June 23, 2015

[review] Jejak Langkah - Pramoedya Ananta Toer

1 komentar

Judul : Jejak Langkah
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tahun : 2007
Halaman : 724
Rating : 5 of 5
Yang lain-lain akan datang dengan sendirinya. Semua membutuhkan permulaan. – hal 319
Finally Jejak Langkah is done.

Begitulah aku memulai tulisan ini. Siapa sih yang meragukan kepiawaian Pram dalam membuat pembaca Tetralogi Buru hanyut dalam emosi dan pikiran masing-masing? I will not tell you about the way he describes the stories, the twist, the character that he creates, or anything, not at all. Seperti dalam dua novel pendahulunya Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, selalu ada rasa yang tertinggal di endingnya. Seperti ada ketidakrelaan buat nutup buku ini sambil nyeletuk, “udah abis aja? I want more!”.

Nggak, aku nggak melebih-lebihkan.

Like what I said in every review I’ve made; Silakan baca sendiri.

Anakkku sudah jadi pujangga. Sekarang hendak jadi dalang pula. Setelah itu kau hendak jadi apa lagi? Hal. 85
Jangan jadi dalang tiada cerita. Tanpa anakwayang pun dalang masih bisa, tapi tanpa cerita...anakwayang pun dia sendiri tidak. – hal 450

Menikmati Jejak Langkah memang sedikit berbeda dengan dua buku sebelumnya. Jejak Langkah terkesan lebih ‘serius’ karena mengingatkan aku dengan pelajaran sejarah jaman dulu kala. Beberapa tokoh yang berperan dalam awal pergerakan nasional kerap disebut-sebut. Contohnya Bung Tomo, Abdoel Moeis, Gadis Jepara a.k.a R.A Kartini. Proses lahir dan berkembangnya Budi Utomo, Syarikat Priyayi, dan Syarikat Dagang Islam sebagai generasi pertama organisasi pergerakan pribumi di Hindia menjadi poin penting dalam menggugah kesadaran berbangsa.

Let me give my very subjective point of view, karena belom baca yang keempat ya; Jejak Langkah sepertinya menjadi novel yang lebih ‘kaya’ dibandingkan yang lain. Tidak hanya tentang kehidupan sosial bermasyarakat Minke, yang berasal dari golongan pribumi, ataupun kehidupan asmaranya yang mulai menunjukkan keseriusan dalam merancang masa depan karena mulai memikirkan untuk memiliki anak sebagai penerus jejak langkah yang telah ia tempuh, tapi karena beberapa fakta sejarah berhasil dipadukan dalam sebuah fiksi.

Semangat nasionalisme menjadi potongan-potongan yang paling menarik. Bagaimana seorang Minke, yang pada zaman itu sudah mampu menjadi sosok yang visioner, bahwa berorganisasi saja tidak cukup kalau masih bersifat kedaerahan.
Jangan anggap rendah bangsa-bangsa lain. Jawa kita ini hanya satu titik kecil di tengah-tengan samudra, Bunda. Setiap bangsa juga punya kebesarannya. – hal 632

Oiya, potongan-potongan kisah pergerakan dalam novel ini bisa menjadi referensi yang menarik dalam penyampaian materi-materi terkait kemahasiswaan dan organisasi, apalagi kalau pesertanya adalah mahasiswa yang baru-baru belajar untuk aktif berorganisasi.    
Berorganisasi sebagai permulaan, belajar berorganisasi secara modern, melalui praktek langsung. – hal. 196
Perjuangan di jaman modern membutuhkan cara-cara yang modern pula: berorganisasi. – hal 255
Dan hanya dengan organisasi, Tuan, golongan lemah bisa menunjukkan kekuatan diri sebenarnya. – hal 396

Well, mungkin bagi beberapa orang buku ini bakalan bikin cepat bosan karena sifatnya yang padat sejarah. Paling tebel juga.

Ah, anakku, kan sudah berkali-kali kukatakan: belajarlah berterimakasih, belajarlah bersyukur, anakku. Kau, aku, berlatihlah mulai sekarang, Nak, berterimakasihlah, dapatkan pada segala yang ada padamu, yang kau dapatkan dan kau dapat berikan. – hal. 75
Tak ada satria lahir, tumbuh perkasa tanpa ujian. – hal 201
Bila akar dan batang sudah cukup kuat dan dewasa, dia akan dikuatkan oleh taufan dan badai. – hal 360

June 08, 2015

[review] Please Look After Mom: Ibu Tercinta - Kyung Sook Shin

0komentar


Judul : Please Look After Mom: Ibu Tercinta
Penulis: Kyung Sook Shin
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 296 halaman
Cetakan Keempat: April 2015 
ISBN: 9789792274868


Rumah adalah benda yang sungguh aneh. Benda-benda lain jadi semakin usang kalau sering digunakan, dan kadang-kadang kita bisa merasakan racun seseorang kalau kita berada terlalud ekat dengannya, tapi tidak demikian halnya dengan rumah. Bahkan rumah yang bagus pun akan hancr dengan cepat kalau tidak ada yang mampir mengunjunginya. Rumah hanya terasa hidup kalau ada orang-orang yang tinggal di dalamnya, menyentuhnya, menjadi penghuninya. – hal. 245

Sudut pandang yang membingungkan. Sampai di bab ketiga aku nggak tau siapakah yang menceritakan cerita ini? meski lama-kelamaan dengan sedikit pemikiran ‘anggap aja bener’”, aku cuek aja, tetep lanjut baca, dan akhirnya ngerti sendiri.  

Full of Question.
Jadi si Ibu kemana?
Sosok lelaki yang diceritakan di bagian IV itu siapa?
Ketemu nggak akhirnya?
Pertanyaan-pertanyaan ini yang kemudian muncul tanpa terjawab.
Tapi mungkin karena that unanswered pints, buku ini jadi banyak kejutan yang nggak disangka-sangka.

Dan karena aku perempuan, yang paling menarik adalah potongan cerita bersama Chi-Hon dan si bungsu.

Kalau dilihat dari isi cerita, mengguggah adalah kata yang aku piker tepat, untuk kita kembali merenungkan bagaimana kita bersikap ke orang tua, khususnya Mama, selama ini. kita diingatkan lagi bahwa semakin kita dewasa, orang tua kita juga semakin tua. Ibu, yang kita lihat sekarang, toh tidak semerta-merta menjadi Ibu. Ibu kita sekarang dulunya jugalah seorang anak, yang punya mimpi dan harapan tentang kehidupan pribadinya, jugalah seorang adik atau kakak yang pernah bertengkar, pernah bergai dan pernah bersama. Tipe-tipe aku nggak mungkin deh nggak mewek baca buku beginian. Langsung kangen Mama pastinya. Some part of story, bakal mengingatkan kita tentang beberapa realita yang terjadi sekarang.  

Kalau dipikir-pikir, banyak kata-kata yang bagus disini. Sampe bingung sendiri mau milih kalimat yang mau di-stabilo-in. Yang ada ntar malah kebanyakan stabilo bukunya. Jadi yang ditulis disini ala kadar aja deh:

Kalau dipikirkan baik-baik, sebagian besar hal di dunia ini tidak terjadi dengan tiba-tiba. Bahkan sesuatu yang dianggap tidak biasa, kalau dipikir-pikir, sebenarnya sesuatu itu sudah ada gelagat akan terjadi. Menemukan kejadian-kejadian yang tidak biasa seringkali berarti kau tidak memikirkan hal-haltersebut baik-baik – hal. 39

Mana bisa kita hanya melakukan hal yang kita sukai? Ada hal-hal yang mesti dilakukan entah suka atau tidak. Kalau kau hanya melakukan apa-apa yang kau sukai, lalu siap yang akan mengerjakan apa-apa yang tidak kau sukai? – hal. 74

Tapi ku bahagia waktu kalian, anak-anak, tumbuh dewasa. Bahkan waktu aku sibuk bukan main sehingga tidak sempat membetulkan ikatan handuk di kepalaku, kalau melihat kalian duduk di seputar meja, sambil makan dan membunyikan sendok dengan berisik di mangkuk-mangkuk, rasanya tidak ada lagi yang kuinginkan di dunia ini. – hal. 75
Ibu melakukan hal-hal yang tidak akan sanggup dilakukan satu orang sendirian. – hal 269
 

tentangku © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates