November 09, 2011

Malam Ini Hujan Tak Datang


Sudah seharian jari ini terdiam di atas tuts hitam milik notebookku. Sudah puluhan kali pula kakiku mondar-mandir mencari sesudut tempat yang nyaman sambil mengharap sang inspirasi datang. Seketika aku kehilangan kemampuan menulisi apa yang aku pikirkan dan kurasakan. Mungkin karena masih berduka karena tidak mampu melawan sepiku sendiri. Hingga aku hanya bisa diam berjam-jam memandang layar Ms. Word yang masih polos.
Bip. 1 new message.
Hatiku berdetak kencang. Harusnya itu kamu, Ari. Kuraih ponsel dengan tangan gemetar.
Kamu dimana De? Jangan menghilang ginilah. Share donk. Gue pinjemin bahu deh buat nangis. Jangan sok kuat sendiri deh.
Lyra.
Dia pasti tau ada apa-apa padaku karena tak menemukan tulisan baru di teras blog coklat milikku. Antara senang dan kecewa. Senang karena hubungan persahabatan yang telah kami jalin sejak SMP dulu menciptakan ikatan emosi yang kuat. Kecewa, karena itu bukan kamu Ari. Dengan enggan kubalas sms Lyra.
Sabar. Having writer’s block nih.
Sent.
Gambar surat meloncat-loncat di layar ponselku. Seperti pikiranku yang meloncat kian kemari. Pada tiap moment yang telah kulewati bersamamu setelah hampir setahun. Hampir. Beberapa menit lagi. Satu tahun kita.
Sudah hampir jam 9 malam. Belum ada satu kata pun yang kuketik. Juga belum ada satu kabar pun darimu. Aku memutuskan untuk mengambil strawberry cupcake kesukaanmu. Tahukah kamu? Saat aku beli tadi pagi, Ami, si penjaga toko tersenyum padaku. Akhirnya, dia tersenyum! memang sih, ada yang sedikit aneh dari tatapannya. tapi, ingatkah gara-gara kamu sering berbelanja disana, dia naksir kamu dan bersikeras untuk menjadi orang yang selalu melayani kamu? Itu membuat kamu takut. Sehingga sejak saat itu kamu tidak pernah berani menginjakkan kaki ke toko itu tanpa menggandeng tanganku. Sepertinya itu cukup membuat dia patah hati sampai-sampai aku menjadi korban muka masamnya tiap kali aku kesana. Mungkin dia kesal karena aku merebut pujaan hatinya. Hahaha…kamu memang gampang membuat wanita jatuh hati Ari. Wanita mana yang tidak meleleh melihat senyum kamu?
Strawberry cupcake itu masih dalam kotak dan terbungkus plastik. Aku mengeluarkannya dengan hati-hati. Takut lepas dari genggaman tanganku yang mulai mengigil. Aku meletakkannya dari plastik. Berharap beberapa saat lagi kamu datang dan kita berdua bisa menghabiskan malam sambil menyantap cupcake itu sampai habis.

Aku kembali melangkahkan kaki menuju tempat duduk favorite kita. Sofa berwarna krem menghadap ke jendela. Tempat kita biasa menikmati malam. Tempat dimana aku bisa menunjukkan padamu indahnya hujan yang turun di bawah lampu jalan berwarna orange di depan rumah kita. tempat dimana aku bersikeras bahwa hujan itu indah, tapi kamu tidak suka. karena bagimu hujan itu mematikan langkah. akhirnya kita berdebat tentang hujan. biasanya perdebatan ini berakhir dengan aku yang geregetan mencubit pinggang kamu sampai kamu mau menyerah.
Aku memainkan bandul berbentuk jam pasir di leher ku. Sambil memejamkan mata, aku mencoba memanggil bayanganmu. Tapi sepi kembali datang. Lagi-lagi aku hanya bisa menatap layar notebook. Ah, entahlah apakah aku tengah menikmati indahnya rasa sepi ini atau memang ada yang menari-nari dijiwaku dan tak mampu aku keluarkan menjadi tulisan atau sekedar kata. Aku meluruskan kaki sekedar meregangkan otot. Mataku memandang lurus kearah lampu jalan. Malam ini hujan tak datang. Aku menghela nafas panjang. Saat itu pula ringtone ponselku berbunyi. Lyra.
Kubiarkan beberapa saat. Sepertinya dia terlalu gigih untuk tetap menelponku. Ari, kalau kamu disini pasti kamu yang membantuku berbohong dan mengatakan aku sudah tidur. Pasrah, kutekan tombol hijau.
De..aku di depan...
Tanpa sempat kujawab, Lyra sudah memutuskan hubungan telfon. Dengan malas aku beranjak ke ruang tamu. Saat itu juga aku melirik jam dinding. Jarum panjang menunjukkan angka 12. Kamu tak datang. Air mataku tumpah. Tangisanku semakin kencang. Hari ini, setahun yang lalu, aku resmi menjadi istrimu. Tepat jam 9 malam, kamu menyematkan kalung emas putih ini dileherku seraya membisikkan sesuatu ke telingaku. Aku tak akan pernah meninggalkanmu.
“De...De…bukain pintu! De..kamu kenapa?”
Aku mengumpulkan segenap tenaga untuk bangkit dan berjalan ke arah pintu. Pintu terbuka. Lyra berlari memelukku.
“De…”
“Ari nggak dateng Ra
. Ari nggak dateng…” isakku. Bahu Lyra basah.
“De…sabar. Ari nggak mungkin dateng. Biarin Ari tenang disana,” pelukan Lyra semakin erat.
“Tapi dia janji ga akan ninggalin aku…Dia janji…”
Mataku yang basah melihat keluar. Pintu masih terbuka. Malam ini hujan tak datang. Sama seperti kamu, Ari.

3 komentar:

Ifnur Hikmah (iiph che) said...

Heh kamu bikin orang nangis aja pake cerita ini

Fhia said...

really?
waduuh..efek galau nih..
anyway..thanx :)

hablisme said...

separo nyata,,separo fiksi

 

tentangku © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates