Buku kedua
dari tetralogi buru Pramoedya Ananta Toer. Yang pertama, Bumi Manusia, berhasil bikin penasaran
banget sama buku kedua. Seterusnya, ini lagi ‘gantung’, nggak sabar pengen
dapet buku ketiga. Begitulah ‘penyakitnya’ kalo baca buku berseri.
Disini Minke dihadapkan dengan
situasi yang jauh berubah. Minke diminta, bahkan dipaksa oleh dua orang
dekatnya, Jean Marais dan Kommer untuk membuka mata lebar-lebar dan melihat
realita yang terjadi pada bangsanya, tepatnya pada penduduk Pribumi. Ditantang
menulis dalam bahasa Melayu dan Jawa sering kali menjadi poin yang bisa
menyulut emosi. Namun, apa hendak dilawan, niatnya untuk merubah kehidupan
bangsa sendiri yang mengharuskan dia, sekuat tenaga, bersikap adil, bahkan
sejak di dalam pikiran. Maka niat itu dimulai dengan melihat secara langsung
kehidupan salah satu keluarga petani tebu di Tulangan bernama Trunodongso.
Seolah tanpa ada hentinya,
Minke masih saja dihadapkan dengan hal-hal yang sampai menghambat dirinya untuk
melanjutkan sekolah kedokteran. Setiap hal terjadi untuk menguji keteguhan hati
Minke untuk menjadi orang yang sebenarnya terpelajar.
Maka, untuk memperkuat nilai
buku ini nggak ada salahnya mengutip potongan kalimat:
… namun juga mengisi isu kesusasteraan yang sangat minim menggarap periode pelik ini. Karena itu, hadirnya roman sejarah ini, memberi bacaan alternatif kepada kita untuk melihat jalan dan gelombang sejarah secara lain dan dari sisinya yang berbeda. mungkin pembaca ada yang mengatakan bahwa novel tak lebih hanya membangun khayal penulisnya. Akan tetapi, roman ini disandarkan penulisnya lewat sebuah penelusuran dokumen pergerakan awal abad 20 yang kukuh dan ketat.
Highlight on Anak Semua Bangsa:
Orang bilang, apa yang ada di depan manusia hanya jarak. Dan batasnya adalah ufuk. Begitu jarak ditempuh sang ufuk menjauh.
~
MInke, 2.
Mendapat upah karena menyenagkan orang lain yang tidak punya persangkutan dengan kata hati sendiri, kan itu di dalam seni namanya pelacuran.
~
Jean Marais, 78.
Sepandai-pandai ahli yang berada dalam kekuasaan yang bodoh ikut juga jadi bodoh, Tuan.
~
Khouw Ah Soe, 88.
Orang tua-tua kami bilang: Di langit ada sorga, di bumi ada Hanchou, dan kami menambahkan, di hati ada kepercayaan.~Khow Ah Soe, 89.
Eropa tidak lebih terhormat dari kau sendiri, Nak!
~
Nyai Ontosoroh, 100.
Benar sekali: batu-batu kali, kerikil, dan cadas pun bisa menyatakan perasaannya. Jangan remehkan satu orang, apalagi dua, karena satu pribadi pun mengandung dalam dirinya kemungkinan tanpa batas.~ Minke, 108.
Kesulitan terbesar hanyalah karena kehabisan teman.
~
Minke, 114.
Sebesar-besar ampun adalah yang diminta seorang anak dari ibunya, sebesar-besar dosa adalah dosa anak kepada ibunya.
~
Robert Mellema, 130.
Kami percaya, Minke. Akhir-akhirnya semua diciptakan Tuhan untuk kita semua. Dan tiada kebahagiaan tanpa melewati ujian.
~
Miriam de la Croix, 141.
Semakin sibuk orang mencari-cari dan menemukan, semakin jelas, bahwa dia sebenarnya diburu-buru oleh kegelisahan hati sendiri.
~
Miriam de la Croix, 143.
Untuk apa hidup sesungguhnya? Buakn untuk menampung semua yang tidak diperlukan.
~
Nyai Ontosoroh, 148.
Apa artinya pandai kalu tak berbahagia di rumah sendiri? Belajar juga penting – belajar membangun kehidupan sendiri. Sekolah kan cuma penyempurna saja.
~
Jean Marais, 150.
Pohon tinggi dapat banyak angin. Kalau Tuan segan menerima banyak angin, jangan jadi pohon tinggi.
~
Kommer, 155.
Bahkan tanpa mempelajari bahasa sendiri pun orang takkan mengenal bangsanya sendiri. Dan tanpa mengenal bangsa-bangsa lain, ornag takkan dapat mengenal bangsa sendiri dengan lebih baik.
~
Kommer, 158.
Lulus H.B.S. ternyata hanya makin membikin orang tahu tentang ketidaktahuan sendiri. Maka kau harus belajar berendah hati, Minke!
~
Kommer, 163.
Kritik boleh ditangkis, tapi harus didengarkan dulu, direnungkan, kalau perlu tidak ditangkis dan diterima sebagai saran. Orang tak perlu marah mendapatkan kritik.
~
Kommer, 270.
Kau masih lebih banyak menimbang-nimbang baik-buruk orang lain. Bagaimana tentangmu sendiri? Sudah pernah kau pertimbangkan secara adil?
~
Jean Marais, 275.
Jelas menulis bukan hanya untuk memburu kepuasan pribadi. Menulis juga harus mengisi hidup.
~
Jean Marais, 280.
Pada suatu kali kau akan kecewa karena anggapanmu sendiri.
~
Jean Marais, 293.
Yang tadinya dianggap pegangan yang kukuh, kuat, terpercaya, ternyata hanya tinggal sekepal pasir semata. Barangkali ini yang dinamai tragedi kehidupan. Begini rapuhnya manusia.
~
Nyai Ontosoroh, 338.
Biarpun kecil jumlahnya, kalau suatu golongan sudah bangkit, bangsa yang sekecil-kecilnya juga akan bangkit.
~
Ter Haar, 406.
Semua yang terjadi di kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir. Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminal, biar pun dia sarjana.~ Kommer, 522.
Tweet |
0 komentar:
Post a Comment