April 30, 2013

Society's Cruel, Isn't It?

5komentar

Society’s cruel. People judge other people. Brave enough to stand tall by our decisions. - @lalapurwono.

I don’t know how true this statement till I force to face certain condition on reality. Yes, people cruel. They assume. They judge. They tell it to other.
Karena berasumsi, memvonis dan menghakimi sudah menjadi hobi yang menyenangkan. Apapun yang dilakukan nggak pernah lepas dari komentar. Perbuatan baik saja bisa jadi buruk di mata orang lain. Apalagi perbuatan buruk. Bahkan tidak berbuat pun komentar tetap akan ada. Apalagi atas langkah yang kita ambil yang tanpa bisa kita sangkal akan terus bersinggungan dengan orang lain. Meskipun mereka tidak tahu pasti apa yang terjadi.
In my own life, bukankah normal jika aku tidak menginginkan menjadi orang yang dibenci? Melakukan hal-hal utuk membangun hidupku tanpa menimbulkan masalah bagi orang lain? Karena aku tau ketika aku berbuat, baik atau benar, akan ada komentar yang mengiringinya. Dan pada titik ini, komentar yang datang semakin banyak. Even they don’t know what really happen is. Tiba-tiba semua komentar, asumsi, dan vonis menambah kerikil dalam langkah hidupku.
Dan itu tidak mudah.
Perjalanan hidupku sudah cukup rumit.   
Dan aku sama sekali tidak berniat untuk menambah kerumitan itu. apalagi membuat daftar orang-orang yang kan menambah sulit jalan itu. not at all!
Bukan cita-citaku untuk menjadi musuh, atau menciptakan musuh.
Aku hanya ingin menjalani hidup dan berbuat untuk hidup.
Sayangnya entah kenapa, mereka masih saja bergunjing. Mereka masih menyebar gosip. Mereka masih mengeluarkan kata-kata yang membuat hatiku panas. Juga telinga dan mataku.
Dan ketika aku mengetik ini, ada sebuah kicauan dari @ndorokakung:
People will always tell you what you did wrong, but will hesitate to compliment you for what you did right. [Ronald Oliver]
Then what? Surely, aku tidak bisa memaksa orang lain untuk mencintai dan menyenangiku. I have no rights for that. Mereka pun punya hak untuk berkomentar, berasumsi, dan memvonis. Tapi aku juga punya hak untuk tetap berbuat dan menjalani hidupku. Haha.
Almost forget one thing. In fact, Aku memfasilitasi komentar itu datang. Buktinya, ada kolom ‘komentar’ atas tulisan ini setelah dipost. See? J

#Selfnote
30.04.2013

April 28, 2013

Hari Ini Aku Adalah Seorang Anak

2komentar
Hari ini aku adalah seorang anak
Belum pernah menjadi orang tua, jadi tidak tahu bagaimana rasanya menjadi itu.
Seringnya aku tidak mengerti dengan jalan pikiran mereka. Apalagi keputusan-keputusannya terhadap hidupku. Kalau aku bongkar lagi diary-diary yang sudah kutulis sejak SD, memang kebanyakan bercerita tentang perbedaan pendapat,kekesalan dan kemarahan yang tersimpan, perlawanan diam-diam, atau pertanyaan-pertanyaan tak terjawab. Syukurlah di titik ini aku bisa mendapatkan pemahaman (atau pemakluman?). Meskipun begitu, yang tidak kupahami sampai sekarang adalah bagaimana sinkronisasi impianku dengan harapan mereka. Surely, ini berpengaruh terhadap langkah-langkah yang mesti kuambil dalam hidup. Konsekuensinya, pemahaman mesti diberikan tanpa ada adu argument. Well, I don’t wanna be a betrayal either!
Memang nggak jarang muncul pemikiran kalau orang tua tidak sayang, tidak mengerti keinginan dan kebutuhan, cenderung memaksakan kehendak, named it. Tapi somewhere in my heart have no doubt about my parent’s love. The greatest love in the world.
Well, tidak ada orang tua yang sempurna dan jelas kita tidak bisa memilih orang tua.
Tapi ternyata, inilah pengakuan para orang tua:
Hampir semua orang tua ingin menjadi orang tua terbaik bagi anak-anaknya. Kita saja yang tidak tahu kita menangis malam-malam, menyesal entah karena kekurangan mereka atau karena kesalahan mereka lantas berjanji esok hari terus berusaha menjadi orang tua yang baik.

#selfnote
12.04.2013

April 18, 2013

Tentang Pilihan dan Memilih

2komentar
Memilih.
Mau tidak mau, suka atau tidak kita akan selalu memilih. Mau makan apa, mau pakai baju apa, mau kemana, mau kuliah dimana, mau kerja dimana, dst, dst.
Manusia  tak jarang yang merasa kebingungan ketika dihadapkan dengan pilihan. Pilihannya banyak, bingung. Pilihannya sedikit juga bingung. Ga ada pilihan? Ya memilih juga. . Pilihannya akan berubah menjadi memilih atau tidak memilih. Nah, saya mulai bingung.
Semakin banyak pilihan justru semakin manusia merasa bingung. Bingung gegara berbagai pertimbangan: resiko, dampak, kepentingan, kecenderungan. Internal atau eksternal.
Kalaupun pilihan itu cuma dua toh ternyata tidak lantas kemudian memudahkan si pemilih. Kalau tidak A ya B. Efek ketika memilih satu diantara mereka semakin besar untuk berbeda. Perubahan-perubahan yang mungkin akan dibawa dari pilihan tersebut justru membuat pemilih semakin membutuhkan waktu lama, kematangan berpikir, dan kesiapan akan konsekuensi setelahnya. Nggak jarang juga yang pada akhirnya memilih untuk mengambil pilihan secara gambling.
There are some well-known statements about choice:
I don’t have any choice,
Aku ga punya pilihan,
Aku bisa apa,
dsj, dsj, dsj
Tetap saja. Akui saja kalau sebenarnya kita punya pilihan: memilih atau tidak.
Terlepas dari segala konsekuensinya. Yang membedakan adalah dorongan apa yang membuat kita memilih. Keterpaksaan kah? Atau keihklasan? Mungkin itulah yang menjadi pilihan ketika diharuskan untuk mengambil pilihan yang dipilih orang lain. Yes, we have many things that we can’t control. Maka, posisi pilihan pun bergeser. Ikhlas atau tidak. Memilih untuk mengumbar rasa kesal, ngomel, ngeluh, ATAU legowo, nrimo, dan menyimpan rasa tidak enak dalam hati.
Yah, karena kita hidup tidak sendiri. Orang lain yang berpengaruh dalam hidup terkadang juga menjadi pertimbangan besar saat kita dihadapkan dengan situasi memilih. Apalagi kalau pilihan itu menyangkut orang tua, pasangan hidup, atasan atau mungkin kemaslahatan hidup orang banyak. Terkadang pilihan juga terkendala dengan izin atau restu. Apakah kemudian pilihan kita direstui atau tidak. Kalau tidak maka pilihan berikutnya: patuh atau berontak. Nah,ini akan menjadi bahasan baru yang bakal lebih panjang lagi kalau dijelaskan disini.
Maka berbahagialah orang-orang yang memiliki hak ini secara asasi Benar-benar memilih sendiri, menerima masukan dan saran orang lalu memilih sendiri langkah-langkah dalam hidupnya.  Tidak mengambil pilihan dengan paksaan atau bahkan dipilihkan orang lain. Bagi yang tidak? Sejatinya itu menjadi moment bagi manusia untuk belajar berkompromi (bahkan kalu bisa sih berdamai) dengan keadaan meski pahit

#selfnote.
06.04.2013     

April 06, 2013

[review] Les Miserables

1 komentar
Seseorang berkata kepada dirinya sendiri, seseorang bicara kepada dirinya sendiri, berseru kepada dirinya sendiri tanpa memecahkan keheningan luar. Terjadi kekacauan hebat, semua yang ada pada diri kita berbicara kecuali mulut. Walaupun demikian kenyataan yang ada pada jiwa tetap merupakan kenyataan karena mereka tidak terlihat dan dapat dirasakan.
(hlm. 357)

Agak sedikit terganggu dengan pemaparan awal tentang Uskup Kota D alias yang begitu panjang. Bahkan aku hampir menyerah kalau saja keseluruhan buku ini hanya menceritakan siapa sosok Uskup ini. Untungnya nggak jadi sih. Karena di bagian berikut muncul beberapa tokoh lain yang terkoneksi dalam satu benang merah. Les Miserables memang bercerita tentang beberapa tokoh dalam kehidupan Prancis abad 19. Victor Hugo membangun sebuah kompleksitas dari kisah cinta, spiritual, kemiskinan, politik, sejarah, juga sistem sosial masa itu.
Les Miserables sebenarnya termasuk Big Book. Tapi sayangnya versi yang aku baca adalah keluaran terbaru dengan cover film, yang mungkin merupakan versi ringkas (atau tidak selesai?). Ending yang gantung bahkan tanpa ada cerita tentang Cossette. That’s why I li’l bit surprise when watch the movie.  
Tentang emosi saat membaca? aah...it's more than just emotion. Pada beberapa kisah Jean Valjean dan Frantine, pembaca tidak hanya diajak bermain dengan perasaan tegang, iba, atau penasaran. Tapi juga diajak menelusup lebih dalam untuk berfikir dan bertanya pada hati.
 

tentangku © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates