January 31, 2011

Sedikit Cerita

0komentar

Boleh kah saya menumpahkan sedikit kekesalan?
Hanya sekedar berbagi cerita, agar rasa tidak enak ini tidak berlama-lama mendiami  hati.
Sedikit perasaan kesal, capek, dan geregetan yang bercampur aduk terhadap seseorang.
Orang yang harusnya saya hargai, karena posisinya sebagai ketua dari salah satu organisasi yang saya geluti.


Sebenarnya perasaan ini sudah mulai muncul beberapa minggu belakangan, yang sampai saat ini sedikit mengganggu. Pada beberapa orang saya kerap menceritakan kekesalan ini. Dan tak henti-hentinya juga mereka menenangkan saya dan memberikan pernyataan: ‘yaah,,,begitulah ketua kita.’ Atau ‘biasa itu..itu pula dinamikanya..’


Entah saya yang lalai dengan tugas dan memang ketua saya yang membiarkan saya mengambil inisiatif sendiri, atau memang dia terlalu sibuk sehingga lupa dengan hal-hal yang sebenarnya juga menjadi tanggung jawabnya..saya sendiri tidak tahu.
Saya hanya bingung,.


Pertama, mengenai rapat. 


Rapat presidium dan harian saja tidak teratur, bahkan inisiatifnya (lagi-lagi) bukan dari dia. Saya bukan pecinta rapat. Tapi saya cukup sadar, sekali-sekali rapat itu perlu untuk membahas perkembangan program kerja, baik itu proyeksi maupun evaluasi. Apalagi kalau ada hal-hal urgent yang memang butuh dibahas bersama. Masalah sedikitnya kuantitas anggota rapat, saya fikir hal wajar. Bukankah itu biasa terjadi di organisasi manapun?

Tapi yang saya tak habis pikir, dalam beberapa kali rapat justru ketua yang tidak ada. Kalau ketua saja sudah tidak ada, bagaimana pengurus lain mau hadir?  Lain halnya ketika beberapa pengurus mendesak diadakan rapat saat ketua tidak di tempat (luar kota). Kami masi punya etika untuk meminta izin rapat dan menjelaskan agenda yang akan dibahas. Setelah izin kami dapat, lantas kenapa mempermasalahkan hal-hal yang justru bukan agenda penting rapat? Bukankah kami sudah melaporkan hasil rapat? Kalau memang tidak puas dengan hasil laporan kami, jangan tanya ke satu orang saja. Resikonya besar. Mesti dilihat:
1.            Apakah dia mengikuti rapat dari awal?
2.            Apakah dia serius saat rapat berlangsung?
3.            Apakah dia ikut mengeluarkan pendapat tanpa ada omongan di belakang?
4.            Apakah dia mendengarkan semua pendapat peserta rapat?
5.            Apakah informasi yang dia berikan cukup representative tanpa mencampurkan pemikiran subjektif?



Kedua, tentang program kerja.


Entah kenapa, akhir-akhir ini ketua saya hanya menanggapi apa yang pengurus lakukan dengan sedikit komentar dan pujian. Pertanyaan, sekali-sekali. Selebihnya..lagi-lagi dilepas sesuai kreatifitas masing-masing. Sebenarnya, pada poin ini sih saya suka. Tapi masalah timbul, ketika dia mulai mengacak-ngacak apa yang sudah kami buat. Padahal diawal-awal sudah diberi lampu hijau untuk melakukan sebagaimana yang terbaik menurut kami. Saya tidak menutup diri untuk diberi  saran dan perbaikan. Sekali lagi, SARAN, bukan PAKSAAN. Saya cukup tahu kalau saya orang yang keras kepala. Tapi dalam hal tukar pendapat, saya masih sering meminta dan mendengarkan pendapat teman-teman pengurus lain koq. Kalau saja ketua saya mau mendengarkan pendapat dan masukan dari teman-teman pengurus lain, sesungguhnya mereka punya ide-ide cemerlang lho.


Satu lagi yang sangat saya sayangkan adalah tentang kontribusi. Saya tidak mau menghitung-hitung kontribusi. Teman-teman saya banyak yang lebih baik kinerja nya ketimbang saya. Hanya saja, ketika saya butuh ketua dalam hal koordinasi dan menggerakkan massa, saya tidak mendapatkan hal itu. Alasannya pun aneh. Pertama, membawa kultur organisasi kita, yang katanya kekeluargaan. Kalu begitu, buat apa dibentuk pengurus? Kenapa kita ga pake system siapa yang mau kerja, hayo kerja. Saya rasa dengan dipercayakannya kita sebagai pengurus, disinilah kita belajar untuk professional. Kedua, alasan berproses. Saya fikir, yang berproses disini ya kita semua, bukan saya dan segelintir orang saja. Rasa-rasanya akan lebih indah jika kita sama-sama berproses, karena kita masih sama-sama belajar. Kita belum alumni, yang selayaknya punya kapasitas untuk berkata demikian.      



Ketiga, hal-hal kecil yang krusial.


Pada suatu moment, pernah saya iseng untuk tidak menanyakan apa yang harus saya lakukan. Ego saya menyuruh untuk tidak melakukan apa-apa, dan membiarkan diri saya melihat siapa yang akhirnya bergerak. Ternyata, tidak bisa. Baru beberapa jam, sudah banyak yang menghubungi saya, menanyakan apa tindakan pengurus. Sumpah, pada saat itu emosi saya naik. Saya hanya ingin break beberapa hari sebelum saya mengeluarkan tenaga ekstra untuk program kerja yang sudah hampir di depan mata, tapi malah saya tidak bisa punya waktu libur. Lagipula, pengurus kan bukan saya seorang.
Saya sendiri heran, kenapa saya tidak bisa seperti yang lain, yang bisa dengan mudahnya tidak peduli. Dengan perasaan yang tak karuan, ketika saya bertanya ke ketua, saya malah mendapatkan jawaban yang benar-benar menguji kesabaran. Tapi apalah mau dikata, karena segan ke beberapa alumni yang bertanya ke saya, saya langsung menawarkan solusi ke ketua. Meski ternyata, jawabnnya hanya: ‘oke fia, bagus itu..’.  



Ah, ketua..
Apalagi dari kami yang kurang?
Percayalah, ketika kami (beberapa) sudah melangkah, kami tidak akan mundur. Kami cukup tau, ketika kami diamanahkan sebagai pengurus, itu berarti kami harus berkorban tenaga, waktu, uang dan pikiran. Toh, ini bukan kali pertama kami menjadi pengurus organisasi. Kalau kita berhasil, tentu kekompakan kita akan semakin erat. Kalau kita gagal, saya rasa kita masih bisa evaluasi diri dan mencoba lagi nantinya. Ada harga diri dan nama baik yang kami bawa. Tapi yang lebih dari itu, ada kepuasan batin yang ingin kami rasakan.


Begitulah..
Hmmm..ternyata keluh kesah saya terlalu panjang.
Sekali lagi, saya hanya mengeluarkan uneg-uneg. Saya juga akan belajar bersikap professional tentunya, saat nanti membawa diri sebagai sesama pengurus atau sebagai adik. Saya tidak mau merusak ‘kekeluargaan’ kita yang sudah terkenal di luar sana.



Masa kepengurusan kita hampir habis dan masih ada agenda besar yang harus kita selesaikan. Saya tidak berharap masa kepengurusan kita akan berakhir denagn indah. Saya lebih memilih kepengurusan kita bisa menggoreskan satu kesan mendalam dan tidak mudah dilupakan.



31.01.11 – 11:25 pm. Rumah

January 30, 2011

Words on SHG,sekali lagi

0komentar
Betapa kuat pun kekuasaan, seseorang tetap masih memiliki kemerdekaan untuk berkata ‘Ya’ atau ‘Tidak’, meskipun cuma di dalam hatinya.
--Arief Budiman (kakak Gie)

Kita tak pernah menanamkan apa-apa,kita tak ‘kan pernah kehilangan apa-apa.
--Gie

Berbeda dengan seorang moralis yang penganut etika absolute, walaupun dia mengetahui bahwa dia akan dibunuh, dia tak akan membunuh orang itu meski diapunya kesempatan. Menurut saya, itulah Soe Hok-Gie.
--Luki Sutrisno Bekti (wartawan senior Media Indonesia)

Tugas mahasiswa dengan demikian seperti sang jagoan:
Ia kembali ke kampus dan belajar dan kaan turun ke jalan, kalau keadaan kacau dan masyarakat memerlukan bantuan. Kami tak keberatan tokoh mahasiswa jadi politisi, tapi ia harus masuk partai dan tak mewakili eksponen mahasiswa.
--A. Dahana (guru besar sinology FIB UI)

Puncak Gunung salak, seakan mengingatkan kita untuk turun kembali ke bawah dan untuk selanjutnya menaiki puncak-puncak lain; mengingatkan kita bahwa masihbanyak perjuangan yang harus dilakukan. Masih banyak puncak yang musti didaki seberapapun beratnya.
--Nicolas Saputra (pemeran Gie, dalam GIE)

Sejarah tidak dibelah garis tegas yang membatasi ‘sini’ dan ‘sana’. Gie menyediakan ruang bagi kebimbangan dan ketidakpastian, wilayah abu-abu, yang tidak mungkin ada dalam dunia kontras hitam-putih.
--Hilmar farid (Sejarawan)

Semangat mahasiswa untuk tetap beregrak sebagai kekuatan moral, mudah-mudahan tidak memudar walau zaman telah berganti.
Mahasiswa akan tetap menjadi kekuatan moral yang diandalakan, meski mereka adalah kekuatan anomi yang tidak memiliki struktur organisasi yang baku.
--Ikrar Nusa bakti (Profesor LIPI Jakarta)

Setiap era selalu memilii momentumnya sendiri, dan biasanya sangat khas bagi zamannya, dan tidak berulang.
Satu hal yang utama dalam memperjuangkan sebuah cita-cita adalah pentingnya jaringan agar cita-cita memilik pijakan, tidak dipendam dalam kelompok sendiri yang sudah tentu terbatas kapasitasnya.
Kita tidak perlu lebih maju atau lebih unggul daripada bangsa lain. Kita tidak menjadi bahan tertawaan saja rasanya itu sudah cukup.
--Aris Susanto (aktifis, lulusan FSUI/FIB UI)

Being modern meant being able to stand up to those in power and see them for what they really are.
--Ben Anderson (Profesor di Univ. Cornell)

Gie:
· Dalam peperangan, bagaimanapun tidak seimbangnya kedua kekuatan yang sedang berhadap-hadapan, di antara mereka pastilah ada usaha yang bagaimanapun kecilnya untuk menghabisi lawannya atau paling sedikit membela diri.
· Sesuatu tidak bisa dilihat dan ditengarai secara hitam-putih. Selalu ada ruang abu-abu dalam kenytataan sejarah, sehingga kita tidak bisa berpendapat yang ini benar yang ini salah. Selalu ada kemungkinan untuk melihat fakta peristiwa dari banyak sudut pandang yang beragam dan berbeda.
· Memberikan penilaian terhadap sikap seseorang bukanlah soal yang sederhana. Karena dunia bukanlah hitam danputih. Setiap tindakan mempunyai motif-motif yang bersumber pada pandangan hidup seseorang.
· Lebih baik bertindak keliru, daripada tidak bertindak karena takut salah. Kalaupun saya jujur terhadap diri saya, saya yakin akhirnya saya akan menemukan arah yang tepat.
30.01.11 – 02:14pm. Rumah

January 29, 2011

Soe Hok-Gie..,sekali lagi

0komentar

Diiringi lagu Donna Donna oleh Joan Baez aku mencoba melukiskan sosok Gie yang hanya kukenal lewat buku, tulisan dan film.

Sejujurnya aku mengenal lagu ini sejak kelas 6 SD dari kaset Felicia’s folks song papa. Tapi aku lebih menyukai versi yang kukenal pertama kali, karena lebih nge-beat dan lebih country. Jadi lebih semangat aja.

BUku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya. . . .
Sosok Gie baru kukenal ketika film GIE yang disutradarai oleh Riri Reza, diproduseri oleh Mira Lesmana dan diperankan Nicholas Saputra rilis tahun 2005. Sebelum nonton film ini, aku rela ngantri berhari-hari demi dapat gilran untuk meminjam buku Catatan Seorang Demonstran dari seorang teman (waktu itu masih kelas 2 SMA). Niat awalnya supaya nanti sedikt lebih mengerti jalan cerita yang kata teman-teman pada saat itu berat dan membingungkan.

Megembalikan memori ke jaman SMA saat aku membaca buku CSD teryata tidak mudah. (Apalagi mereka yang telah mengisi tulisan untuk buku ‘SHG, sekali lagi’ ya..). Aku mencoba mengingat-ingat apa saja yang kutangkap pada saat itu. Yang kuingat adalah betapa aku terpesona akan tulisan Gie yang kritis tapi juga puitis. Kontras, memang. Tapi itu kenyataannya. Kritis, ketika tulisannya yang di muat di koran selalu mengritik pemerintahan dengan lugas dan sangat berani. Puitis, ketika membaca kumpulan puisi, catatan haran dan beberapa suratnya.

Saat itu puisi Gie yang paling terkenal berjudul ‘Sebuah Tanya’ (1 April 1969). Puisi yang sampai saat ini masih jadi favoritku dianatara semua puisi Gie.
Setelah memabaca buku ‘SHG,sekali lagi’ baru kutau ternyata puisi favorit Gie dan beberapa pengagumnya justru ‘Mandalawangi-Pangrango’ (19 Juli 1966). Namun ada potongan puisi itu yang kusuka:
“Hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi tanda tanya,
Tanpa bisa kita mengerti, tanpa bisa kita menawar
Terimalah, dan hadapilah”

Menurut mereka yang mengenal Gie secara langsung, Gie adalah sosok yang idealis, kritis, pembela rakyat, selalu memperjuangkan HAM, nasionalis, dan bersemangat.

Tidak berlebihan, kurasa.
Menurutku Gie memang sosok dengan intelektual yang tinggi, berani, konsisten dan tangguh. Dengan kondisi Indonesia yang masih belum stabil, semasa hidupnya Gie berani mengeluarkan tulisan yang jujur dan tajam. Tulisan yang begitu murni dari pikrannya. Mengingat bagaimana pada masa itu pers belum memiliki tingkat kebebasan dan keterbukaan seperti sekarang, Gie sebenarnya hidup dalam ancaman. Dalam bahasa minang, dia adalah sosok yang mada. Dia bisa saja dibunuh sewaktu-waktu karena tidak pernah kapok mengkritik pemerintah.

Gie adalah penulis yang produktif. Terbukti semasa hidupnya yang singkat (27 tahun), ia mampu menghasilkan 100an lebih artikel yang di muat di koran, 132 surat (temuan Stanley JA Prasetyo), dan catatan harian yang ditulis di buku biasa.

Dan aku iri pada kemampuannya yang dengan mudah tetap menulis tanpa pernah kehabisan inspirasi. Kurasa hobi mendaki gunung yang menjadikan dia selalu punya waktu untuk menjernihkan pikiran atau sekedar having sweet escape dari segala rutinitas dan dinamika kehidupannya.

Idealis. Gie adalah aktifis yang independen dan bebas. Selain aktif di Mapala dan Radio UI, Gie pernah menyandang ketua SM (Senat Mahasiswa)-FSUI, GMS (Gerakan Mahasiswa Sosialis) dan GP (Gerakan Pembaruan). Dialah yang menolak organisasi ekstra kampus yang merupakan antek-antek partai atau keagamaan masuk kedalam dunia kampus. Karena sikap bebas nya juga Gie memutuskan untuk tidak lagi bergabung dengan GP karena dirasa tidak lagi sejalan dengan hatinya.
Dengan menyandang status ‘mahasiswa’ yang berbeda zaman dengan Gie, aku salut dengan kepeduliannya terhadap rakyat, politik, dan pemerintahan. Dan bagaimana kepeduliannya itu benar-benar direalisasikan, dalam bentuk perbuatan dan tulisan.

Aku memang bukan mahasiswa yang seperti itu. Kusadari aku adalah orang yang realistis. Yang hanya melihat dan membaca situasi dan ujung-ujungnya berfikir, ya…begituah adanya…

Aku tidak mempunyai tingkat kepedulian setinggi itu untuk mengkritisi setiap hal politis yang terjadi di negri ini. Aku hanya suka membaca berita lalu sekedar mendiskusikan dengan beberapa senior dan teman-teman. Sebatas itu. Aku juga bukan orang yang suka turun ke jalan dan melakukan aksi. Aku malah cenderung kontra terhadap demonstrasi. Menurutku tidak begitu cara untuk menyalurkan apresiasi dan kritik agar didengar. Tentunya aku punya alasan sendiri dalam hal ini.

Ada satu hal yang kusuka dari sikap independen Gie. Hidupnya tidaklah tentang hitam dan putih. Ketika dia memilih sesuatu, hal itu lantas tidak berarti membuatnya langsung tidak suka pada pilihan lainnya. Gie menyediakan ruang abu-abu untuk kebimbangan dan ketidakpastian.

Berbeda dengan ‘Catatan Seorang Demonstran’ yang berisi tentnag tulisan-tulsan Gie, Buku ‘Soe Hok-Gie,sekali lagi…’ merupakan gabungan tulisan-tulisan tentang sosok Gie dari orang yang pernah mengenal dan berinteraksi langsung dengannya dan juga orang yang belum pernah bertemu namun terinspirasi dan kemudian mengaguminya.

Mungkin aku bukanlah pengagum Gie seperti mereka yang telah menulis di buku ini. Namun dari perepektifku dan dengan segala keterbatasan pengetahuanku tentang Gie.., aku mengakui Gie termasuk sosok fenomenal di zamannya.


Sebuah Tanya
Akhirnya semua akan tiba
Pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih berbicara selembut dahulu
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
Sambil membenarkan letak leher kemejaku
(kabut tipis pun turun pelan-pelan
Di lembah kasih, lembah mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjad suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika kudekap kau
Dekaplah lebih mesra, lebih dekat
(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi
Kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
Kau dan aku berbicara
Tanpa kata, tanpa suara
Ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)
Apakah kau mash akan berkata
kudengar derap jantungmu
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta
(hari pun menjadi malam
Kulihat semuanya menjadi muram
Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
Dalam bahasa yang kita tidak mengerti
Seperti kabut pagi itu)
Manisku, aku akan jalan terus
Membawa kenang-kenangan dan harapan-harapan
Bersama hidup yang begitu biru
29.01.11 – 10:28 pm. Rumah

Menunggu Kicauanmu

0komentar
Tahukah kamu?
Setiap saat aku menunggu kicauanmu dalam garis waktu ku
Tapi kicauanmu hanya sesekali muncul.
Dan itu bukan untukku.
Namun bolehkah aku sekedar percaya bahwa kamu menanti dan membaca kicauanku dalam garis waktumu.
Kuharap begitu. Kuharap kau tau.

January 28, 2011

Resume: HmI on Seminar

0komentar

I. “Catatan Aktifis Untuk Idealisme dan Pergerakan”

Oleh: Andi Mastian


Mahasiswa idealnya adalah lapisan masyarakat yang punya pemikiran luar biasa. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kiprah mahasiswa semakin tidak kelihatan baik dalam pada aktivitas maupun semangat intelektualitasnya.

Faktor yang paling dirasa paling berpengaruh adaah beban sejarah yang terlalu berat. Harus diakui, sejak zaman Orde Lama, sampai Reformasi, perjuangan dan pergerakan mahasiswa sangat terasa sekali.


Beban sejarah yang terlalu berat ini mungkin menjadikan mahsiswa mengalami kelelahan intelektual dan kehilangan kreatfitas. Akhrnya mahasiswa terjebak pada rutinitas organisasi dan akademis tanpa dinamika yang berarti. Tidak terdengar lagi pergerakan-pergerakan yang dilakukan mahasiswa.

Bisa silihat hanya sedikit mahasiswa yang tertarik ketika membahas masalah pergerakan, idealisme, aksi atau perjuangan. Mungkin selera berganti, tapi hedaknya jangan sampai rasa kepedulian tentang hal itu hilang. Karena Indonesia, masih butuh pemikir-pemikir yang diharapkan bisa menjadi pemimpin yang bisa membawa ke arah lebih baik.


II. “Seputar Pergerakan Mahasiswa: Idealisme, Realita, & Generasi yang Akan Bangkit”

Oleh: Riki Eka Putra


Citra mahasiswa sebagai manusia yang punya pemikiran dan pergerakan untuk masyarakat cenderung memudar. Tidak ada lagi aksi-aksi atau kegiatan yang dimotori oleh mahasiswa. Kenyataannya, kegiatan cepat tanggap atau aksi-aksi yang mengkrirtisi suatu kebijakan baik itu pemerintah nasional ataupun local justru dimotori oleh aktifis dari LSM.


Lalu, kemana mahasiswa? Terlalu sibuk dengan kuliah kah?


Seandainya mahasiswa tidak lagi tertarik dengan pergerakan, idealisme, politik, pemerintahan, hampir bisa dipastikan nasib Indonesia secara garis besar tidak akan lebih baik. Karena, pemikiran yang kritis berasal dari otak mahasiswa. Jadi jika kemudian mahasiswa tidak memilih untuk menjadi aktifis, kepada siapa Indonesia bisa berharap?

Masih belum terlambat sebenarnya. Acara yang diadakan dengan niat menghimpun mahasiswa untuk berdiskusi bisa diadakan dengan packaging yang lebih menarik. Mungkin tidak melulu dengan demo, aksi turun ke jalan, atau seminar yang mungkin terkesan membosankan.



Bisa saja, diadakan bedah buku yang dikemas dengan konser musik, diskusi dalam coffe break. Sehingga mahasiswa dituntut untuk lebih kreatif dalam membaca selera zaman. Tema yang diangkat pun harus disesuaikan dengan kebutuhan dan trend mahasiswa sekarang. Harus ada perubahan strategi dan taktik agar tidak terkesan ketinggalan jaman.

Ketika mahasiswa telah merasakan nikmatnya menjadi aktifis, dia akan bisa merasakan yang dilakukan adalah candu. Karena yang aktifis lakukan dan sumbangkan adalah pemikiran, yang harganya tak ternilai. Satu hal yang harus diingat, ketika telah memilih utuk menjadi seorang aktifis, mahasiswa harus siap menanggung beban sejarah.

27.12.10

kepompong

0komentar







Aku masi mengukir kata tentang kalian.

Ternyata ga pernah cukup, sepanjang apapun cerita ku.

How I miss these days guys…

Kapan ya kita liburan lagi??

 

tentangku © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates