October 29, 2011

Suatu Pagi Di Kosan

2komentar

Suatu Pagi Di Kosan.

Pagi sakral saya dinodai dengan keisengan online dan membaca garis waktu yang tidak begitu penting. Dan sepertinya itu adalah konsumsi paling berbahaya di pagi hari (semoga kedepannya aku ingat untuk tidak melakukan ini lagi). Garis waktu pagi ini dipenuhi oleh kicau seorang perempuan yang memiliki ketertarikan lebih terhadap dunia politik. Sepintas lalu memang tak ada salahnya dari hal ini. Namun, keisenganku pagi ini adalah membayangkan kondisi emosional si perempuan ini kalau nanti, ketika dia sudah menikah dan memiliki anak, mengawali setiap harinya dengan perbincangan politik.  Kasihan juga anaknya. Yah, mudah-mudahan saja nanti anak-anaknya memilik ketertarikan yang sama. Karena kalau kata Kahlil Gibran, kata paling indah yang diucapkan seseorang adalah Ibu.
Kadang aku juga ingin menjadi seorang wanita karir yang punya dunia sendiri. Tapi kemudian, ketika aku pikir lagi, aku nggak mau menentang kodrat untuk menjadi seorang Ibu. Seperti Mama, yang selalu ada buat anak-anaknya. Mama yang nggak pernah bilang: Mama sibuk, lagi rapat. Telpon nanti aja. Atau, mama ada jadwal kampanye. Haduh, nggak kebayang.

Ah, sudahlah. Masih pagi.
Penghayatan pagi yang asyik sudah ternodai dengan perdebatan dalam kepala tentang filsafat hidup perempuan. Jalanku masih panjang. Belum tau akan menghadapi apa nanti. Belum tau akan merangkai hidup yang seperti apa dan menghadapi konflik seperti apa. Terlepas dari keinginan-keingnan hati tentunya.
Karena toh secara personal, berdamai dengan konflik internal tidak kalah berbahayanya dengan menentang konflik internal. Penerimaan atau penolakan nanti akan tumbuh dengan proses logika untuk mencari solusi.

Sudaaaah…
Mari bangkit dari tempat tidur ini dan hidupkan musik. Breaking Benjamin sepertinya bisa membantu membesarkan pupil mata yang masih sayu.

*catatan di blocknote. Tertanggal 24 oktober 2011.

October 28, 2011

Letih

0komentar

Maaf.
Lagi-lagi aku membiarkanmu.
Mengabaikan kata-katamu yang meminta aku pergi
Bukan karena aku tidak percaya.
Bukan karena aku tidak peduli.
Tapi karena mendebatmu kamu lebih menguras tenaga lagi.
Ide-ide milikmu yang kamu masukkan dengan paksaan, juga alas an-alasanku yang terus-menerus kamu lawan.
Jadi bagaimana kita bisa satu suara ketika apa yang kamu pikirkan sudah dipatenkan sebagai sesuatu yang benar?
Maka sekarang, terserah keadaan saja.
Aku sedang letih.

*catatan ini ditemukan di blocknote.  Juli 2011. Tanpa tanggal.

Quote from “The Big Bang Theory”

0komentar
Quote from “The Big Bang Theory”



§  Is the autumn cruel for letting go the flowers die? Or is that just the nature’s way? (Leonard – season 4 ep.18)

§  You know, sometimes stuff just happens and there’s nothing you can do about it. (Penny – season 4 ep.6)


§  Like Schrodinger’s cat, your relationship can be thought of as both good and bad. By opening the box that you’ll find out. (Sheldon – season 1)

§  So, we’re in the different places emotionally. So what? And maybe I’m just a little bit ahead of you. That’s fine. (Leonard - season 3 ep.19)

October 27, 2011

Berkat NgeBlog

0komentar

Berkat NgeBlog:
·       Bisa jadi ajang reuni virtual sama sahabat” satu gank.
Sebelum aku bikin blog pribadi, dulu aku dan 5 orang sohib yang udah sekelas dari kelas 1 SMP mulai bikin blog sejak mau perpisahan SMA. Niat awalnya supaya bisa update kabar masing-masing, info, kisah cinta, dan yang penting gossip. Boleh mengababil, boleh sedih, boleh curhat juga pastinya. Kami yang mencar-mencar di Padang, Bukittingi, Bandung, Nangor dan Jakarta bisa cerita panjang lebar tanpa keterbatasan karakter. Kita punya warna masing-masing.
ü Hafizhah (aku sendiri. Alias Vhey. Padang) à biru
ü Hilza Fatia (alias Jack. Bukittinggi) à donker
ü Yulia Hulva (alias toey. Jakarta) à hijau
ü Violyna Riberta (alias Lyna. Padang) à orange
ü Siti Fisner (alias She. Bandung) à pink
ü Dede Fitriana (alias cha. Nangor) à merah
http://thecutiestgalz.blogspot.com. Aktif sejak Maret 2008. Ada 247 postingan. Postingan terkahir tanggal 18 April 2011. Mulai belakangan makin jarang yang posting. Kalo dulu susahnya harus ke warnet atau connect ke wifi. Kalopun ol, via hp aja. Makin lama makin sibuk dengan aktifitas lain yang mungkin lebih menarik. Tambah lagi virus males. Kumplit deh. Blog nya mulai ditinggalin. Ttapi cerita kami abadi disana. Mudah-mudahan begitu juga persahabatan kami. Sexy Six.
·       Bisa membunuh malam-malam sepi di asrama waktu tahun pertama kuliah.
Buat maba kayak aku yang dapet status mahasiswa nya dari PMDK dan International Program diwajibkan masuk asrama. Sumpah, jadi anak asrama adalah pengalaman yang patut untung dikenang tapi pantang untuk diulang. Mahasiswa angkatan 2007 adalah angkatan ketiga yang tinggal di asrama yang terkenal ‘angker’ buat kawasan kampus. Soalnya banyak kasus kesurupan juga pas kami baru masuk. Lagipula atmosfernya yang dingin dan masih sepi karena baru ditempati bikin lengkap penderitaan. Fasilitas masih kurang. Toko-toko atau mini market belom ada. Lokasi asrama yang masih dalam lingkungan kampus juga bikin nggak betah karena jauh buat kemana-mana. Kalau udah malam, jangan harap ada angkot. Ditambah lagi peraturan-peraturan yang nggak jelas dan pengelolaan yang nggak asik banget. LDR-an pula ama pacar. Kayaknya menderita banget ya?
Nah, untungnya ada wifi. Dan untungnya, kamar aku (roesma 2.17) adalah kamar yang akses internetnya bagus. Nggak tau kenapa, karena di kamar sebelah dan beberapa kamar lain sering ngadat koneksinya. Bermodal wifi gratisan, laptop yang baru dibeliin (jaman itu belom banyak yang punya) dan snack, tiap malem puas deh internetan. Bosen cuma ngutak-ngatik friendster (masi eksis ya?) dan facebook,mulai deh belajar ngeblog. Tiap hari blognya dirusin. Padahal nggak sering nulis juga. Cuma gonta-ganti theme aja. Hehehe…

October 25, 2011

Magazimaniac

0komentar

Magazimaniac
Oleh: Hafizhah

“Pergi bentar ya Ma,”
“Masih hujan, Ni… Bentar lagi aja…” seru Mama dari dapur.
“Tenang aja Ma. Nanti keabisan.”
Runi berlari menembus hujan.
-----
Di dalam kamar, Runi mengeluarkan isi lemari bukunya. Tepat ketika ia membuka lemari bagian bawah, semua isinya tumpah, berjatuhan di pangkuan Runi dan karpet yang terbentang. Seolah tak terjadi apa-apa, Runi berdiri dan membuka lemari bagian atas.
Bruuukkk…
        Dengan sigap Runi berpindah selangkah ke kiri. Ia mengangkat pundak dan dan mngeraskan rahangnya menahan kekagetan. Runi tersenyum memandang apa yang baru saja dilakukannya. Ia melihat seisi kamar yang telah penuh dengan berbagai majalah. Pintu kamar seketika terbuka. Mama. Runi terkesiap. Ia lupa mengunci pintu.
        “Runi ngapa…”
        Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, pandangan Mama beralih ke isi kamar yang sekarang seperti kapal pecah. Kemudian matanya tertuju pada lemari buku besar yang seluruh pintunya terbuka kecuali pintu kaca. Runi terkekeh. Tepat pada saat itu pula ekspresi Mama berubah. Mata Mama membesar dan nafasnya tertahan. Nada bicaranya berubah dingin.
        “Tolong kamu jelaskan apa yang terjadi disini anak muda.”
        “Runi lagi ngerapiin kamar, Ma.”
        “Iya, tapi ini apa?”
        “Mm…mm…majalah…” Runi bingung. Plis deh ma, ini aja ngggak tau, batin Runi.
        “Uang darimana kamu bisa beli majalah sebanyak ini?”
        “Uang jajan ada, tabungan ada, uang ikut proyek dosen ada, upah nulis cerpen juga ada, Ma. Kalau yang ini dibeliin Papa. Nah, yang ini hadiah dari Kak Iim waktu Runi ulang tahun. Kebetulan yang ini ada hadiah langsungnya, Ma. Buku agenda yang Runi pakai waktu tahun dua kuliah. Trus…yang ini…” jelas Runi sambil menunjuk-nunjuk majalah yang berbeda.
        “Udah! Maksud Mama kok bisa sebanyak ini?”
        “Kan udah dari SMA, Ma”
        “Buat apa sih? Buang-buang uang aja! Cuma bikin numpuk di lemari kan?”
        “Yaaahhh…Ma. Aku kan mau kerja di majalah, Ma. Kan seru”
        “Iya, tapi kan nggak harus numpuk-numpukin gini. Sampai penuh gitu lemarinya. Udah nggak muat lagi. Inget dong, kamu tuh udah sarjana. Jangan kayak anak-anak gini deh.” 
        “Kan belajarnya dari sini, Ma” suara Runi melunak.
        “Ah, itu nyampah aja. Udah deh, sekarang lemari bukunya udah nggak muat kan? Kamu ambil kardus sekarang. Masukin yang udah nggak perlu gitu. Simpen aja di gudang. Kalau ada tukang loak Mama jualin aja. Ada-ada aja kerjaan kamu!”
        Mama membalikkan badan, lalu menutup pintu. Runi terdiam.
-----
        Hujan masih lebat. Namun Runi sudah siap dengan payung di tangan kanan.
        “Ma, pergi sebentar ya…”
        “Kemana, Nak?”
        “Emm…5 menit kok, Ma.”
        “Loh? Mama kan nanya kemana. Bukan berapa lama. Kok kamu nggak…”
        Ucapan Mama terpotong ketika melihat Runi sudah berlari keluar pagar. Jantung Mama berdegup lebih cepat. Jangan-jangan…
        Mama buru-buru ke kamar Runi. Tak ada yang berubah. Lebih rapi, batin Mama. Mama memandang sekeliling. Kemudian penglihatannya terhenti pada sesuatu berwarna coklat yang disandarkan ke lemari buku. Kardus yang diambil Runi masih terlipat rapi. Mama mengambil kardus itu dan memutar kunci lemari yang tergantung. Koleksi majalah Runi dari SMA sudah tersusun rapi didalamnya.

October 20, 2011

Bimbang

0komentar

Terbuat dari apakah perasaan itu?
Hingga ia bisa datang tiba-tiba, lalu menguap tiba-tiba pula.
Dari ada menjadi tiada.
Serupa apakah perasaan?
Serupakah dengan buku yang harus disampul dengan kertas berupa warna?
Tertutupi dari ihwal sebenarnya. Sedih ditutupkan riang. Tangis ditutupkan tawa.
Serupa apakah perasaan?
Hingga ia kadang begitu kekal. Kadang pula fana.
Kadang bertahan di hati. tak jarang pula hanya singgah sebentar
Terbuat dari apakah perasaan?
Hingga kadang ia selembut sutra. Meski tak jarang sekeras karang.
ajari aku tentang perasaan. agar tak bimbang terhadap rasa.



Sunset

0komentar

When I posted this picture, it doesn’t mean that I like to go to beach. I just have no choice. But I think, among all beaches places in Padang, I like this angle the most. One of my favorite places. Even though, I prefer something ‘green’.



 see what I see..

 this is not the place that people usually comes. It isn’t crowded here. Yet, I guess.

Have any idea about what i've found?



 Final Step? i don't think so..coz the story is not over yet..

October 19, 2011

Me, thinking

0komentar

Segala sesuatu yang bergerak lambat kadang membuat aku kacau. Ada kerinduan untuk berada di tengah dunia yang bergerak menantang. Hectic. Tetapi aku juga harus bahwa aku benar-benar butuh berada di sini. Di kesepian ini. Hanya untuk bisa merasakan berlapis-lapis diriku seutuhnya. Meski kadang ada ketakutan ketika memutuskan bahwa kita butuh waktu dan ruang untuk menggerayangi diri kita sendiri.

October 18, 2011

Perempuan Pertama

1 komentar

Perempuan Pertama
Oleh: Hafizhah

Seperti biasa aku menunggumu di ambang  senja.  Saat kakimu mulai letih dan pundakmu rapuh. Wajahmu terbeban oleh setumpuk masalah di kantor. Kau kembali menemuiku. Memelukku dalam bisu. Kemudian aku menatapmu, jauh ke dalam matamu. Ada gelisah yang kau simpan di sana.
“Kenapa sayang?” tanyaku
“Tadi siang Fatia menelfonku. Nirina sakit. Sejak kemarin panas badannya belum turun. “
        Tenggorokanku tercekat. Pantas saja. Anakmu sakit. Setiap Ayah pasti akan cemas jika itu menimpa anak perempuannya. Buah hati yang selalu ada dalam ceritamu. Tiap kata yang meluncur dari mulutmu selalu tentang Nirina dan sejuta tingkahnya yang menggemaskan. Tentang panggilan ‘Ayah’ yang keluar dari bibir mungilnya. Tentang keluhmu ketika si kecil lebih memilih Bunda-nya hanya karena kau larang dia berlari terlalu cepat agar tidak terjatuh. Semua tentang dia. Selalu tentang dia. Hatiku teriris setiap kali mendengarnya. Tak jarang aku berteriak dalam hati agar kamu mau menghentikan ceritamu dan memintamu memandang wajahku. Menikmati sedikit waktu yang kita punya. Tapi aku juga tak mau merampas senyum itu dari wajahmu. Sehingga aku memilih menarik semua teriakan hatiku dalam kebisuan.
        Aku melepasakan pelukanku. Menunduk dan tersenyum pahit. Namun cepat aku menguatkan hatiku, seraya berkata,
        “Kalau begitu, pergilah. Kamu Ayah yang baik.”
        Kamu terpana memandangku. Tapi aku tahu kamu juga tak kuasa meminta hal itu langsung dari mulutmu. Malam ini seharusnya malamku. Malam kita. Sekilas kulihat tatapan kasihan terpancar dari sana. Kamu buru-buru memelukku lagi. Aku tau kamu berterima kasih atas keputusanku ini. Dan aku yakin kamu tengah berpikir untuk membayar pengorbananku. Kamu tak akan tahu, setiap waktu yang hilang tak akan pernah bisa terbayar oleh papaun. Karena bagiku, kehadiranmu adalah segalanya.
        “Cuma buat malam ini. Aku akan mengabarimu,” janjimu.
        “Sampaikan salamku pada Fatia. Aku juga mendoakan kesembuhan Nirina.”
        Tentu saja semua itu agar kamu sgera kembali dalam pelukku. Setelah mengecup bibirku, kamu berlari ke mobil sambil mengeluarkan kunci dari saku. Bisikanku tenggelam dalam suara mesin mobil yang menderu.
        “Aku merindukanmu,”
        Kamu meninggalakanku sebuah senyuman. Aku menatapamu, melepasmu sampai mobil yang kamu bawa hilang dari pandangan. Ketika itu juga seluruh pertahananku hancur. Tangisku pecah.

October 17, 2011

Di Atas Kereta

0komentar

Di Atas Kereta
Oleh: Hafizhah

Pa,
Dulu Papa pernah bilang kalau menulis itu melegakan. Apalagi kalau hati sedang menanggung beban berat. Marah, sedih, rindu, cinta, bahkan maaf. Tapi entah kenapa aku tak pernah mencobanya. Bukan meragukan kata-katamu, Pa. Tapi meragukan kemampuan ku untuk menulis dan merangkai kata yang bagus. Nilai menulisku di kelas Bahasa dulu tak pernah lebih dari 7. Kurasa, aku tak punya bakat. Aku juga takut kalau maksud dan tujuanku tak tersampaikan lewat tulisan. Bagiku, berbicara lebih asik. Lebih langsung dan lebih ekspresif.
Tapi Pa, jangan marah kalau aku baru mencobanya sekarang ya? Butuh keberanian besar untuk menuliskan kalimat pertama. Takut salah. Takut jelek. Takut berhenti di tengah jalan. Tuh, bener kan Pa? Baru saja mau mencoba semua ketakutan sudah muncul lagi. Ah, bingung..
Pa,
Kabarku baik kok Pa. Selalu baik. Aku punya teman-teman yang baik disini. Memang tak selalu ada untukku Pa, karena yang bisa seperti itu cuma Mama dan Papa. Aku jarang sakit. Meski sering begadang, merokok dan pola makanku tak teratur, rasa-rasanya aku menjadi sosok yang lebih kuat sekarang. Aku sanggup tidak tidur tanpa sempoyongan besoknya Pa. Buat Papa, itu bukan suatu yang patut dibanggakan ya? Tapi bagi aku dan teman-teman, itu prestasi Pa.  
Kuliahku,..hmm,…. Aku berterima kasih karena Papa tidak pernah menuntutku. Tapi aku tau, akhir-akhir ini, hal itu yang menjadi beban buatmu. Aku mengerti dari raut wajahmu tertahan sebuah pertanyaan. Yang dulu pernah Papa lontarkan padaku dan seketika perasaanku berubah. Pertanyaan yang bisa membuatku uring-uringan. Itu juga yang membuatku malas pulang ke rumah. Padahal 2 jam perjalanan tidak akan ada artinya jika dibanding dengan senyummu yang menungguku di teras rumah dan urap sayur buatan Mama.

#F

0komentar

Ini adalah kicauanku di twitter dalam hashtag #F. daripada ilang begitu aja, mending dipindahkan kesini. Sayangnya, ini ga semua…yang lama-lama ga mau kebuka lagi..:(

Kenangan.
Kita pernah ada di suatu masa. Bersama. Walau kini tak sama, jangan lupakan indahnya.
Ada yang tak pernah selesai kita bincangkan. Tentang hati, nurani, ketakutan, kepedihan. Mungkin karena kita tak tahu kapan selesai itu berawal.
Maaf untuk semua yang terlambat kulakukan dan kuingkari.
Apa lagi yang tertinggal setelah bayangan memudar selain kenangan?
Adakalanya kesendirian menjadi hadiah ulang tahun terbaik. Keheningan menghadirkan pemikiran yang bergerak dan megapungkan kenangan. Hening menjadi cermin untuk berkaca. Suka atau tidak hasilnya.

Hujan.
Hujan, pada malam yang memelukku. Mendekap erat. Tapi cuma sekejap. Karena kau pergi lagi.
Aku kekasih hujan. Setiap ia turun, aku menari.
Karena kau hujan, maka aku menadahmu. Untuk setiap tetes airmu.

Rindu.
Sepertinya hatiku memar. Baru saja rinduku padamu mengeroyoknya.
Aku bertukar kabar dengan angin. Berharap salah satunya menembus jendelamu dan beritahumu bahwa aku rindu.
Kadang aku berpikir, aku sengaja menciptakan rindu. Kusimpan tak temu, agar kamu mencariku. Tapi seperti tembok..semua memantul ke aku.

keluarga lagi

0komentar
Mungkin karena didikan orang tuaku untuk saling mencintai, menghargai dan mengasihi satu sama lain, rasa itu tumbuh sangat kuat.
Jangankan untuk merasakan kehilangan, memikirkannya saja aku tidak sanggup.
Makanya, ketika melihat orang lain tidak peduli dengan keluarganya, padahal keluarganya sangat baik dan perhatian, itu menjadi tanda tanya besar buatku.
Kenapa bisa?
Kenapa sampai hati?
Kenapa harus berfikir dua kali?
Rasa-rasanya buatku ketika ada moment, pasti sesegera mungkin aku menemuinya, merasakan cinta di dalamnya.
Yah mungkin saja, semua kembali pada rasa dalam hati.
Dan apa yang dikeluarkan hati adalah pilihan juga.

October 16, 2011

Jangan Salahkan Hujan

0komentar

Jangan Salahkan Hujan

Oleh: Hafizhah
(Terinspirasi Blame It On The Rain by He is We)

Semilir angin langsung menyerbu masuk ketika pintu ruangan terbuka. Mataku beralih dari novel yang sedang kubaca ke sosok di yang melangkah memasuki ruangan. Sesaat nafas ku terhenti. Rahangku megeras. Sosok tinggi, agak kurus, dengan tas gitar di punggung menatapku, senyum. Dia mengambil duduk tepat di sampingku dan memindahkan gitar ke pangkuannya. Aku terpana. Aroma Gatsby Woods memburu penciumanku. Senyum tadi hilang digantikan dengan kernyitan di kening.
“Hoi! Pake bengong. Bales senyum gue kek. Kalo tadi ada orang, malu tau. Gue senyum nah elo nya diem aje. “
“Iyaaah..nih.. Gue senyum. Udah kan?”
The Godfather di tanganku langsung mendapat saingan. Tiba-tiba novel itu tak lagi menarik ketimbang berbincang dengannya. Gerry, mahasiswa Fakultas Ekonomi angkatan 2006, belum tamat, hobi main gitar dan game online, selalu memakai kaos hitam dan dilapisi jaket atau sweater. Salah satu senior yang punya banyak fans di Studio Merah, komunitas seni kampusku. Hidungnya mancung, agak sedikit patah. Katanya karena main bola waktu kecil, lawannya yang kalah malahan nendang bola ke muka dia. Rambut keriting, mata bulat, bibir kecil berwarna merah meskipun suka merokok. 
“Buku apaan tuh?”
The Godfather. Baru dapet pinjeman.”
“Tebel banget. Mau banget sih bacanya? Kenapa ga nonton aja coba?”
“Ntar, baca bukunya dulu. Emang udah nonton?”
Aku bahkan tau kalau dia ngakunya hobi baca. Tapi aku yakin dia bohong. Aku pernah memperhatikan dia sedang berkumpul dengan senior-senior Studio Merah yang lain. Saat itu mereka lagi diskusi tentang filsafat ilmu. Aku tergoda ingin ikut diskusi waktu itu apalagi karena beberapa hari sebelum itu aku baru saja menyelesaikan membaca biografi Nietzsche, seorang filsuf asal Jerman. Tepat ketika aku ingin duduk, Gerry menengok ke arahku mengajak bergabung. Tapi kemudian aku mengambil keputusan yang aku sesali seumur hidup. Aku malah tersenyum dan menggeleng. Kemudian tanpa merasa apa-apa dia memalingkan muka lagi dan melanjutkan obrolan yang sempat terputus.
“Belom. Pesona si Don Corleone ga mempan ama Gue, hehe.. Kok sendirian? Mana yang laen? Mau nunggu atau duluan aja nih?”
“Masih pada kuliah. Terserah yang mau ngajarin donk. Mau dimulai sekarang atau nanti”
“Sekarang aja deh. Nih, pegang gitarnya. Senam jari aja dulu,”
Aku memasukkan novel ke dalam tas dan mengambil gitar dari tangannya. Deg-degan. Sore itu aku habiskan berdua saja, belajar gitar. Dia begitu telaten mengajari ku. Senyumnya berhasil membuatku meleleh dalam hitungan detik. Sikapnya yang begitu baik membangkitkan harapanku. Tapi tentu bukan hanya aku yang merasakan hal ini. Gerry terkenal gampang membuat perempuan jatuh hati. Dan salah satu perempuan yang jatuh itu adalah aku, Nindy.  
------

My Family, My Little Wonders

1 komentar
My Family, My Little Wonders
Oleh: Hafizhah

Let it go. Let it roll right of your shoulder
Don’t you know. The hardest part is over…
Suara jernih Rob Thomas dalam lagu Little Wonder mengalun indah dari mp3 player ku. Gemanya memenuhi kamarku yang kini kosong karena semua barang sudah kumasukkan dalam kardus. Sembari membersihkan sisa-sisa selotip bekas poster yang tertempel di dinding aku mengucapkan selamat tinggal pada kamar yang kutempati 12 tahun terakhir. Aku besar disini, lirihku..
“Silmy….masukinlah barang-barangnya ke mobil.”
Tiba-tiba suara Papa terdengar dari balik pundakku. Aku memandang wajah Papa. Sekilas, kulihat senyumnya untukku. Aku membalas tapi buru-buru aku membalikkan badan mengangkat satu kardus penuh berisi buku-buku diari milikku sejak SD sampai SMA. Aku takut air mata yang mulai menggenang di mata ku terlihat oleh Papa. Papa tidak boleh melihatku menangis. Hanya karena ini.
“Yang itu mau di bawa juga? Emangnya masih dipake?” tanya Papa sambil melirik kardus yang kubawa.
Aku mengangguk cepat. Tentu saja Pa, batinku. Di dalam kardus ini aku mengabadikan huidupku dalam bentuk tulisan. Memang tidak setiap hari aku menulis, tapi aku selalu menyempatkan diri menuliskan setiap moment berharga bagiku. Dan itu sudah kumulai dari sejak kelas  5 SD. Sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di rumah ini 12 tahun yang lalu. Sejak kepindahan pertama ku ke kota ini. Dan kini untuk kedua kalinya dalam hidup, aku dan keluargaku harus pindah. Tapi kali ini dengan nuansa hati yang jauh berbeda.
“Sabar..kita juga pindah buat sementara. Nanti kalo Papa ada rejeki, kita bikin rumah yang lebih bagus. Dan pastinya rumah sendiri. Sekarang kita ngontrak dulu.”
Papa seperti bisa membaca pikiranku. Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum. Bukannnya aku tidak setuju untuk pindah. Hanya saja, rumah ini puny nilai sejarah yang tinggi. Terlalu banyak memori yang direkam bersama rumah ini.
“Papa juga sabar ya. Mudah-mudahan skripsi Imy cepet selesai, lulus kompre, wisuda, trus dapet kerja. Abis itu gajinya bisa ditabung buat bantu bikin rumah,”
        Sepertinya Papa tak tahu harus menjawab apa. Karena setelah itu, Papa hanya mengusap rambutku dan membantu mengangkat dua kardus sekaligus. Ini memang yang terbaik. Kami memang harus pindah. Pikiranku kembali melayang ke masa itu. Dulu sekali.
Dulu, 13 tahun lalu, Mei 1998.
       

Hidup itu seperti Buku

0komentar
Hidup manusia seperti sebuah buku.
Sampul depan adalah tanggal lahir. Sampul belakang tanggal kematian.
Setiap lembar halamannya adalah hari dalam hidup dan apa yang dilakukannnya.
Ada buku tebal, tipis. Ada yang menarik dibaca, ada yang tidak sama sekali.
Sekali manusia menulis, tidak pernah berhenti sampai selesai.
Seburuk apapun halaman sebelumnya, selalu tersedia halaman selanjutnya yang putih, bersih dan baru.
Begitu juga hidup manusia.
Selamat menulis di buku kehidupan.

--sepotong catatan lama. 30.10.10

air mata

0komentar
Pada masa-masa paling kelam sekalipun, selalu ku katakan padamu
Aku hanya butuh menangis sehari untuk kemudian siap menjaga hatimu lagi
Tapi hatiku hancur ketika tahu bahwa justru air mataku yang membunuhmu.
Sesuatu yang kau anggap sebagai kelemahanku dan menjadikannya sebagai alasan untuk menghentikan langkah kita.
Sesuatu yang kau larang ada padaku.
Namun entah kenapa aku menyanggupi permintaanmu, hanya sekedar tak mau kehilanganmu.  
Dan kini aku mengingatmu, dengan caraku, yang mungkin tak kau pahami
Hatiku berdarah meski air mataku tak keluar
Entah siapa bisa menebak perasaanku, esok, lusa dan nanti..

21 Doa Untuk Sahabatku

0komentar
Ga sengaja menemukan catatan ini dalam buku kecil yang selalu kubawa dulu. Sepotong doa dari sahabat dan saudara perempuanku untuk 21 desember ku tahun lalu.

21 doa untuk sahabatku
Dari: Iif

1.    Sehat selalu menyertaimu di sepanjang eksistensimu
2.    Damai akhirat dan wangi surga senantiasa menantimu di kehidupan nanti
3.    Dimudahkan Tuhan Maha Pemberi Rizki kehidupanmu
4.    Terkabul semua doamu dan teruslah berdoa agar langkahmu tetap berada di jalan Tuhan, jalan yang seharusnya
5.    Semoga kehidupan perkuliahanmu lancar dan semua ilmu yang kau terima dalam 21 tahun kehidupanmu dapat kau amalkan di jalan yang di kehendakiNya
6.    Atas nama cinta yang selalu kau pinta, kelak kau kan temukan seseorang yang benar-benar diciptakan Tuhan untukmu
7.    Kelak kau akan jadi Business Woman yang berhasil termasuk toko accessories yang kau damba
8.   Be a smart person, melebihi apa yang telah kau capai sekarang
9.    Tumbuh menjadi wanita mandiri, tetap semangat, pantang menyerah, seberat apapun cobaan yang melandamu
10. Semoga kau lebih peka thd sesama di sekelilingmu. Disanalah peranmu, membantu mereka
11.  Menghasilkan karya yang membanaggakan di bidang yang kau tekuni dan kau sukai
12. Mampu membangun keluarga sendiri dan bahagia melingkupi keluarga kecilmu
13. Menjadi istri yang sempurna bagi suamimu kelak
14. Menjadi ibu yang membanggakan bagi anak”mu nanti
15. Menjadi wanita penuh inspirasi bagi sekelilingmu
16.  Apapun yang kau kerjakan, semoga akan memberi hasil sempurna yang tentunya akan menambah sempurna hidupmu
17. Tetap berpikiran terbuka dan menyerap semua hal yang tentunya bermanfaat
18. Selalu menatap mantap ke depan dan menjadikan apa yang telah kau lewati dulu dan sekarang sebagai pikiran untuk lebih baik
19.  Seimbang antara karier-keluarga, dunia-akhirat
20.Tetap menjadi seorang Fhia yang begini adanya meski keadaan memaksa menjadi orang lain
21. Hidup bahagia bersama orang-orang yang kamu cintai dan juga mencintaimu sampai akhir masa

October 15, 2011

Tentang Kita

0komentar
Tentang KIta

08.03.11 – 09:34
Aku ingin bercerita. Tentang kita.
Tentang malam-malam yang mempertemukan kita.
Tentang rasa dan logika yang menyala seterang-terangnya.
Kemudian membiarkan kita tenggelam dalam kata dan retorika.
Pena kita menari. Otak kita berpacu. Rasa kita meledak
Kita selalu menikmatinya.
Menciptakan mimpi, membangun dunia.
Aku menemanimu memandang senja yang mengantarkan kita pada malam.
Kamu, menemaniku melihat fajar yang menggiring malam kepada pagi.
Begitulah kamu. Datang mengetuk hatiku.
Begitulah aku. Belajar membuka hati yang sempat tertutup karena pernah luka.
Begitulah kita bermula.

08.04.11 – 09:34
Aku masih tidak percaya kalau itu kamu.
Beraninya kamu selalu ada di sisiku meski kita bercerita tentang seseorang di masa laluku
Beraninya kamu memintaku menemanimu menjaga komitmen ini.
Padahal rasamu untukku belum seberapa.
Tapi kamu akui kemudian rasa itu tumbuh begitu cepat dan meledak-ledak. Begitu kata mu.
Sehingga tak ada satu hariku pun tanpamu.
Ah, kamu. Beraninya kamu mengobati luka ku. Karena sepertinya sudah mulai mengering.

08.05.11 – 09:34
Aku mulai mencintai pagi.
Karena pagi yang biasanya menyatukan kita.
Dan karena setiap pagi,
Aku belajar mencintaimu dari sudut yang berbeda.


 

tentangku © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates