November 16, 2012

Sebenarnya Apakah Ada Batas Sabar?

6komentar

Nah, ada nggak?
Selama belajar dalam sebuah proses yang bernama kehidupan ini, bagi aku sabar adalah salah satu mata pelajaran hidup yang berat. Setelah proses yang berulang, aku menemukan sebuah kesimpulan sendiri tentang sabar:
Sejatinya, kesabaran itu tidak ada batasan. Hanya kemampuan manusia yang terbatas.
Bertahun-tahun kesimpulan ini melekat dalam diri, sehingga ini kerap menjadi sebuah pembenaran bahwa manusia punya hak untuk marah, menangis, atau melampiaskan emosi. Tapi hidup terus berjalan. Proses belajar terus berlanjut. Aku menyadari bahwa kesimpulan tadi belumlah kesimpulan akhir. Ternyata proses ini mengajarkan sesuatu yang kemudian sedikit demi sedikit merasuki pemikiran tadi:
Bahwa, sejatinya kesabaran itu tidak berbatas. Hanya kemampuan manusia yang terbatas. Tapi manusia juga dituntut untuk senantiasa ‘break the limit’ alias melakukan gebrakan atau terobosan dalam dirinya agar batasan-batasan itu tidak lagi menghambat potensi yang ada, apalagi mengkerdilkan kemampuan kita sebagai manusia.
I must confess: I’m still learning.
Yap, aku masih belajar. Selalu belajar. Belajar dalam level yang beda setiap saat. Iyalah, syarat belajar itu kan harus ada perubahan. Juga harus ada ujiannya. Pada ujian itulah kita akan melihat apakah kita sudah ‘layak’ buat ‘naik kelas’. Toh, orang besar itu melalui ujian yang besar juga.
And so am I.  
kadang berhasil, kadang kepeleset dan jatuh lagi. 
Akan selalu ada moment dimana kesabaran kita diuji. Dengan level yang berbeda. karena proses tidak akan berhenti sampai akhir hayat, maka ujian juga tidak akan berhenti. Mengutip kata seorang abang:
Pribadi yang matang adalah pribadi yang tau dengan apa ia mesti bertahan. Kadang diri kita perlu diuji, agar kita ngerti dan semakin kenal dengan kelebihan dan kekurangan diri.
Juga kata penulis Tere Liye:
Hidup tidak seperti novel, yang kalau halaman sekarangterasa sesak, sedih, menyakitkan, penuh masalah, maka dengan bersabar membaca 10, 20 halaman berikutnya semua selesai. Berubah menjadi kebahagiaan. Apalagi seperti film yang cukup beberapa menit jadi happy ending.Di kehidupan nyata, kita bahkan perlu 10, 20 bulan, bahkan tahun, harus BERSABAR agar semua selesai, berubah menjadi membahagiakan. Karena itu, menjadi sewasa oleh kehidupan, memiliki pemahaman baik karena proses kehidupan akan membuat seseorang lebih kuat.
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat, buat aku, juga buat siapapun yang sedang mengikuti ujian kesabaran. Tulisan ini bukanlah kesimpulan akhir, karena jalan hidup masih panjang. 


22:32 – Balkon Lantai 2
*tulisan ini tercipta gara-gara status fb seorang adik.

[review] Life of Pi

0komentar

Pindah dari India ke Kanada ternyata mengantarkan Piscine Patel dalam sebuah petualangan luar biasa. Bertahan hidup lebih kurang 6 bulan di atas sebuah sekoci bersama harimau, dan beberapa hewan yang akhirnya mati juga.
Di awal penulis menuturkan ini adalah cerita yang bisa membuat kita percaya pada Tuhan. Nggak berlebihan sepertinya. Berangkat dari kisah masa kecil Pi yang memeluk 3 agama berbeda, akan terasa unik dan mengusik sedikti sisi rohani pembaca. Ditambah kemampuan bertahan hidup Pi yang tentunya bnggak lepas dari kehendak Tuhan.
Martel mendeskripsikan semua yang dialami dengan sangat jelas. Makanya agak sedikit ngeri juga membayangkan beberapa kisah ‘berdarah’ disana. Meskipun latar tempatnya hanya satu: di atas sekoci yang mengarungi Samudra Pasifik, ternyata nggak bikin bosen karena pengalaman dan penemuan Pi selama bertahan hidup.  

Highlited on Life of Pi:
Kalau kita, para warga Negara, tidak memberikan dukungan kepada seniman-seniman kita, berarti kita telah mengorbankan imajinasi kita di altar realitas yag kejam, dan pada akhirnya kita jadi tidak percaya pada apapun, dan mimpi-mimpi kita tak lagi berarti.
` Yann Martel, p. 14
Sebab seperti itulah binatang: konservatif, malah bisa dibilang reaksioner. Perubahan-perubahan sekecil apapun akan mengganggu bagi mereka.
` Pi, p. 38
Memilih keraguan sebagai falsafah hidup sama halnya memilih kemandekan sebagai sarana transportasi.
`Pi, p. 55
Ingatan manusia bagaikan samudra dan dia timbul tenggelam naik-turun di permukaanya.
`Yann Martel p. 74
Kemajuan tidak bakal bisa dihentikan. Kita semua mesti berbaris mengikuti irama gendering. Teknologi akan berperan, dan gagasan-gagasan bagus akan menyebar – itulah hukum alam.
`Ayah Pi, p. 119
Orang berpindah karena berharap memperoleh kehidupan yang lebih baik
`Pi, p. 123
Kalau nyawa kita sendiri terancam, kemampuan kita berempati jadi tumpul oleh hasrat egois yang amat sangat untuk bertahan hidup.
`Pi, p. 178
Benar sekali bahwa kita jadi kreatif kalau terdesak oleh kebutuhan, amat sangat benar.
`Pi, p. 204
Rasa takut adalah satu-satunya lawan sejati kehidupan. Hanya rasa takut yang dapat mengalahkan kehidupan. Rasa takut sama sekali tak kenal malu, tak pedulihukum atau aturan apa pun, dan tak kenal ampun. Dengan mudah dia bisa menemukan kelemahan kita yang utama, dan menyerangnya. Dan yang mula-mula diserang selalu pikiran kita.
`Pi, p. 234
Harimau, bahkan semua binatang, tidak begitu senang dengan menggunakan kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah. Kalu binatang sampai berkelahi, berarti dia memang berniat membunuh, atau merasa dirinya bakal terbunuh.
`Pi, p. 296
 Ada dua jenis rasa takkut yang tidak bisa kita buang dari dalam diri kita: reaksi terkejut karena mendengar suara berisik yang tidak disangka-sangka, dan vertigo
`Pi, p. 371
Kesulitan utama melatih binatang adalah mereka bertindak berdasarkan insting atau kebiasaan. Mereka cukup cerdas untuk memahami asosiasi-asosiasi baru yang bukan bersufat naluriah
`Pi, p. 385
Dunia bukan seperti yang kelihatan. Tapi sesuai cara kita memahaminya,bukan begitu? Dan dalam memahami sesuatu, kita memasukkan sesuatu kedalamnya, bukan begitu?
`Pi, p. 423

November 15, 2012

Teori Relativitas Waktu Itu Berlaku!

1 komentar

It’s a long weekend. . .
Biasanya jadi moment paling ditunggu-tunggu. Doing something else. Jalan-jalan, dating, piknik keluarga, pulkam, atau sekedar santai tanpa ngapa-ngapain. Tapi kalau di kondisi luar biasa, long weekend potensial untuk menimbulkan kebosanan.
Beruntung buat golongan yang ‘nggak terjadwal’. Bangun terserah jam berapa, nggak ada jam malem, nggak harus ini, itu, dll.

Lain hal buat mahasiswa akhir tahun dari tahun ke tahun yang jadwal kuliahnya sedikit, atau malah nggak ada sama sekali a.k.a mahasiswa skripsi aja. Libur atau nggak bakalan sama.
Buat kaum yang masih punya aktifitas lain, kayak organisasi, part-time job, jualan, kayaknya nggak bakaln terlalu terasa. They have something more than killing time. Buat kaum yang nggak ada apa-apa, maka selamt datang mono.
Ada masa-masa yang secara signifikan beda.
Nungguin setelah skripsi disetor ama setelah dikembalikan bakalan terasa banget bedaanya. Menjelang nunggu jadwal ketemuan selanjutnya pasca setor tulisan kayak pacran, LDR-an, trus nunggu kpan bakal ketemuan lagi. Meski ketemuan sblmnya juga nggak nyampe 5 menit. Cuman sampe kata-kata keramat keluar:
“oya, saya baca dulu ya. Nanti saya kabari”

That’s all. Nunggu lagi. Berharap lagi.

Dan setelah “nanti saya kabari” udah sepakat atau tidak disepakati bersama maka kemudian akan muncul reaksi kimia dalam hati. Seneng, deg-degan, penasaran, dan ngarep bakal campur aduk. Seneng, akhirnya bimbingan lagi. Deg-degan, jadi atau nggak, kemaren yang dibikin bener atau nggak. Penasaran, seberapa banyak coretan yang berarti mesti direvisi. Dan pastinya harapan udah bisa move on atau belum.
Biasanya sih pasca ketemuan itu waktu akan terasa lebih cepat. 15 – 30menit 'dating' alias bimbingan. Lalu pulang dengan semangat untuk segera mengerjakan apa yang mesti dikerjakan. Semangat ini yang biasanya bikin produktif. Apalagi buat kaum yang sudah dikejar waktu dan didesak orang tua.
Selanjutnya, setoran lagi. Menunggu lagi. Begitu terus.

Saat-saat kosong itulah yang rentan sama kebosanan, atau level teringgi: kemalasan. Kejadian apapun bakalan mempengaruhi rutinitas berikutnya. Kalau pagi udah ‘bergerak’, it’s gonna be productive for the rest of the day.

Meskipun kondisi diatas nggak akan berlaku buat golongan yang diluar itu semua. Yakni yang nggak bisa ngapa-ngapain, nggak bisa kemana-mana. Waktu akan terasa panjaaaaaaaang sekaliiiiiiii.

Maka bersyukurlah, karena ada internet. Such a great escape.
Bisa kemana-mana meski nggak kemana-mana.
*salam kecup buat penemu internet*

20:58 – Balkon lantai 2


November 14, 2012

Untuk yang Sedang (Tidak) Baik-Baik Saja

1 komentar

Hari kesekian berada di sini. Sepi masih dominan terasa. Cuma si putih, modem, buku tulis, dan Life of Pi yang baru akan dijelajahi setia menemani. Selain skripsi tentunya.

Pagi ini cerah. Siang panas. Malam juga belum terlihat tanda-tanda bakalan hujan.
Padahal beberapa waktu sebelumnya selalu saja hujan.

Apa ini pertanda?
Bahwa hujan di sini mestinya sudah berangsur reda seperti yang di sana.
Atau sekedar kamuflase, untuk terlihat seperti tidak ada apa-apa. Seperti semua baik-baik saja. Kemudian membiarkan perasaan tidak enak menumpuk di seperti gumpalan awan hitam yang mengumpulkan tetes demi tetes air yang akan dicurahkan ke bumi. Lalu jadi banjir, kayak kota Padang yang sekarang bisa dibilang langganan banjir juga.

Aih, mendadak jadi melankolis.

Lantas, kalau lagi tidak baik-baik saja memang kenapa? Nggak kenapa-kenapa kan? Tidak selalu berada dalam kondisi baik adalah kewajaran. Toh hati manusia itu mudah dibolak-balik.

Maroon five aja bilang:
it’s not always rainbow and butterflies. It compromise that move us along.
Pun kalau sedang tidak baik, nikmati saja rasanya, lalu berusaha untuk berubah jadi baik lagi. Kalau pengen.

Pun kalau ditanya kabar, tinggal di jawab.
Baik. Atau tidak.

Baik; pertanyaan selesai. Titik.
Tidak; pertanyaan turunan akan muncul. Kenapa? Ada masalah? Ada apa? Ceritalah. Dan berbagai jenis pertanyaan basa-basi penuh perhatian lainnya.

Pilihan ada pada kita: yang jujur atau yang baik.
Jujur sehingga menjadi orang yang sedang tidak baik. Atau berbohong dan menjadi orang yang baik.

Ah, tapi kenapa harus berbohong kalau mau jadi baik? Itu kan tidak baik. Juga kalau kemudian jujur, apakah semuanya akan baik-baik saja?

Pusing, yes?
Sama.

20:17. Balkon lantai 2.    

November 11, 2012

Ngeliatin Ujan

0komentar

Ngeliatin hujan.
Sekedar melihat kumpulan air yang jatuh dari awan gelap, lalu menyentuh bumi. Aspal, tanah, genteng rumah, mobil yang lewat, payung, bahkan badan manusia yang nekat melewatinya. Lihat deh, saat satu tetes itu menyentuh bumi. Kadang pengen tau, rasanya gimana ya? Sakit? Atau lega?  

Akhir-akhir ini Padang memang musim hujan. Otomatis aktifitas ini jadi sering asuk agenda.
Mulai dari melihat berbagai ekspresi manusia menyambut datangnya hujan. Kebanyakan kesal, mengeluh, memilih berteduh daripada basah. Ada juga yang mengeluh tapi tetap berlari, memasrahkan diri basah dan kedinginan. Buat yang bermobil, bersyukurlah karena tidak harus mengeluh, tidak harus kedinginan apalagi kuyup. Lalau kalau masih saja ada yang mengeluh, itu urusan anda. Cuma, ingat saja, nggak semua orang merasakan kenyamanan yang anda rasakan.
Bagi yang bermotor atau pejalan kaki yang tidak berpayung dan tidak mau basah, mesti bersabar dulu. Berteduh di depan-depan emperan ruko, kedai, atau rumah yang punya pelindung (lupa namanya) Sampai entah kapan.
buat orang-orang seperti aku?

Kalau kata utopia,
Aku selalu bahagia, saat hujan turun…
Sudah, stop sampai disana. Karena memang hanya satu kalimat itu yang pas.
Memang ga setiap hujan itu bikin bahagia. Apalagi kalau ada janji keluar, ketemuan, pacaran, dsj yang bisa bikin orang yang udah terlanjur janji itu lantas urung dengan janji nya.
Buatku, Perasaan kesal yang kemudian muncul toh akhirnya bukan menyalahkan hujannya. Lha kok Cuma gara-gara ujan jadi batal. Hehe… J

Herannya ada manusia yang membenci hujan. Sayang sekali. Padahal ini berkah yang Tuhan kasih. Bahkan salah satu moment berdoa yang dikabulkan Tuhan bukankah saat hujan turun. Ya sudah, kalau hujan turun, berdoa saja banyak-banyak.

Kalau banjir? Itu lain cerita. Kapan-kapanlah ceritanya.
Dan hujan pun masi turun. Ternyata salah satu hikmah beberapa hari berada di sini adalah bisa menikmati hujan lebih leluasa. Dari balkon lantai dua ini semua terlihat jelas:
Lalu lalang kendaraan, motor dengan segala jenis cara pemakaian mantel, sampai berbagai warna payung, bahkan yang pengendara motor yang berpayung (itu payungnya nggak diterbangin angina apa yak?).
Yang paling penting, ceileeh, ya bisa ngoceh ga karuan sama keyboard. Mau sama siapa lagi, ya toh? Kalau hujan semua orang mendadak malas. Malas kemana-mana, malas ngapa-ngapain, bahkan males mandi.

Sudahlah, semakin lama semakin tak jelas. Disudahi aja.
Selamat menikmati turunnya hujan. Hujannya makin lebat lo…

18:02 – Balkon lantai 2 
 

tentangku © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates