki sedikitnya pemikiran tentang Tuhan? Islam, punya jawaban ini.

Karena manusia cenderung pada pasrah dan tunduk  (hanif) (QS 6:79). Jadi, sebagaimanapun pemikiran tentang penolakan terhadap Tuhan, ada tempat dimana perjanjian yang pernah dia bikin bersama Sang Pencipta terucap, yaitu  alam bawah sadarnya. Pemikran alam bawah sadar inilah yang muncul dan memenuhi alam sadar.
Berbicara tentang agama, tidak bisa dilepaskan dengan konteks keyakinan dan Ketuhanan (Tauhid). 
Seperti kata M. Natsir (Capita Selecta, hlm 116)
Mengenal Tuhan, men-tauhidkan Tuhan, mempercayai dan menyerahkan diri kepada Tuhan, tak dapat tidak. Harus menjadi dasar bagi tiap-tiap pendidikan yang hendak diberikan kepada generasi yang kita latih. Meninggalkan dasar ini berarti melakukan suatu kelalaian yang amat besar yang tidak kurang besar bahayanya daripada berhianat terhadap anak yang kita didik. Walapun sudah kita sempurnakan makan dan minumnya, dan telah kita cukupkan pakaian dan perhiasaannya, serta sudah kita lengkapkan pula ilmu penegtahuan untuk bekal hidupnya. Semua ini tak ada artinya bila ketinggalan memberikan dasar Ketuhanan.

Lagi-lagi, Islam menjawab dalam QS 31:13 dan QS 3:112 (kalo nggak salah, kalau salah, mohon diralat yaaa…)
Lalu, Tuhan yang bagaimana yang harus disembah? Sebelum dijawab, mari kita logikakan saja.
ü Kalau seluruh kepercayaan (agama) itu benar, maka itu salah. Karena, tidak mungkin kebenaran itu berbilang, kebenaran itu hanya satu.
ü Tuhan, adalah Sang Pencipta, maka Pencipta tidak mungkin sama dengan Makhluknya.
ü Manusia memiliki keterbatasan, berarti Tuhan Sang Pencipta tidak terungkap oleh manusia tentang keberadaannya (gaib).

Sudah dapat logikanya?
Selamat berpikir J soalnya kalau dibahas disini kepanjangan.
Mari kita cari moment dan tempat lain untuk diskusi.



3 komentar:

Zamzami Saleh said...

Hmm capita selecta , buku yang dulu wajib dipegang oleh aktivis islam *terutama generasi HMI , PII , GPI*

Berbicara tentang logika ketuhanan , silahkan rujuk buku-buku aliran Asy'ariyah dan maturidiyah , yang memakai dalil2 logika berbalut dalil naql dan nash

Fhia said...

@Zamzami Saleh: dari pertama bikin tulisan ini udah nebak uda bakal komen :D
thanks referensinya..

baronisme said...

lakum dinukum waliiyadin aja ya...

 

tentangku © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates