March 26, 2015

[review] Palace of Illusion: Istana Khayalan - Chitra Banerjee Divakaruni

0komentar

Judul : The Palace of illusions (Istana Khayalan)
Penulis: Chitra Banerjee Divakaruni
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 496 halaman
Cetakan : Juli 2009 
ISBN: 97897922455561

Buku ini aku beli hampir 2 tahun yang lalu. Well, i have to thanks to  #100DaysofAsianReadsChallenge karena ‘memaksa’ aku buat mengambil buku ini di tumpukan ‘to-read’ bagian bawah.
Perempuan harus siap untuk takdirnya dengan cara berbeda – Hal. 56
Ternyata buku ini menarik. Bercerita tentang Mahabrata dari sisi perempuan,yaitu Drupadi, yang akhirnya menikah dengan 5 orang Pandawa. Diawali dengan kisah kelahiran Drupadi dan kakak yang sangat dicintainya, juga tentang bagaimana Sang Ayah mencintai kedua anak ini dengan cara berbeda. Kehidupan yang dijalani Drupadi penuh lika-liku. Kita tidak hanya disuguhkan dengan cerita tentang nikmatnya kehidupan keluarga kerajaan tapi juga bagaimana beratnya hidup dalam hutan. Seimbang.
Sampai akhir novel ini pun semua diceritakan begitu seimbang. Penulis tidak memihak pada satu tokoh pun. Juga tidak ada unsur menyalahkan siapa-siapa atas setiap kejadian yang terjadi. Bahkan Drupadi digambarkan begitu adil terhadap kelima suaminya.    
Narasi yang memikat hati pembaca. Ini pertama kalinya aku membaca buku yang ditulis oleh penulis India. Ternyata bahasanya bagus, lembut dan untungnya terjemahannya pas.    
Dari buku ini aku baru ngeh dengan sosok Pandawa Lima dan tokoh-tokoh Mahabrata lainnya. Kalau aja ada buku lain yang kayak gini serunya menceritakan anything about Mahabrata, daripada mesti nonton filmnya yang lagi marak banget di tipi.
Satu hal yang nyebelin adalah. Bukunya nanggung banget untuk masuk kategori buku bantal -__-

March 25, 2015

Nh. Dini itu Siapa?

0komentar
Kejadian ini berawal dari aku yang dengan sengaja bawa buku NH.Dini yang berjudul Keberangkatan ke kantor. Aku berani bawa karena waktu itu lagi training di Diklat jadi biasanya tersedia lebih banyak istirahat, mulai dari break pagi, istirahat siang, juga break sore. Lagipula hari itu adalah jadwalnya ujian wawancara. Otomatis akan banyak tersedia idle-time.
Dan bener aja, pas jam 4 sore, kelompok aku udah selesai wawancara. Dan kami mengungsi sambil minum kopi di ruang makan.  Karena lagi nggak shalat juga, aku baca buku deh. Niatnya murni karena pengen ngurangin tumpukan buku yang  belum dibaca dan udah semakin menggunung seklaigus nyelesaiin reading challenge. Pada saat itulah seorang teman kantor bertanya: “Baca buku apa, Kak?”. Dengan senyum paling manis aku ngeliatin cover buku yang aku pegang tanpa menjawab pertanyaannya secara lisan. Maksudnya biar dia liat sendiri aja gitu covernya, mana tau tertarik buat baca juga meskipun aku nggak akan minjemin ke dia atau ke siapapun.
Biasanya respon orang yang aku gituin ada dua; Satu, bilang ‘oooh’ lalu diem. Golongan pertama ini biasanya adalah orang-orang yang nggak terlalu suka baca buku jadi nggak terlalu peduli tapi cuma pengen tau aja. Dua, yang bertanya: ‘bagus apa nggak’ atau ‘ceritanya tentang apa’. Golongan kedua ini adalah orang-orang yang suka baca dan pengen baca juga suatu saat nanti, atau dulunya pernah suka baca jadi pengen tau dan mungkin tau dengan buku yang dibaca. Dan ternyata respon temen aku ini, sebut saja si A, agak beda dari biasanya. Dia justru bertanya; “Nh. Dini itu siapa?”
Oh Em Ji.
Hampir aja aku jawab: “Ya penulisnya laaaah...”
Tapi aku tau pasti maksud pertanyaannya bukan itu. Makanya aku nggak jawab pertanyaan dia tapi malah nanya balik. Dan kurang lebih terciptalah percakapan berikut:
“Emang ga familiar sama nama Nh. Dini?”
“Nggak”
“Emang nggak belajar waktu SMP? Kan ada di buku paket Bahasa Indonesia.”
“Nggak. Waktu SMP Cuma pake LKS (Lembar Kerja Siswa) aja. Nggak pake buku paket.”
Oke sumpah, ini hal kedua yang bikin kaget. Aku sama si A ini cuma terpaut jarak satu tahun. Jadi ketika aku masuk SMP di 2001, dia masuk SMP di tahun 2002. Dan di tahun itu masih harus pake buku paket yang keluaran dinas pendidikan. Bahkan kalo nggak salah buku paket itu wajib ada dan dipake di sekolah manapun dari Sabang sampe Merauke #mulaiemosi. Jadi nggak ada alesan donk dia nggak tau.
“Hah? Nggak ada buku paket? Trus belajarnya gimana? Kan LKS cuma buku soal, kalau nggak tau jawabannya cari kemana?”
“Di LKS kan ada sedikit pembahasannya di awal, ya liat dari sana aja. Disana ga ada nyebut Nh. Dini”
One more point. Di LKS jaman aku sekolah dulu itu bukunya tipis. Pembahasan materinya dikit banget. Namanya juga Lembar KERJA siswa. Ya pokoknya generasi ’90 pasti tau deh istilah LKS, buku paket, buku penunjang.
Dan aku pasrah.
“Nh. Dini itu sastrawati Indonesia. Dulu waktu SMP kan disuruh baca Padang Ilalang di Belakang Rumah, Sekayu,  Langit dan Bumi Sahabat Kami, pernah nggak?”
“Nggak. Kayaknya di Padang nggak ada deh”
“Kalau Ahmad Tohari, tau?”
“Nggak”
“Tapi A suka baca kan? Trus, kalau baca, buku apa aja?”
“Suka kok. Kalau aku baca buku bla.. bla.. bla..” kemudian dia menyebutkan beberapa judul buku dan penulis dari novel populer jaman sekarang.
Aku akhirnya hanya tersenyum dan ber’ooh’. Ya sudahlah. Males nerusinnya. Sebenarnya, kalau dia nggak tau siapa Nh Dini, Ahmad Tohari, atau siapapun karena dia emang nggak suka baca, nggak suka dunia kepenulisan atau nggak suka sastra, nggak masalah kok. Tapi karena alasannya waktu sekolah nggak pake buku paket ini loh yang bikin gemes.
Saking penasarannya, ya kali aja aku yang salah, aku sampe crosscheck ke adek-adek kampus yang seangkatan mereka. Nanya apakah mereka pake buku paket kelauaran dinas pendidikan waktu SMP atau SMA. Abis itu baru deh nanya tau NH. Dini atau nggak. Banyak juga kok yang bilang nggak tau. Tapi yang nggak tau itu umumnya yang emang nggak suka baca. Aku juga nanya ke temen-temen Palanta dan jawabannya ya sama.


Nggak kenal Nh. Dini sih nggak apa-apa. It doesn’t really matter me. Cuma yaa karena ngakunya suka baca buku dan dengan alesan nggak pake buku paket waktu sekolah dulu, itu yang mengganggu.

Entahlah. Kok kenapa aku mau-maunya musingin itu.   

March 23, 2015

[review] Keberangkatan - Nh. Dini

0komentar

Judul : Keberangkatan
Penulis: Nh. Dini
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 196 halaman
Cetakan Ketujuh: Agustus 2010 
ISBN: 9789792258363

Lagi-lagi aku mesti beruntung karena ‘menemukan’ buku ini dalam leretan buku obral. Lama-lama bisa lengkap juga nih.

Adalah Elisa Frissart, warga keturunan asing yang lama tumbuh dan besar di Indonesia. Ceritanya saat itu kondisi di Indonesia sedang marak dengan gerakan anti asing. Warga keturunan asing alias indo dipandang sebelah mata, dianggap penjajah, dan dikucuilkan dalam kehidupan bermasyarakat.  Tidak usah berharap dengan status Warga Negara Indonesia yang sudah remsi sekalipun karena itu tidak cukup membantu jika secara fisik berbeda dengan warga pribumi; berkulit putih dan berbadan tinggi misalnya. Kondisi ini membuat keluarga Elisa memutuskan untuk pindah dan menetap ke Belanda.

Terkecuali Elisa.

Bahkan hingga menjelang keberangkatan keluarganya, ayah Elisa masih berusaha membujuk Elisa untuk menyusul ke Belanda. Namun pada saat itu tekad Elisa masih bulat untuk tetap tinggal di Indonesia. Sampai pada satu titik.

Jatuh cinta dengan pemuda pribumi bernama Sukoharjito, ditambah dengan  misteri masa lalu yang mulai terbuka, menambah keyakinan Elisa bahwa keputusannya adalah tepat. Setelah diperkenalkan dengan keluarga Sukoharjito, Elisa pun berbesar hati karena itu pertanda bahwa dirinyalah yang dipilih untuk diperkenalkan sebagai calon anggota keluarga baru Sukoharjito. Meskipun begitu, menjadi seorang gadis indo, bagi Elisa bukan menjadi alasan untuk menyerahkan segalanya kepada Sukoharjito. Hal ini bikin Elisa harus menerima kenyataan pahit karena ternyata Sukoharjito memiliki hubungan dengan perempuan lain dan dikabarkan akan segera menikah. You know why lah yaaa. Disinilah titik dimana semua keyakinan Elisa untuk tinggal, memiliki keluarga dan menghabiskan sisa usia  di Indonesia dia lepaskan.

Sebenarnya Keberangkatan adalah cerita yang penuh drama. Meskipun first published tahun 1977, kisah yang terjadi dalam novel ini tidak lantas ketinggalan jaman meskipun aku bacanya di tahun 2015. Bagaimana kehidupan Elisa sebagai pramugari, hidup sendiri sebagai anak kos yang tinggal bersama dengan teman-teman adalah real, dan masih terjadi di zaman sekarang. Dideskripsikan dengan bahasa sederhana yang mengalir lancar membuat pembaca tidak merasa bosan. Mungkin karena bukunya juga yang termasuk tipis. Hubungan antar konflik yang dibangun, terkait dalam satu benang merah dan jauh dari unsur ‘maksa’ dan nggak tergesa-gesa dalam menyelesaikan sebuah masalah. Meskipun pada akhir cerita Nh. Dini tidak memberikan apa yang aku inginkan (baca: happy ending), tapi ternyata disanalah novel ini meninggalkan kesan yang dalam #cieee. Ya iyalah, siapa sih yang ragu dengan kepiawaian Nh. Dini. 

Eiya, ada stu kalimat yang aku suka di penutup buku ini. Kalimat sederhana yang entah kenapa buat aku bahasanya baguuuus banget:

Harinya lembab berhujan kecil.

March 19, 2015

[review] Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah - Agustinus Wibowo

0komentar

Judul : Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah
Penulis: Agustinus Wibowo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 528 halaman
Cetakan Kedua: Juni 2011 
Rating : 5 of 5 stars

Garis batas membuat hidup manusia penuh warna. Berkat garis batas, ada negri-negri berbeda, bangsa-bangsa berbeda, beribu bahasa dan makanan khas, adat istiadat. Bayangkan jika di dunia ini dihuni oleh semua yang sama persis, berwajah sama, bahasa sama, punya impian dan agama yang sama,..., betapa membosankannya. – Hal. 82
This book is really awesome!
Pertama, aku baru tau dari buku ini, kalau Uni Soviet pecah menjadi Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan Turkmenistan. They’re all brothers, naturally.
Kedua, aku juga baru tau meskipun berasal dari masa lalu yang sama, masa lalu Soviet, masing-masing punya perbedaan yang mencolok, baik secara infrastruktur, kondisi sosial budaya bahkan falsafah hidup yang dianut. Seolah ingin menghapus jejak ‘Soviet’ dari dalam dirinya dan melupakan masa lalu, negeri-negeri Stan ini mencari identitas kedaulatan, medefinisikan negeri masing-masing berdasarkan versi mereka sendiri.
Dibawah sadar, sebenarnya terpendam identitas kebangsaan kita, yang mendefinisikan dengan orang-orang mana saja kita bisa menyebut saudara sebangsa. Ada pula sejarah bangsa, memori kolektif yang mengikat kita dengan orang-orang dengan perasaan senasib sepenanggungan, walaupun sejarah  dan identitas bangsa bisa direka, didefinisikan, dihapus, dilupakan, dimodifikasi, atau bahkan diciptakan dari yang tak ada, tapi tetap punya kekuatan spiritual –terkadang magis- untuk mempersatukan jutaan individu di bawah panji-panji yang sama. Ini berkaitan dengan sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial yang selalu mencari kumpulan dan komunitas tempat ia bisa mengafiliasikan diri. – hal. 395
Garis Batas disajikan dalam 5 Bab. Setiap bab bercerita tentang masing-masing negara. Tidak hanya mengenai keindahan atau kekurangan setiap negara, Agustinus Wibowo juga mengisahkan pengalaman yang berbeda-beda dari mulai masuk hingga keluar di setiap perbatasan. Maka yang membedakan tulisan Agustinus Wibowo dari traveller atau backpacker lain adalah, ia tidak pernah luput menceritakan tentang bagaimana interaksi sosial bermasyarakat di setiap tempat yang berhasil dikunjungi.    
Tajikistan, dengan ibu kotanya Dushanbe, merupakan negara terkecil sekaligus termiskin dibandingkan dengan Stan-Stan lainnya. Tapi siapa sangka tidak ada yang buta huruf di negara ini. Disini juga terkenal dengan birokrasi yang rumit dan ‘apa-apa mesti bayar’ (sounds like Indonesia? #sigh)

Kirgizstan, masih mirip dengan Tajikistan dalam hal korupsi dan keganasan polisi. Minum vodka dan bir adalah kebutuhan bahkan bisa dibilang lebih penting daripada makan meskipun negara ini bukanlah negara kaya.   

Adalah Kazakhstan, negara yang memiliki luas wilayah paling luas dibandingkan 4 negara pecahan lainnya. Luas wilayahnya menempati urutan kesembilan di dunia tapi penduduknya nggak sampai 16 juta jiwa (pada saat itu). Apa ibu kota Kazakhstan? Well, menjawab pertanyaan ini tidak semudah menjawab pertanyaan apa Ibu Kota Indonesia *ya iyalah* Ternyata negara ini udah beberapa kali pindah ibu kota. Silakan baca sendiri, karena akan terlalu panjang kalau ditulis di sini.

Berikutnya Uzbekistan, biasa kita singkat Uzbek. Terkenal sebagai salah satu pecahan Soviet yang paling anti Rusia. Ada beberapa hal yang unik dari Uzbekistan. Katanya, ada peraturan di sana: Uang yang dibawa keluar Uzbekistan tidak boleh lebih dari uang yang dibawa masuk. Nah loh? Jadi pada saat di perbatasan, semua benda yang dibawa harus ditulis dengan jelas. Yep, every single thing. Hal unik lainnya, dan yang paling menarik hati aku waktu baca, adalah tentang pernikahan di Ferghana, salah satu daerah di Uzbekistan. Mengutip kata penulis: Tidak pernah ada senyum terhias di wajah pengangtin perempuan Uzbek. Gimana nggak, pengantin perempuan Uzbek sebelumnya tidak mengenal lelaki yang akan dinikahinya. Makanya lirik lagu pernikahan di Uzbek adalah: jangan menangis, gadis, jangan menangis.

Terakhir Turkmenistan. Kayaknya ini adalah negara yang paling maju deh daripada saudaranya yang lain. Seluruh rakyatnya merasa cukup dengan yang ada di negaranya. Segala sesuatunya serba murah. Pelayanan kesehatan. Listrik, air, gas, disediakan gratis oleh pemerintah. Tapi, sayangnya, Turkemnsitan termasuk negara yang mengisolasi diri dari dunia luar.

I like how Agustinus describe each country. Ga ada rasa bosen karena kita selalu disuguhkan dengan kisah yang nggak disangka-sangka. Juga ada halaman yang berisi foto full colour yang diambil dari sisi unik masing-masing negara.
Jarak adalah sebuah garis batas, tetapi jalinan perasaan adalah penembusnya. – Hal. 508   
Dan hei, dari buku ini aku juga mulai bisa memaknai garis batas. Tapi jangan cerita di postingan ini deh. Kepanjangan.
Tetapi pernahkah kita membayangkan menjadi warga sebuah negara yanh tidak mendapat perlakuan dunia? .... Atau jika anda terlahir sebagai orang Rohingya, sampai terkatung-katung di Indonesia, karena dibantai dan tidak diakui harkat kemanusiaannya oleh negara asalnya di Myanmar? Atau bangsa Palestina yang kehilangan tanah airnya, memegang ‘paspor Mesir untuk Pengungsi Palestina’ dan tidak bisa lagi menginjakkan kaki ke tanah kelahirannya. – Hal. 422

March 13, 2015

[review] Sabtu Bersama Bapak - Adhitya Mulya

0komentar

Judul : Sabtu Bersama Bapak
Penulis: Adhitya Mulya
Penerbit : GagasMedia
Halaman : 278 halaman
Cetakan: Kedelapan, 2015
ISBN: 9797807215

Adhitya Mulya, awalnya berasa familiar dengan nama ini. Pas buka Goodreads, baru deh nyadar kalo dia adalah penulis buku Jomblo (Sebuah Komedi Cinta) dan GegeMengejar Cinta. Baru nyadar juga kalau dua buku yang aku sebutkan itu berasa garing and I didn’t rate well enough. Mendadak aku sangsi kalau Sabtu Bersama Bapak bakal bikin aku suka sesuai rekomendasi dua orang temen. Tapi ya mau gimana lagi. Bukunya udah kebeli juga. #halah
    Ternyata eh ternyata, baru beberapa halaman pertama, aku udah nangis dan mendadak kangen Papa! Meskipun tetap dengan joke yang garing di sela-sela percakapan –khas Adhitya Mulya— tapi selalu ada sesuatu yang menyentuh hati.    
Meminta maaf ketika salah adalah wujud dari banyak hal. Wujud dari sadar bahwa seseorang cukup mawas diri bahwa ia salah. Wujud dari kemenangan dia melawan arogansi. Wujud penghargaan dia kepada orang yang dimintakan maaf. Tidak meminta maaf membuat seseorang terlihat bodoh dan arogan.
            Sabtu Bersama Bapak adalah agenda rutin dua orang anak lelaki: Satya dan Cakra untuk ‘duduk’ dan mendengar ‘obrolan’ Sang Bapak. Sengaja diberi tanda kutip, because they did it in different way of ngobrol. Mereka duduk dan ngobrol melalui video yang sudah direkam sejak hari pertama Sang Bapak divonis kanker. Demi rasa cinta dan tanggung jawab membesarkan anak sampai selesai, Sang Bapak rela mengabadikan setiap cerita hidup dan nasihat yang akan berguna sampai anak-anaknya dewasa. Dan hasil rekaman tersebut ditonton Satya dan Cakra di setiap hari Sabtu.
Ada beberapa pelajaran yang berhasil ditanamkan Adhitya tanpa ada kesan menggurui pembaca. Diantaranya pembahasan mengenai sosok Istri yang ideal *cieeeee*, bagaimana cara mendidik anak yang memiliki karakter berbeda-beda, bagaiman peran anak sulung yang selama ini diyakini sebagai sosok cotoh untuk adik-adiknya, juga tentang proses mencari jodoh yang sepenuhnya misteri *eeaaa*.
Menjadi panutan bukan tugas anak sulung, kepada adik-adiknya. Menjadi panutan adalah tugas orang tua, untuk semua anak.
       Really recommended. Apalagi buat pria-pria yang sudah ataupun mau berkeluarga. Kayaknya baru kali ini aku suka buku Adhitya Mulya.

March 10, 2015

[review] Atap - Fira Basuki

1 komentar

Judul : Atap (Trilogi Jendela – Pintu – Atap #3)
Penulis: Fira Basuki
Penerbit : Grasindo
Halaman : 280 halaman
Cetakan Pertama: January, 2002  

ISBN: 9789790818200

Berisi tentang curhat-curhatan kakak-beradik, Bowo dan June. Setelah masing-masing diceritakan terpisah dalam dua novel sebelumnya “Jendela-Jendela” dan “Pintu”, lika-liku perjalanan cinta dan spiritual mereka diceritakan dalam satu “Atap”. Meskipun dibangun dengan alur maju-mundur, pembaca nggak akan kebingungan karena ada narasi atau dialog antara June dan Bowo sebagai pengantar untuk memberitahu kisah siapa yang akan diceritakan.
Masih kental dengan budaya Jawa dan kisah-kisah spiritual yang sedikit bikin serem apalagi kalau bacanya  di kos sendiri malem-malem khas Fira Basuki, ‘Atap’ menjawab pertanyaan-pertanyaan aku sebelumnya, karena sepertinya “Jendela-Jendela” dan “Pintu” sengaja dibuat gantung.

Ada satu kalimat yang bikin jleb:
Home, itu dimana kamu merasa paling aman dan nyaman apapun yang terjadi. Home, dimana kamu mendapat ketenangan jiwa. Terkadang tidak harus bersama orang yang kita cintai. Terkadang hanya diri kita sendiri dan perasaan tenang.
Jangan katakana padaku Home adalah rumah orang tuamu. Banyak orang juga begitu. Mereka lebih senang bersama orang tua dan dimanja seumur hidup. Ingat, kamu perempuan dewasa. – Hal.177    

IMO, cerita ini tergolong ringan dan mengalir bagai air. Konflik yang dimunculkan sebenarnya complicated sih. Gimana nggak, kebanyakan ceritanya tentang perselingkuhan dalam rumah tangga. Ngeri juga, kan. Mungkin karena ditulis dengan cara si tokoh yang ‘bercerita’ secara langsung. Tapi setelah baca in iaku jadi tau lebih banyak tentang hal-hal spiritualitas deh. Buat nambah pengetahuan boleh kali ya.
Eh, buku ini boleh deh dibilang gado-gado. Kenapa? Karena dalam cerita inti juga ada sedikit tentang mitos-mitos Jawa, ilmu Feng Shui dan resep masakan!   

 

tentangku © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates