October 25, 2016

Sudah Saatnya Gantung Muts dan Gordon

0komentar


Sudah saatnya gantung muts dan gordon. 

Begitu pernyataan yang terucap 2 tahun lalu, April 2013. Ketika itu, ketika gelar sarjana akhirnya sudah ditangan, ada satu keinginan untuk menjadi bagian dalam kepengelolaan basic training untuk terakhir kalinya, sebelum memasuki dunia nyata. Demi komisariat tercinta dan terkasih.

Ternyata Allah SWT berkata lain.

Karena, pada Mei 2015, satu kalimat merubah segalanya; Tidak ada Master of Training untuk Komisariat Ekonomi Unand.

Tidak ada yang lebih menyedihkan bagi seorang instruktur atau master, yang tugas utamanya adalah kaderisasi, ternyata tidak mampu melahirkan generasi penerus. Apalagi bagi komisariat sendiri. Tidak ada yang lebih menyakitkan ketika mengetahui bahwa rantai proses itu putus di tangannya. Lebay? Mungkin. Tapi biarlah, kalau itu lebih baik daripada tidak merasa sama sekali. Then, who’s to blame? Apakah karena abang atau kakak yang tidak berusaha cukup keras untuk membina adik-adiknya? Apakah karena abang atau kakak yang tidak siap untuk menjadi contoh? Sehingga bagi mereka, proses yang bermula dari LK 1, komisariat, cabang, bahkan hingga jenjang yang lebih tinggi tidak lagi menarik. Atau apakah karena adik yang terbiasa dengan status ‘adik’, maunya selalu dimanja dan diperhatikan lalu terlena dengan suasana nyaman sehingga keinginan untuk menempa diri tidak lagi terbersit dalam hatinya? Apakah karena adik yang setiap kali mengalami kesulitan, tinggal mengadu ke kakak, sehingga tidak lagi muncul kreatifitas dalam menyelesaikan masalah sendiri?

Well, I don’t know.  Tentu akan lebih arif kalau kita bisa cover both sides dalam memandang fenomena tersebut.

Memutuskan untuk memakai kembali muts dan gordon yang sudah lama tergantung, tentu bukan tanpa pertimbangan yang masak. Bukan karena sekedar bujuk rayu adik-adik komisariat yang sudah ‘mambana’ ke kakak perempuannya. Tidak. Bukan berarti juga pengurus dan panitia tidak diminta untuk mencari tim master dari komisariat lain. Sudah. Toh, kenyataannya beberapa tim master generasi sekarang yang available dan dipercaya juga terkendala mengelola pada saat itu. Lalu kenapa tidak yang lain yang bisa saja? Kenapa harus memaksakan keinginan bahwa Master of Training pengelolaan kali ini tetap berasal dari komisariat sendiri? Sebenarnya tidak ada keharusan. Sama sekali. Ini hanya tentang siapa dan bagaimana sosok yang pertama kali dikenal oleh peserta training. Ini hanya tentang kepercayaan dalam mengelola seluruh elemen training. Tentang bagaimana nilai-nilai afektif yang menjadi penilaian terbesar dalam standar LK 1 ditransformasikan dengan maksimal sesuai dengan pedoman perkaderan. So, frankly speaking, bagi Tim Master yang tidak ‘dipercaya’, silakan tanya diri, kenapa seorang yang menjadi pucuk pimpinan dalam kepengelolaan malah menjadi sosok yang tidak dipercaya dalam mengemban amanah? Meski memang, terlepas dari itu semua, tentu tidak ada yang tidak ingin LK 1 nya dikelola oleh Master of Training dari komisariat sendiri. Kearifan tentang pemahaman kebutuhan dan budaya komisariat menjadi alasan paling pamungkas. Tapi, hey, siapa bilang mengelola di komisariat sendiri itu gampang? Nggak percaya? Silakan jadi instruktur, silakan jadi Master of Training.  

Langkah untuk ‘turun gunung’ juga tidak lantas lepas dari segala perseteruan. Internal dan eksternal. Memusatkan pikiran dan perhatian dengan kondisi setengah kaki sudah berada di dunia nyata bukanlah suatu hal yang mudah. Belum lagi segala bentuk perhatian berlimpah yang mendadak mucul dari orang-orang sekitar, kakak, abang, uda, uni, bahkan adik-adik sendiri. Jangan dikira tidak ada yang melarang. Meski pada akhirnya ada rasa terima kasih yang tak hingga untuk semua pihak atas perhatian tersebut, karena tentu semua dilakukan atas dasar kasih sayang.

Tentu banyak yang meyakini bahwa ini adalah bentuk kemunduran bagi komisariat jika LK 1 masih dikelola oleh generasi yang sudah lama tidak bersentuhan langsung dengan training formal. Sudah banyak melahirkan adik-adik baru pula. Tapi apa hendak dikata? Memilih jalan yang beda untuk mencapai visi besar butuh energi yang besar juga, kan? Kalau dinilai sekedar panggung yang dicari disana, perlu diketahui, di titik kehidupan tempat berpijak saat ini semua itu tidaklah relevan lagi. It’s not what I’m looking for. Not anymore. Sudah sejauh dan sebesar ini langkah yang diambil tentu akan sia-sia rasanya jika hanya hal ‘ecek-ecek’ yang dibawa.

Everything have to be worthy. Semua elemen training harus menjadi pihak yang ‘berproses’ di sana. Tidak hanya peserta, tapi pengelola dan panitia juga. Kalau dipikir-pikir, tidak apalah, jika kita mundur satu langkah untuk kemudian maju beberapa langkah. Bukankah Hatta sendiri pernah bilang dalam buku ‘Untuk Negriku’:

 “Kita pun tau, bahwa kemenangan tidak mudah didapat dalam perjuangan kita menuju cita-cita. Kita akan kalah berkali-kali dan tewas berulang-ulang”

Anggap saja, langkah mundur kemarin menjadi cambuk buat semua pihak, tidak hanya pengurus komisariat, tapi juga alumni, pengurus cabang dan BPL yang harusnya menjadi muara dalam mencari dan mencetak tim pengelola. Lagipula, selama ini kita digembar-gemborkan dengan pernyataan: ‘JIka mau HMI baik, perbaiki perkaderan. Jika perkaderan mau baik, perbaiki training. Jika training mau baik, perbaiki instruktur.’  Lalu bagaimana jika instruktur mau baik? Kalau diizinkan menyambung kalimat tadi, jawaban yang akan diberikan adalah dengan memperbaiki diri sendiri. Jadilah instruktur, perbanyaklah mengelola. Kalau sekiranya ada yang tidak suka dengan gaya dan tingkah polah pengelola yang ada, jadilah pengelola yang seperti kita inginkan.

Last but not least, untuk anggota-anggota baru, siapa saja, dari LK 1 apa saja. Selamat datang dan selamat berproses. Kita semua sudah memegang tongkat estafet. Mau bagaimana setelah ini dan mau menjadi apa kita nanti tentu tidaklah mudah. Kita tidak tau seberapa panjang jalan yang akan ditempuh dan apa saja yang akan dihadapi. Life is full of surprise, isn’t it? Bukankah dari yang tidak mudah itu kita bisa menjadi kuat? Apalagi menjadi generasi yang R.E.A.L: Religius, Educated, Attitude, Loyal (meminjam tema LK 1 Komisariat Ekonomi kemaren).  Kita semua belajar untuk itu. Dengan segala ujian yang ada.

Kalau kata @pidibaiq (you may check on twitter):

“Mudah-mudahan kita kuat, sekuat kehidupan, sekuat cinta dan pemahaman.”

After all, I do really apologize, mewakili tim pengelola, atas semua kekurangan, kesalahan, konflik yang tercipta, perseturuan yang muncul dengan berbagai pihak, semoga ini menjadi sesuatu yang mendewasakan kita. Juga sebagai seorang kakak, maaf karena seorang ‘KakPi’ belum maksimal dalam berperan aktif selama berproses di komisariat. Atas segala sisi yang tidak baik, silakan dibuang dan dijadikan pelajaran untuk tidak menjadi seperti itu. Ingatkan jika salah.

Puji syukur kepada Allah SWT, dan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat, karena LK 1 Komisariat Ekonomi Mei 2015 telah menciptakan pengalaman pertama (dan terakhir) untuk dapat merasakan sensasi hubungan yang dulunya adalah Master-Peserta menjadi Master-Instruktur. Mengelola bersama Andri (Komisariat ITP), Ferdi (Komisariat IS UNP), dan Ijek, Trendy, Ibob (Komsariat Ekonomi Unand) menjadi sebuah penutup manis dalam catatan sejarah kepengelolaan seorang Fia. Semua yang terjadi disana, hingga nanti, telah menciptakan ruang baru yang berisi kemenangan dan kekalahan, kekecewaan dan kerinduan, dalam satu titik di kehidupan ini.

Dan akhirnya.
Sudah saatnya gantung muts dan gordon.

P.S: pernyataan terakhir di atas bukanlah sebuah permohonan izin, tapi informasi. :)


13:13 - Jumat  19 Juni 2015. 
Hafizhah

October 19, 2016

[review] Genduk - Sundari Mardjuki

0komentar


Judul: Genduk
Penulis: Sundari Mardjuki
Penerbit: Gramedia pustaka Utama
Tahun terbit: Juli, 2016
Halaman: 232
Rating: 3 of 5

Awalnya tertarik dengan Genduk karena diskon 25% dari Gramedia untuk buku-buku yang masuk nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa 2016. Berhubung aku nggak terlalu suka baca buku puisi dan untuk kategori prosa udah baca buku O, pilihanku jatuh ke Genduk.

Buku tipis ini selesai aku baca hanya waktu 1, 5 jam. Ceritanya ringan, mengalir begitu saja, tanpa mesti berfikir keras. Tipikal buku yang memang lagi aku butuhkan karena lagi pengen baca buku yang nggak berat dan bisa langsung selesai sekedar untuk bikin otak segar.

Adalah Genduk, gadis yatim berusia sebelas tahun yang hidup dalam keterbatasan. Tidak hanya keterbatasan finansial tapi juga keterbatasan pengetahuan tentang sosok Pak’e, ayah kandungnya. Yung, singkatan dari biyung atau ibu, juga tidak bisa Genduk harapkan untuk bercerita tentang ayahnya karena responnyayang kerap membisu ketika ditanya. Konflik mulai menguat ketika rok warna oranye ubi jalar milik temannya mampu membakar hati Genduk yang sudah tak sanggup  lagi menahan laku prihatin setiap kali musim panen tembakau datang. Entah itu karena gejolak pubertas seorang gadis yang beranjak dewasa, yang ingin tampil cantik jelita, Entah itu karena hati yang sudah penuh dengan masalah-masalah yang ditahannya selama ini. Genduk memutuskan melakukan tindakan yang bahkan tak pernah dia pikirkan sebelumnya.

Tidak hanya Genduk, karakter masing-masing tokoh di buku ini pas, nggak lebay, dan menurut aku semua berjalan sesuai alurnya. Berlatar belakang kehidupan petani tembakau di lereng Gunung Sindoro, nuansa pedesaan yang digambarkan cukup kuat. Bahasa daerah yang digunakan untuk membangun tokoh dan menghidupkan suasana pun dirasa tidak berlebihan. Aku aja ngerti bacanya, padahal bukan orang jawa.

Meskipun ide ceritanya sederhana, salut deh sama penulisnya yang rela sebelumnya melakukan penelitian selama 4 tahun supaya tau proses tembakau sejak ditanam sampai panen. Kayaknya nggak sia-sia deh perjuangnnya. Meksipun mengambil latar tahun 1970-an, pembaca nggak perlu bingung untuk set their mind into that time karena penulisnya mewarnai cerita dengan kondisi sosial yang mungkin terjadi  di masa itu. Misalnya, penulis masih memasukkan cerita tentang PKI atau tentang ritual Yung dalam berdoa.  Eh, itu pendapat subjektif aku sih ya.      

Namun, ketika ada yang bilang novel ini seolah menjadi bayang-bayang novel Ronggeng Dukuh Paruk, aku cenderung mengiyakan. Memang sekilas novel ini mengingatkan aku dengan Ahmad Tohari. Malahan entah kenapa aku juga inget Gadis Kretek dan Entrok, padahal ceritanya nggak mirip. Tapi itu nggak mengganggu aku sih. Apalagi ketika mbak penulisnya menyebut AT sebagai salah satu penulis yang menginspirasinya. Katanya sih, itu biasa.

Aku suka buku ini! Covernya juga bagus. 

p.s: cerita ini terinspirasi dari kisah ibu kandung penulis sendiri, lho.


12 Jam di Capsule by Container Hotel

2komentar
Capsule by Container Hotel di Level 1 LCCT

Tinggal di daerah yang nggak punya penerbangan langsung kalau mau jalan kemana-mana, emang mesti pinter-pinter nyusun jadwal. Apalagi kalau pilihan penerbangannya nggak banyak dan nggak ada connecting flight. Seperti kalau kamu tinggal di Padang. Eits, tapi bukan berarti ini perjalanan jauh nggak bisa ditempuh ya. Hanya saja, kita jadi mesti pinter pinter milih tujuan wisata kalau mau jalan-jalan gembel alias low budget kayak yang beberapa kali aku lakukan tapi tulisannya masih aja belum diposting di blog.

Pertama kali having transit trip adalah ke Siem Reap. Biar bisa main agak lama di sana dengan tetap pulang ke Padang tanpa mesti in a rush karena mesti masuk kerja keesokan harinya, aku nggak punya pilihan penerbangan pulang di hari yang sama. Waktu kedatangan aku dari Siem Reap adalah jam 6 sore sedangkan waktu keberangkatan menuju Padang adalah jam 8 pagi besoknya. Maka, pertama kali itu pulalah aku menjadi airport sleeper. Nggak airport sleeper beneran sih. Dasar lagi kaya manja karena abis closing akhir tahun, aku memilih menginap di Capsule by Container Hotel KLIA2 yang sekarang namanya jadi LCCT, kenapa mesti ganti nama sih kan kerenan KLIA2, dan kenapa aku mesti heboh sendiri coba



penampakan kamar khusus perempuan

Konsep yang ditawarkan sama seperti hotel kapsul di Jepang, atau bunkbed yang biasa disukai oleh backpacker. Menginap disini memang menjadi plihan nyaman. Selain bisa rebahan di kasur yang empuk dengan nyaman, aku bisa melepas jilbab sebentar tanpa perlu khawatir karena ruangan untuk laki-laki dan perempuan dipisah. Ada pilihan queen size bed juga kalau punya temen bobo #eh. Tapi aku nggak tau sih ya giman ketentuan kalau mau menginap bareng pasangan HALALnya.

Nggak hanya menginap tapi juga tersedia fasilitas untuk mandi dan penyewaan loker. Pilihan waktu menginap pun beragam, mulai dari 3 jam, 6 jam, dan 12 jam dengan tarif berbeda juga. Berhubung udah booking online sejak masih di rumah, aku dapet tarif RM 90, lebih murah RM 10 jika dibandingkan dengan direct booking. Eh, ini tarif Februari 2016 ya, karena kalau nggak salah waktu aku transit di Mei dan Agustus 2016, ratenya udah naik. Mungkin karena banyak demand


all the things you got

Waktu check-in, kita akan mendapatkan goodybag yang boleh dibawa pulang berisi satu botol air mineral, sikat gigi dan handuk. Handuknya mesti dibalikin ya. Di kamar disediakan sandal jepit, colokan, telfon untuk wake-up call, meja lipat kecil, lampu, dan satu gantungan. Masing-masing kamar ada kain penutup yang bisa di tarik-ulur. Kalau lagi dibuka, pemandangan dihadapan kita adalah kamar lainnya. Jadi kalau kamu menghidupkan lampu, aktifitas di dalam kamar bisa keliatan dari luar. Oiya, barang-barang seperti koper sebelumnya disimpan di loker yang terpisah. Ada perpustakaan juga! 



kondisi kamar dengan curtain terbuka
kondisi kamar dengan curtain tertuitup
sendal jepit
tangga menuju lt.2
tempat sampah
Sayangnya, aku malah nggak bisa tidur. Ketika menjelang tengah malam sampai pagi, banyak orang datang yang mungkin juga memilih nginep disini. Suara langkah kakinya itu lhooo gedebak gedebuk. Belum lagi kalau mereka udah pada ngobrol tanpa mengontrol volume suara. Eerrgghhh, berisiknya jadi plus plus. Fyi, karena berkonsep container, semua suara nggak akan teredam dengan karena nggak ada tembok penghalang. Bahkan malam itu ada tetangga kamar yang nangis terisak-isak. -____-“

Share bathroom
Male - Female

Sepertinya aku nggak mau kesini lagi. Jadi airport sleeper beneran lebih asik dan lebih hemat pastinya. Trust me! 

Lumayan jadi pengalaman deh. Yang penting pernah mencoba.

October 18, 2016

3 Hari di Siem Reap; Angkor Wat, What?

1 komentar
Touch Down!
Waktu itu, Februari 2016.

Setelah masa peak season yang penuh perjuangan, dimana dua bulan terakhir menghabiskan sebagian besar waktu di kantor, akhirnya aku bisa sedikit bernafas lega. Lebih lega lagi setelah melihat payslip hasil lembur akhir tahun yang cetar membahana. Sudah saatnya memberi reward untuk diri sendiri: Jalan-jalan!

Nggak butuh waktu lama untuk menjadikan Siem Reap sebagai destinasi liburan. Ketika itu masih di kantor sekitar jam 9 malam, sehari sebelum bom Jakarta, aku nyambi buka situs penerbangan, pilih-pilih jadwal dan tiket promo, lalu klik, beli. Mungkin karena kode internasional bandaranya yang menarik hati #eh. Mungkin juga akibat suasana hati yang nggak jelas bercampur kecewa karena batal ke Borobudur bareng uni untuk mengejar sunrise.

Siem Reap, Kamboja, mungkin bukan tempat yang bakalan dilirik orang-orang pada umumnya kalau mau liburan ke luar negri. Mau liat apasih? Nggak banyak juga kok. That's why, kalau cuma punya waktu 3 hari 2 malam di Siem Reap, cukup kok. 

Ada Angkor Wat, salah satu UNESCO World Heritage Site. Disana juga jadi tempat syutingnya Angelina Jolie waktu jadi Lara Croft di Tomb Raider. Angkor Wat ini gede banget. You may googling it, please. Siapa sangka, Siem Reap justru lebih terkenal daripada ibukota negaranya sendiri, Phnom Penh. 

form kedatangan
Singkat cerita, hari yang ditunggu tiba. Semua sudah disiapkan. Udah blogwalking, ngumpulin berbagai informasi yang mungkin berguna nanti, bahkan udah tanya ini itu juga ke senior SMA yang sebelumnya pernah kesana buat lomba maraton (what?). Aku hanya perlu nyiapin tiket pastinya, bukti booking penginapan di Siem Reap, bukti booking penginapan di Capsule by Container Hotel (karena aku mesti nginep di bandara KLIA2 yang namanya sekarang berubah menjadi LCCT sebelum pulang ke Padang) koper setengah kosong, dan USD, karena dollar Amerika adalah mata uang yang dipakai disana. Oya, nggak ada perbedaan waktu dengan Indonesia bagian barat. Jadi nggak perlu bingung mengatur jadwal penerbangan. Hanya mesti sedikit aware ketika mesti transit di Kuala Lumpur yang lebih cepat 1 jam.

Sampai di Siem Reap, aku mesti mengisi arrival card. Sebenernya ada dua sisi kertas, arrival dan departure. Sisi kartu kedatangan bakalan disobek sama petugas imigrasi sedangkan departure card akan ditempelin ke paspor. Inget, jangan sampai hilang, karena kartu ini bakalan diambil ketika kita akan meninggalkan negara mereka. Biasalah ya, prosedur umum ketika sampai ke negara orang. And the good news to get in here is, bebas visa! 

tuk-tuk ala Kamboja
      Hal pertama yang kepikiran ketika sampai di penginapan sekitar jam 4 sore adalah cari makan. Menemukan makanan halal di sini memang rada susah. Untungnya, penginapan yang aku pilih terletak dekat dari pusat keramaian. Pilihannya hanyalah restoran India yang berlogo halal (karena ada juga yang nggak pakai logo), kebab Turki yang penjualnya Muslim, atau KFC! Yessss… KFC di Siem Reap ada logo halalnya, kok. Karena nggak terlalu banyak pilihan, harga makanan halal cenderung jauh lebih mahal dibanding yang lain. Bahkan, foodtruck penjual bir dan minuman beralkohol lainnya pun lebih banyak ketimbang yang jualan jus buah. Harganya pun jauh lebih murah. Mbok ya murah pun nggak akan aku beli toh.

Amok
Detinasi pertama aku di Siem Reap adalah Pub Street dan Night Market yang terkenal dengan kehidupan malamnya. Dibilang begitu, karena emang merupakan pusat perbelanjaan, kuliner, fish spa dan tempat turis-turis nongkrong yang bakalan baru ramai  dari sore sampai malam. Atau sampai pagi, nggak tau juga. Aku nggak sampe tengah malem juga sih ngider-ngidernya. Jadi asiknya, nggak perlu panas-panasan belanja. Jadwal keliling candi kota pun nggak terganggu dengan jadwal belanja. Nggak perlu ditanya, setelah selesai makan, aku langsung bersemangat untuk,.. belanja!

Pub Street
ala ala anak gaul Pub Street
Night Market
Art Center Night Market
anak gauk Pub Street beneran

Seru kan, baru sampai udah langsung beli oleh-oleh.          
Serunya belanja disini adalah pedagangnya yang lancar berbahasa Inggris. Nggak hanya pedagang, tapi juga tuk-tuk drivernya. Mungkin karena Siem Reap memang sangat ramai dengan wisatawan, mau nggak mau penduduk setempat mesti bisa bahasa inggris walaupun sekedar tawar-menawar harga dan kalimat rayuan “Balilah Da…Balilah Ni…”

Puas belanja dan cuci mata, aku pesen tuk-tuk buat nganterin balik ke penginapan sekaligus booking drivernya untuk seharian di Angkor Wat besok. Seharian means, dari sebelum subuh masih demi melihat sunrise, ngider dari satu candi ke candi lainnya sampai sore dan balik ke penginapan lagi. Tarif tuk-tuk pada dasarnya sih standar. Untuk perjalanan dekat, seperti dari penginapan ke Pub Street, aku ‘cuma’ bayar $2. Padahal ya, kalau naik angkot itu udah 4 kali bolak balik. Sedangkan untuk seharian di Angkor Wat aku mesti bayar $20. Seharga carter avanza, yes? Namun, sangat disarankan untuk nanya ke pihak hotel untuk tau berapa kisaran tarif biar nggak dikibulin dan bisa tawar-menawar.   

toko cemilan khas Kamboja
tembikar dan kerajinan tangan
bekas karung semen!

Hari kedua di Siem Reap.

Meski harus melawan ngantuk, aku rela berangkat menuju Angkor Wat jam setengah lima pagi. Biar nggak terlambat dan nggak kelamaan antri, kata tuk-tuk drivernya. Selain itu juga mesti rela shalat subuh di tempat yang aku pikir layak, karena aku nggak tau disana ada mushalla atau nggak. Setelah shlat, baru deh aku ngantri buat beli daily pass seharga $20. Lumayan juga. Itu baru harga buat seharian keliling candi. Apalagi tiket untuk 3 hari atau seminggu. Lebih mehong lagi. Bahkan kalau nggak salah, aku baca di twitter, harga tiket masuk Angkor Wat sekarang udah naik.  Oya, jangan lupa senyum, karena untuk mendapatkan kartu tanda masuknya, kita mesti difoto! 

antri!
batal sunrise di Borobudur, Allah kasih kesempatan sunrise-ing disini
memasuki areal Angkor Wat








Angkor Wat tampak belakang

istirahat dulu


salah satu spot favorit buat yang mau ngambil foto sunrise


 


Bayon Temple

Elephant Terrace
bagian depan komplek Ta Phrom Temple
candi dulu trus pohonnya tumbuh atau pohonnya tumbuh duluan baru candi dibangun?


Fia Croft!


Berhubung Angkor Wat ini luas banget, nggak semua sudut bisa dijelajahi. Lumayan gempor juga kaki. Supaya bisa menghemat waktu juga karena nggak hanya Candi Angkor ini yang menarik. Ada Bayon Temple dan Ta Phrom Temple. Sebenarnya masih banyak komplek-komplek candi yang bisa dikunjungi. Hanya saja, jarak antara satu candi ke candi lain itu cukup jauh (that’s why we need tuk-tuk), aku udah keburu laper. Mengingat aku cuma berbekal sarapan seadanya dan itupun disambi selama ngider-ngider Angkor, aku memilih kembali ke pusat kota. Why? Selain karena udah ngabisin waktu sampe sore, di kawasan Angkor aku nggak nemu makanan halal. Mas tuk-tuknya sih sempat nganterin ke salah satu tempat makan yang katanya nyediain makanan halal. Sayangnya, disana juga jual pork. Duh.

Maka jatuhlah pilihan ke restoran India lagi.

Sepanjang perjalanan sebelum menuju restoran, aku sempat melihat outlet Madam Sachiko Cookies. Letaknya nggak jauh kok dari pusat kota. Tergoda untuk kesana, aku minta sama Mas tuk-tuknya untuk nganterin kesana. Untung dapet Mas tuk-tuk yang baik sih. Dia rela nungguin aku makan dulu, kemudian balik lagi biar aku bisa foto beli kue.


        Madam Sachiko Cookies menjual kue kering yang berbentuk Angkor Wat. Tenang, ada label halalnya. Selain itu, di sana juga jualan souvenir, kopi dan the khas Kamboja, juga rempah-rempah. Sayangnya, harga kue dan souvenir disini lumayan mahal. Sekotak cookies isi 20 dihargai $10. Nggak apa-apa deh ya dibeli sekotak, daripada nyesel nggak nyobain. 

cetakan kue Angkor Wat


souvenir khas Siem Reap

menu makan malam: kebab Turki
Hari Ketiga di Siem Reap


Artisans D'Angkor
Hari terakhir. Untungnya flight pulang ke Kuala Lumpur masih nanti siang. Aku masih bisa nyempetin untuk berkunjung ke Artisans D’Angkor. Merupakan pusat kerajinan dan tenun khas Kamboja, yang terbuka untuk umum. Ketika kita kesana akan ada guide yang bakalan nemenin kita melihat-lihat sekaligus menjelaskan proses pembuatan kerajinan, mulai dari patung yang dipahat dari kayu dan batu, lukisan, dan tenunun khas Kamboja yang dipintal dari ulat sutra. Selesai ngider, rombongan tur dianter ke galeri, tempat kita bisa membeli hasil kerajinan tersebut. Harganya tentu beda dengan barang-barang yang udah aku beli di Night Market. Ada harga ada kualitas donk ya. Namun, saking mahalnya, aku cuma sanggup beli pembatas buku seharga $2 dan 2 buah syal untuk aku dan uni. Harga syalnya nggak usah disebut deh, hihi. 




ini gaya doank
berhubung nggak boleh foto di dalam galeri, foto di luar aja

belanjaan paling mahal :)
Sebelum kembali ke hotel, aku memutuskan untuk beli makan siang dulu. Daripada kelaparan di bandara. Demi menghindari masakan India lagi, akhirnya kau ke KFC. Yeay! Alhamdulillah, rasa nasi dan ayamnya masih cocok di lidah. Plus telur dadar pula.

Kembali ke bandara, aku pilih menyewa jasa airport shuttle dari pihak penginapan. Biar nggak repot. Dipikir-pikir sih daripada susah nyari taksi. Kan koper yang tadinya setengah kosong kini sudah beranak pinak.   

And I’m ready to go home


 

tentangku © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates