April 19, 2015

Ketika Isi Blog Sudah Mulai Tidak Menarik Lagi

7komentar
foto diambil dari Mading 2.0 Blogger Palanta di #SMSFest2014

Sejak beberapa bulan belakangan, tepatnya sejak awal tahun deh, aku mulai nyadar kalau konten blog aku semakin monoton. Kalau nggak review buku , ya cerita jalan-jalan. 

Nggak hanya itu, kadar menulis di blog juga semakin berkurang sejak kerja. Yah, memiliki 5 hari kerja seminggu (diluar lembur) memang menguras waktu. Sisa 2 hari di penghujung pekan juga tentunya dihabiskan buat hal-hal lain dalam hidup seperti keluarga, teman (selain teman kantor, of course), komisariat, atau pacar (#eh, emang punya?). Belum lagi kalau ada acara ini itu, semakin berkuranglah waktu untuk diri sendiri yang benar-benar sendiri.

Meskipun begitu, aku bersyukur karena tahun ini sepertinya aku sudah bisa beradaptasi dengan ritme dunia kerja (aamiin) dan mulai bisa membagi waktu untuk membaca buku juga nyempet-nyempetin bikin postingan di blog. Tanpa harus memaksakan diri. Kalau lagi pengen ya aku kerjain. Kalau nggak, aku pun nggak menjadikannya beban. Dengan begitu, aku menjadikan semuanya menjadi lebih mudah untuk dijalani. Buktinya rata-rata tulisan di blog sampai dengan tiga bulan ini cukup stabil. Jumlah buku yang dibaca pun melampaui target bulanan. Dan walau bagaimanapun, kerja yang aku geluti sekarang adalah yang menunjang aku untuk tetap melakukan hal-hal yang kau inginkan, atas izin Allah. Alhamdulillah. Eits, aku kayak lagi ngasi laporan bulanan aja. Bahasanya formal banget.

Balik ke cerita awal. Tetep saja memang banyak hal-hal kecil yang sudah sangat jarang aku kerjakan atau aku pikirkan untuk kemudian dituliskan di blog. Misalnya, ‘mengurus’ organisasi tempat aku pernah menghabiskan waktu karena toh sekarang udah bukan jaman aku lagi, nontonin stok film di laptop three or four in a row apalagi film serial yang bahkan aku sendiri udah nggak terlalu minat lagi buat abisin stoknya tapi juga belum mau di-delete dengan harapan masih akan ditonton suatu saat nanti, blogwalking semaleman suntuk, atau bikin tulisan-tulisan ringan hasil melihat-melihat sekitar atau sekedar mengeluarkan sesuatu dalam kepala.

Poin terakhir itu...yang aku rindukan.

Dulu, ada-ada saja yang mau ditulis. Ada-ada saja yang bisa jadi bahan untuk di-update. Konten blog aku lebih penuh warna. Ada lirik lagu, video youtube yang di-share cuma karena suka lagunya, foto-foto nggak penting, tulisan-tulisan galau a la mahasiswa, sampai flashfiction yang pernah nongol beberapa kali di buku terbitan @nulisbuku. Wuiss...masa-masa jaya.

Bukan berarti sekarang tidak jaya lagi sih. Hahaha...

Huss, nggak boleh sombong.

Kalau dulu seseorang pernah bilang, blog aku bisa diibaratkan sebagai ‘aku’ dan gambaran hidup yang aku jalanin dalam bentuk tulisan, dari sejak jaman copy-paste bulletin board-nya friendster sampai sekarang. Lantas apakah di titik ini berarti hidupku hanya berkutat dengan kantor yang jarang aku tulis (emang pernah?), lalu buku yang aku baca dan tempat-tempat yang aku kunjungi? Hmm...rasanya tidak juga. Hal-hal kecil yang aku perhatikan masih banyak. Berbagai macam jenis perasaan masih bercampur dalam hati dan pikiran bahkan lebih rame dari sebelum-sebelumnya.

Hanya saja bedanya dulu aku menuliskannya. Sekarang tidak.

Ritme kehidupan sudah berbeda apalagi sejak negara api menyerang.

Buat aku, untuk menulis 2 halaman saja bisa menghabiskan waktu beberapa jam. Tulis ini, tulis itu, hapus sana sani, baca ulang lagi. Semuanya butuh waktu. Iyalah, menulis kan juga proses berpikir. Coba aja.

Dan untuk sekarang, menghabiskan waktu seharian penuh di depan layar laptop lagi setelah hampir seminggu juga seperti itu, aku nggak mau juga donk. Ini aja udah bikin minus mata nambah -_-“. Makanya terkadang, aku memilih membiarkan sesuatu entah apalah itu menari-nari di otak, lalu menuliskannya di draft atau notes smartphone tanpa ada beban (hanya keinginan) mesti dijadikan postingan di blog. Dan sesungguhnya dari situlah timbunan postingan berasal.

Yasudah, Nggak perlulah aku berpanjang lebar lagi di sini, mengurai alasan demi alasan kenapa isi blog aku sekarang tidak menarik lagi. You can think, whatever you want to think. I won’t judge whether it right or wrong. I don’t want to describe, either. Yang penting aku bersyukur (Alhamdulillah) karena masih tetap nulis, tetap nge-blog. Apapun tulisannya. Bahkan nanti, jika naik ke level kehidupan yang selanjutnya. Jadi tulisan-tulisan aku nggak lagi membosankan (itupun semoga masih punya kesempatan untuk tetap nge-blog). Dan yang lebih penting lagi, mudah-mudahan timbunan tulisan yang masih aja belum diposting bisa segera direalisasikan.   
Aaamiin.

Eh, postingan ini bukan review buku atau jalan-jalan lagi lho J

Jalan-Jalan Anti Mainstream: Puncak Pato, Sumatera Barat.

3komentar
Foto Papan Petunjuk ini diambil pas pulang dan saat itu udah mendung
Sepertinya tidak banyak orang yang mengenal nama Puncak Pato, termasuk teman-temanku yang juga orang Sumatra Barat. Buktinya, ketika aku seketika mengganti display picture BBM, banyak yang mengirim pesan yang sama: Ini dimana?. Dan ternyata pertanyaan tidak terhenti disana, karena berikutnya sebagian besar dari mereka menginginkan jawaban yang lebih detail tentang lokasi ini. 

Disaat orang-orang sedang memboomingkan beberapa spot wisata pantai atau pulau di Sumatra Barat, aku memilih jalan-jalan kesini lebih dulu, biar nggak kena efek rame karena orang pasti berbondong-bondong ke daerah yang lagi sering disebut-sebut.  

Puncak pato sebagai tempat wisata memang tidak setenar Puncak Lawang di Agam atau tempat-tempat lain di daerahnya, seperti Tabek Patah yang sekarang terkenal dengan home industry Kiniko atau Istano Basa Pagaruyung. Mungkin karena keduanya terletak di pusat pariwisata sehingga gampang untuk dikunjungi. Sedangkan untuk menuju Puncak Pato masih harus menempuh 17 km lagi dari Batusangkar dengan kondisi jalan yang menanjak dan tentunya belok-belok ke daerah bernama Lintau Buo. Berada tepatnya di Nagari (desa kecil) Batu Bulek, Puncak Pato sebenarnya bukan hanya untuk wisata alam tapi juga objek wisata sejarah.

Pohon Pinus
      Untuk masuk kesana, kita mesti membayar Rp 4.500,- per orang. Setelah itu kita mesti berjalan menuju puncak, ada dua jalur kiri dan kanan. Terserah mau lewat mana duluan. Ya.., namanya juga puncak bukit, spotnya memang bisa buat ngider dan ujung-ujungnya akan balik ketempat semula.

Aku memilih jalan kanan duluan. Kalau lewat tangga ini, di sisi kiri adalah hutan pinus, dan sisi kanan adalah pemandangan daerah Sungayang. 

Pemandangan dari Atas Puncak Pato

Keliatan banyak puncak bukit-bukit lain
Yang menjadi main-spot Puncak Pato adalah Monumen Perjanjian Sumpah Satiah Bukit Marapalam. Ada yang bilang mestinya Sumpah Satie atau Sati, karena katanya Satie/Sati itu artinya sakti. Bunyi sumpah itu adalah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Masih inget donk, pertentangan antara Kaum Adat dengan Kaum Agama yang menjadi pemicu terjadinya Perang Paderi? Nah, ‘sumpah’ tersebut ternyata hasil dari kesepakatan tiga unsur kepemimpinan di Minangkabau yang terkenal dengan Tigo Tungku Sajarangan, bahwa antara adat dengan agamas ebenarnya tidaklah bertentangan. Adat itu mesti berdasarkan Syarak/Agama, dan Agama berdasarkan Kitabullah (Alqur’an). Maka dibangunlah tiga buah patung yang melambangkan sosok Cadiak Pandai (intelektual), Niniak Mamak (sosial masyarakat) dan Alim Ulama (agama). 
main spot
Kesepakatan ini terjadi di bukit Marapalam yang merupakan bukit tertinggi Kabupaten Tanah Datar. Marapalam berasal dari kata ‘Merapatkan Alam’, yang mengandung makna untuk merapatkan tiga Luhak yang ada di Minangkabau: Luhak Agam, Luhak Tanah Datar, dan Luhak Limo Puluah Koto. Apa itu Luhak kayaknya nggak usah dijelasin disini ya. Nanti kepanjangan jadinya -_-“. Bener kan, jadi inget masa-masabelajar BAM alias Budaya Alam Minangkabau pas sekolah dulu. Nah, puncak bukit tertinggi ini dinamakan Puncak Pato, yang katanya pato itu berarti pakta alias perjanjian.





Yang namanya puncak otomatis udaranya sejuk. Hanya saja..banyak kekurangan yang aku temui disini. Mulai dari kamar mandi yang nggak ada (ada sih, setelah pintu mauk, tapi kondisinya kotor banget, dengan rumput tinggi dan bikin ogah buat masuk), tempat shalat yang nggak ada, dan tidak terawat. 
Padahal, sebelum kesini, aku udah googling via google maps karena nggak tau jalan dan buka beberapa situs media lokal dan blog pribadi, aku  terpesona dengan pemandangannya yang bagus. Tapi ternyata, pemandangan bagus ini nggak didukung dengan fasilitas yang cukup. Bahkan sebuah bangunan dekat monument penuh dengan coret-coretan dan menimbulkan efek ‘peninggalan sejarah’ tersendiri. Bikin nggak nyaman buat berfoto disana deh jadinya. 

bangunan ini udah penuh dengan coretan
     Hal berbeda lainnya adalah warung yang katanya ada justru nggak aku temuin. Untung banget udah makan siang ketika masih di daerah Sungayang (p.s: ada warung nasi enak di Sungayang. Lokasinya sebelah kiri jalan di daerah pasar). Jadi kalau mau kesana pas nggak moment liburan, lebih baik bawa air minum dan cemilan sendiri aja deh. Mungkin adanya warung hanya di hari libur panjang atau lebaran aja kali ya, pas pengunjung lagi rame. Memang sih, pas aku kesana suasananya tidak terlalu ramai. Sebagian besar pengunjung adalah anak-anak masih berbaju sekolah yang nggak langsung pulang, beberapa keluarga dan of course...couple(s). 
Nggak apa-apa foto sendiri, yang penting gaya :D




Nambah satu, Bundo Kanduang. Tapi sayang, nggak pake rok atau baju kurung. Posenya gitu pula -_-"

nggak lengkap kalo nggak selfie








di arah kebawah sana, banyak pohon tebu 
Jalan Pulang

Then, who’s to blame atas ketidaknyamanan ini? Pemerintah? Kasian ya pemerintah disalahin terus karena nggak ngurusin tempat wisata bagus plus bersejarah kayak gini. Pengennya tentu penduduk setempat atau paling tidak, pengunjung juga ikut membantu dengan nggak nambah masalah, kayak yang nyoret-nyoret gitu.   
      Mudah-mudahan suatu saat kesini lagi, tempat ini bisa lebih terawat dan lebih ‘dijual’ ke masyarakat luas.  


Jalan Pulang dari Puncak Pato
     Pas pulang ke Padang, aku mengambil jalan ke Padang via Solok. Berharap bisa mampir ke Danau Singkarak, eh malah keburu hujan pas disana. 

Perjalanan Pulang ke Padang



Jl. Raya Batusangkar-Solok





Pemandangan dari rumah makan pinggir jalan menuju Singkarak
berasa pengen nyemplung


Notes of April, 4th 2015. 

April 18, 2015

[review] Norwegian Wood - Haruki Murakami

3komentar

Judul : Norwegian Wood
Penulis: Haruki Murakami
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Halaman : 426 halaman
Cetakan Keempat: Mei 2013 
ISBN: 9789799105639

Terinspirasi dari salah satu tumpukan buku yang ada pada banner #100DaysofAsianReadsChallenge, aku rela meminjam buku ini dari seseorang yang sama penasarannya denganku terhadap Haruki Murakami. Thanks a bunch, you J
Kalau kita membaca buku yang sama dengan orang lain, kita cuma bisa berpikir seperti orang lain.
Kalimat yang mungkin terdengar familiar itu ternyata berasal dari buku Norwegian Wood. Sayang, aku lupa nyatet di halaman berapa. Tapi ya begitulah, pertama kali membaca karya Haruki Murakami, sama dengan membuka satu lagi jendela di otakku. Norwegian Wood adalah novel yang katanya ‘tepat’ bagi  siapapun yang ingin memulai membaca karya-karya Haruki Murakami. Mungkin karena ini adalah novel yang realistis, tidak seperti novel lainnya (p.s: 1Q84 adalah salah satu yang masih menumpuk di kamar dan masih berplastik).

Berlatar di tahun 1969, Murakami bercerita tentang kehidupan Toru Watanabe dalam perubahan budaya Jepang. Sepertinya Haruki Murakami penyuka musik dan literature barat, karena banyak referensi lagu-lagu dan literature yang oke, sampai aku rela buat bikin notes untuk kemudian dicari tau. Contohnya aja judul novel ini, yang ternyata adalah judul lagunya Beatles, which is, aku juga baru tau.  

Selama membacanya, aku terbawa dalam alur mundur yang santai, tidak terburu-buru, jalan ceritanya nggak gampang ketebak, dan yang paling penting adalah ada kesan yang ‘tidak biasa’ di akhir-akhir bagian. Mungkin karena berkahir dengan question ending kali ya. Apalagi pada Naoko dan Midori, dua perempuan unik (bahkan semua perempuan di buku ini punya karakter yang unik, atau aneh?) yang menghuni sebagian besar hati Toru.

Ini kisah cinta? Iya,

Antara Toru dengan Naoko.
Antara Midori dengan Toru.
Antara Naoko dengan Kizuki.
Juga Nagasawa dengan Hatsumi dan perempuan lainnya.

Bahkan cenderung mengarah ke perbuatan seks bebas. Nggak hanya itu, ada satu bagian yang menceritakan tentang disorientasi seksual, the-so-ewww-part-of-this-book, salah satu tokoh perempuannya (yang tadi aku bilang unik) juga cerita tentang hubungan tante-tante sama brondong, haha. Buat aku pribadi sih nggak masalah dengan hal  ini karena imho, nggak vulgar kok. Bagi yang biasa membaca karya Eka Kurniawan, NH Dini (di beberapa judul), Gitanyali, de el el, it’ll really doesn’t matter. Hanya saja buat siapapun yang tidak biasa, mungkin akan terganggu dengan pendeskripsian yang yaaa...bisa dibilang terang-terangan.  

Apa hikmah dibalik novel ini? I don’t know. I just can’t describe it. Sepanjang cerita, aku hanya larut kedalam detail emosi tokoh-tokohnya: kesepian, keheranan, kemudian terombang-ambing dalam kebingungan karena masalahnya nggak selesai. Lalu bunuh diri. Haha,..nggak lah. Cukup beberapa tokoh di buku saja yang harakiri, kita nggak usah.  
Yang paling penting adalah tidak tergesa-gesa. Meskipun persoalannya sedang kusut berbelit-belit dan sulit ditangani, kamu tidak boleh putus asa dan memaksakan diri untuk meluruskannya secara paksa dengan amarah. Kamu harus punya tekad untuk menyelesaikannya secara perlahan, urai satu demi satu. – Hal. 171
Setelahnya, aku langsung buka youtube buat dengar lagu Norwegiaan Wood. Di bagian terakhir liriknya:

And when I awoke I was alone, this bird had flown
So, I lit a fire,isn’t it good, Norwegian Wood?

Dan entah kenapa sensasinya sama dengan saat membaca novel ini. Or maybe it’s just me.
Jangan mempercayai orang yang mengatakan bahwa dirinya orang biasa-biasa saja – Hal. 164
P.S: Jadi pengen nonton filmnya. 

April 17, 2015

[review] Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990 - @pidibaiq

0komentar

Judul : Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990
Penulis: Pidi Baiq
Penerbit : DAR! Mizan
Halaman : 330 halaman
Cetakan Kedua: Juni 2011 
ISBN: 9789792268843

Salute to Surayah!
Karena ini pertama kalinya aku baca tulisan @pidibaiq dalam sudut pandang seorang perempuan namun menceritakan ‘dirinya’. Hebatnya, Milea, si tokoh utama tidak ‘tertular’ dalam menceritakan Dilan yang aneh bin ajaib.
Dilan adalah sebuah kisah cinta remaja yang unik dan diceritakan dengan cara unik pula. Sederhana, nggak ribet, nggak terlalu banyak tokoh yang dilibatkan, menghibur dan bikin senyam-senyum sepanjang membacanya. Dan tentu aja, ada sedikit ‘waaa...pengen kayak gitu juga’-effect.
Berlatar pada tahun 1990, ketika Milea dan Dilan masih duduk di SMA, ceritanya juga lengkap dengan kenakalan yang dilakukan Dilan dan kawan-kawan khas anak sekolahan. Pun Milea juga digambarkan tidak sempurna. Ada bagian-bagian dimana dia ngambek ketika tidak diperhatikan, galau-galau nggak jelas, or anything about it.
Buat laki-laki yang butuh inspirasi cara mendekati perempuan, bisa deh studi banding lewat buku ini. 

April 05, 2015

Dari Kebun Teh Ke Danau Di Ateh, Alahan Panjang, Sumatera Barat

3komentar
 Spoiler Alert: akan banyak fot-foto pada postingan kali ini. Kalau bikin loading nya lama, maap-maap aje yeee... coz I can’t stand to post it all.

Yeay! Akhirnya jalan-jalan.

Ceritanya ini berlangsung sebelum memasuki masa-masa closing di kantor. Liburan sebelum lembur menghadang. 
Sebenarnya di Alahan Panjang terkenal dengan beberapa tujuan wisata. Ada Kebun Teh, Danau Kembar (Danau Diateh dan Danau Di Bawah), Danau Talang, dan beberapa spot yang belum banyak yang tau. Tapi karena nggak mungkin semuanya dikunjungin dalam satu hari dan kondisi saat itu mendung (bahkan sempat hujan gede) jadilah hanya ke Kebun Teh dan Danau Di Ateh.  Meskipun udah kesini sebelumnya, tapi boleh lah ya, kesini lagi. 

Sisa peninggalan Belanda


Sitinjau Lauik

Pemandangan sepanjang jalan menuju solok
        Menuju ke Alahan Panjang kita akan disuguhkan pemandangan berupa Bukit Karang Putih yang merupakan bukit batu kapur tempat pengambilan bahan baku untuk pembuatan semen. Nah, karena itu juga di dekat sana bakal keliatan gerbang kantor pusat PT. Semen Padang *uhuk*. Sebelum memasuki perbatasan Padang-Solok, juga ada Taman Hutan Raya Dr. Mohammad Hatta, yang aku nggak pernah tau ini gimana cara masuknya.  Jalan menuju ke Solok atau Alahan Panjang ini memang sedikit berliku. Bahkan ada tikungan yang cukup menantang dan ada jurang di sisinya, terkenal dengan nama Sitinjau Lauik.  
Langit AlahanPanjang yang mendung

Lubuk Selasih





Belum lengkap kalo nggak selfie 


Kebun Teh Alahan Panjang adalah salah satu tempat favorit aku buat jalan-jalan. Berhawa sejuk dan nggak terlalu jauh dari Padang (Cuma 65 km, kalau kata Google), Kebun Teh terletak di Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok. Hamparan teh ini juga ada yang dikelola oleh PTPN VI. Tapi aku nggak tau pasti juga sih berapa luasnya. Untuk foto-foto di kebun teh ini, kita tinggal menitipkan kendaraan di warung-warung yang jualan mie rebus disana. Sedangkan untuk memasuki hamparan kebun tehnya, GRATIS!!!



Panorama Mode



selfie sukaesih (lagi)













kotak kecil Rp 5.000, kotak besar Rp 10.000

ada yang jual strawberry


PTPN VI
      Dari kebun teh, aku melanjutkan perjalanan ke Danau Di Ateh (Danau Di Atas). Terkenal dengan istilah Danau Kembar karena punya pasangan yaitu Danau Di Bawah. Nah kan, danau aja punya pasangan...(silakan dilanjutkan). Penamaan danau ini sebenarnya kontradiktif, karena letaknya berkebalikan. Danau Di Ateh, dapat dilihat dengan jelas karena letaknya yang di bawah. Sedangkan untuk menuju Danau Di Bawah, kita mesti melalui jalan ke arah atas bukit.   







ini jalan yang ketutup rumput


lagi-lagi rumputnya tinggi




    Di Danau Di Ateh, juga tersedia beberapa villa yang bisa disewakan. Cuma sayangnya pas aku kesana kondisinya sedang tidak terawat. Rumputnya yang tinggi, agak kotor, dan posisi warung-warung yang tidak teratur, bikin miris. Padahal terakhir kali aku kesana, kondisinya masih bagus banget, Aku inget, dulu ada tenpat yang mirip jembatan dan bisa dijadikan spot foto. Ternyata...pas kesana, aku kaget karena tempat itu udah dipenuhi semak yang tinggi dan nggak kliatan lagi karena udah tertutup.

villa yang bisa disewakan



Oleh-oleh Khas Solok

Gunung Talang 
Enjoy the photo(s)! Mana tau jadi tertarik buat kesini.
 

tentangku © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates