March 21, 2013

[review] Blues Merbabu & 65

2komentar

Awalnya sama sekali nggak tertarik buat bikin review dwilogi ini. Kesan pertama dari buku pertama, Blues Merbabu, memang tidak ada yang spesial. Begitu biasa. Seperti diari. Mengalir begitu saja. Ditambah substansi cerita hanya tentang pengalaman Gita dengan perempuan-perempuan yang pernah mampir dalam hidupnya.
Tenyata 65 lain.
Sempat terpengaruh dengan beberapa pendapat di goodreads, i less expect then.
Lalu apa yang membuat aku kemudian tetap mau membacanya? Karena dipinjemin. That’s all! Haha. Kidding! Penasaran sih. Karena dwilogi, sayang sekali kalau nggak dituntaskan.
Nuansa datar Blues Merbabu masih akan terasa disini. Tapi, memang untuk membaca buku ini pada akhirnya aku mesti arif untuk mengenyampingkan apa yang biasa kita kenal dengan alur, latar, klimaks, twists, dan sejenisnya. Karena mungkin bukan untuk itu buku ini ditulis dan dinilai. Lantas apa yang menarik? Apa yang ditawarkan disini? Aku tidak punya jawaban pasti. Masing-masing kita akan punya penilaian yang beda, dan tenang aku siap dengan perbedaan itu, ceilee.
Well, Gitanyali (pembaca kompas lebih kenal dengan Bre Redana, yes?) bercerita tentang kehidupan anak yang ayahnya adalah aktivis PKI dari sudut lain. Dari sudut yang paling beda, paling tidak terfikirkan sebelumnya. Ya, dari itu, petualangan hidupnya. Dari setiap kebebasan yang dia pilih, bahkan dalam hal perempuan.
Seolah aku dipaksa untuk membuka mata lebih lebar dan pikiran yang lebih luas untuk menangkap makna dari setiap kisah pertemuan seorang Gita dengan perempuan. Simpelnya begitu. Atau kalau mau dibuat lebuh serius, aku melihat dari setiap pilihan yang Gita ambil.
Blues Merbabu dan 65 disusun seperti anak tangga. Dari awal cerita memang terlihat ringan. Namun semakin ke atas, aku menangkap satu hal. Gita ingin pembaca melihat dari tempat ia berdiri tanpa menyuguhkan persepsinya sendiri. Kita dibiarkan bebas dengan apa yang kita baca, apa yang kita tangkap, apa yang kita kemudian pikirkan.  
Memang bisa dibilang sedikit sekali kaitan judul dengan isi. Tapi untuk ini, i make an excuse

March 20, 2013

[review] The Man Who Loved Books Too Much

0komentar



This book belongs to none but me
For there’s my name inside to see.
To steal this book if you should try,
It’s by the throat that you’ll hang high.
And ravens then will gather ‘bout
To find your eyes and pull them out
And when you’re screaming “Oh, Oh, Oh!”
Remember, you deserved this woe.
--- Warning written by medieval Germany scribe


Secara nggak sengaja berserobok mata di tumpukan paling sudut dari meja paling ujung, di sebuah toko buku. Sambil menahan nafas, dan membelalakkan mata aku langsung ambil buku ini. Pas! Karena ternyata ini buku terakhir. And overall, i’m not disappointed with what i found.  
How lucky Gilkey is!
Ini yang namanya ‘out of the box’. Not in a good way. Haha.
Gaya penceritaan yang beda dari Allison, seorang jurnalis San Fransisco Magazine, kuat dalam deskripsi serius dan straight to the point. Kisah nyata yang diangkat dideskripsikan dengan begitu jujur pada setiap sesi wawancara dan potongan moment bersama Gilkey, seorang bibliomania, yang membuat Sanders, agen buku yang merangkap sebagai ketua ABAA (Antiquarian Booksellers’ Association of American) geram.
Kasus yang unik dari rangkaian pencurian buku. Motifnya? Murni karena ‘cinta’ yang direfleksikan dengan bentuk ‘ingin memiliki’. Nggak tanggung-tanggung, buku yang selalu diinginkan adalah buku langka yang termasuk Top 100 dalam kategori tertentu. Meski sayang, caranya dalam mendapatkan buku itu salah.
Lucunya, dia sempat mengeluarkan celetukan:
 “Itu kan pencurian” (hlm. 178).
Suatu tindakan yang tidak dia sukai. Ya jadi, lo ngapain kalo ga nyuri namanya, Mas???
Anyway, ada nggak sih kasus seperti ini di Indonesia?  Atau, ada nggak sih asosiasi kolektor buku langka di Indonesia? *gugling dong! #selftoyor*

Let me share some statement:

Buku merupakan artefak sejarah dan tempat berkumpulnya kenangan – kita senang mengingat-ingat siapa yang memberi buku kepada kita, di mana kita saat membacanya, berapa usia kita, dan sebagainya.

Hlm. 12

Kami ingin buku-buku ini bersama dengan orang-orang yang mencintai mereka, orang-orang yang mau membeli mereka, yang menghargai mereka.

Hlm. 214
 

tentangku © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates