October 18, 2011

Perempuan Pertama


Perempuan Pertama
Oleh: Hafizhah

Seperti biasa aku menunggumu di ambang  senja.  Saat kakimu mulai letih dan pundakmu rapuh. Wajahmu terbeban oleh setumpuk masalah di kantor. Kau kembali menemuiku. Memelukku dalam bisu. Kemudian aku menatapmu, jauh ke dalam matamu. Ada gelisah yang kau simpan di sana.
“Kenapa sayang?” tanyaku
“Tadi siang Fatia menelfonku. Nirina sakit. Sejak kemarin panas badannya belum turun. “
        Tenggorokanku tercekat. Pantas saja. Anakmu sakit. Setiap Ayah pasti akan cemas jika itu menimpa anak perempuannya. Buah hati yang selalu ada dalam ceritamu. Tiap kata yang meluncur dari mulutmu selalu tentang Nirina dan sejuta tingkahnya yang menggemaskan. Tentang panggilan ‘Ayah’ yang keluar dari bibir mungilnya. Tentang keluhmu ketika si kecil lebih memilih Bunda-nya hanya karena kau larang dia berlari terlalu cepat agar tidak terjatuh. Semua tentang dia. Selalu tentang dia. Hatiku teriris setiap kali mendengarnya. Tak jarang aku berteriak dalam hati agar kamu mau menghentikan ceritamu dan memintamu memandang wajahku. Menikmati sedikit waktu yang kita punya. Tapi aku juga tak mau merampas senyum itu dari wajahmu. Sehingga aku memilih menarik semua teriakan hatiku dalam kebisuan.
        Aku melepasakan pelukanku. Menunduk dan tersenyum pahit. Namun cepat aku menguatkan hatiku, seraya berkata,
        “Kalau begitu, pergilah. Kamu Ayah yang baik.”
        Kamu terpana memandangku. Tapi aku tahu kamu juga tak kuasa meminta hal itu langsung dari mulutmu. Malam ini seharusnya malamku. Malam kita. Sekilas kulihat tatapan kasihan terpancar dari sana. Kamu buru-buru memelukku lagi. Aku tau kamu berterima kasih atas keputusanku ini. Dan aku yakin kamu tengah berpikir untuk membayar pengorbananku. Kamu tak akan tahu, setiap waktu yang hilang tak akan pernah bisa terbayar oleh papaun. Karena bagiku, kehadiranmu adalah segalanya.
        “Cuma buat malam ini. Aku akan mengabarimu,” janjimu.
        “Sampaikan salamku pada Fatia. Aku juga mendoakan kesembuhan Nirina.”
        Tentu saja semua itu agar kamu sgera kembali dalam pelukku. Setelah mengecup bibirku, kamu berlari ke mobil sambil mengeluarkan kunci dari saku. Bisikanku tenggelam dalam suara mesin mobil yang menderu.
        “Aku merindukanmu,”
        Kamu meninggalakanku sebuah senyuman. Aku menatapamu, melepasmu sampai mobil yang kamu bawa hilang dari pandangan. Ketika itu juga seluruh pertahananku hancur. Tangisku pecah.

-----
        Pagi ini hujan. Aku terbangun dengan mata bengkak. Blackberry pemberian Dimas masih berada dalam genggaman. Masih belum ada kabar darimu Sayang, batinku. Kutarik selimut hingga menutupi kepalaku. Seandainya Dimas disini, aku tidak membutuhkan selimut ini untuk meghangatkanku. Tinggal meringkuk ke dalam pelukannya, Dimas pasti akan membelai rambutku dan menguatkan dekapannya. Menyalurkan hangat tubuhnya. Seandainya saja. Aku menatap screensaver. Senyum sepasang manusia di foto itu terlihat indah. Siapapun yang melihat langsung tahu bahwa mereka saling mencintai.  Dalam foto itu, aku terbalut gaun putih dan terlihat begitu mungil di dalam pelukanmu. Kita saling memandang. Aku masih ingat betapa sulitnya sang fotografer mengatur kita waktu itu. Karena tiap kali kita saling bertatapan, aku tak pernah bisa menahan senyumku yang seolah menular dan membuatmu tertawa. Kemudian aku pasti ikut tertawa.
        Waktu itu, aku adalah perempuan pertama yang Dimas cintai. Perempuan pertama yang mengatakan siap untuk menemaninya menjalani hidup. Perempuan pertama yang berjanji untuk rela memberikan apapun dalam hidup demi kebahagiaannya. Dan janji itu telah terpancang kuat di hati.
        Dan benar saja. Kita selalu berdua menghabiskan malam bahkan sekedar untuk menatap bintang, atau hujan. Seringkali kamu bercerita tentang hal-hal rumit yang tak ku mengerti. Tapi alih-alih menunjukkan kebingunganku, aku memilih membiarkanmu berceloteh dan melihat setiap perubahan ekspresi ajahmu saat becerita. Semua kurekam dengan baik dalam memoriku. Dan aku berusaha memberikan semua yang terbaik yang ada padaku untuk membahagiakanmu. Dan keluarga kita. Hingga sampai suatu hari, aku tidak bisa memberikan apa yang benar-benar kamu inginkan. Seorang anak.
-----
        5 tahun lalu. Kita menghabiskan waktu dalam mobil dengan diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Memutar kembali tiap kata yang disampaikan dr. Frans.
“Ada kista di rahimmu. Ini yang menghambat pembuahan sel telurmu. Rahimmu tidak kuat untuk menampung perekembangan sel telur yang sudah dibuahi. “
“Apa yang bisa kami lakukan? Operasi?”  muka Dimas seketika keruh.
“Terlalu beresiko. Kalaupun dioperasi, kita juga harus ikut mengangkat rahimnya. Istrimu harus steril agar bisa sembuh benar.”
Disanalah aku melihat Dimas menyerah. Dia merebahkan badannya di kursi. Aku hanya bisa terdiam. Kesulitan menerima semua kenyataan ini. Aku pasrah. Bahkan setelah 2 tahun kemudian, aku tak bisa menolak permintaanmu untuk meminang perempuan lain. Perempuan yang bisa memberimu apa yang tidak bisa kuberikan. Bukankah aku sudah berjanji untuk memberikan apa yang kamu minta?
“Kalau kamu mau, aku tidak akan menceraikanmu. Aku tetap mencintaimu. Walau bagaimanapun, kamulah perempuan pertama yang memenangkan hatiku.”
Pada saat itu, yang kuingat, aku mengangguk.
-----
        Aku melemparkan pandangan ke jendela. Tampak sinar matahari mulai memancarkan merahnya. Aku selalu suka pemandangan ini. Sunshine after the rain. Sekelompok burung gereja terbang ke atas pohon mangga di depan jendela kamar. Mereka kembali ke sarang. Pasti kamu juga akan segera kembali, gumamku. Mengapa begitu lama, rutukku, tak sabar. Aku terus menatap pagi. Kemudian bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke luar rumah. Aku melihat ujung jalan yang lengang. Belum juga kutemukan bias bayangmu mendekat. Aku kecewa.
        Aku memandang layar ponsel yang berada di genggamanku. Bimbang. Tampak sederet angka juga namamu tertera di layar. Jemariku masih sangat enggan menekan tombol call. Sebelum aku berhasil menghalau keengganan yang bergelayut. Aku telah lebih dulu mendengar nada panggil berseru-seru. Hatiku melonjak. Bukankah ini pertanda kalau sebenarnya kita sehati? Aku girang mendengar suaramu dari seberang sana. Pulanglah segera, temani aku.
        “Dona, aku tak bisa pulang lagi hari ini. Nirina akan dirawat inap.”
        Aku terdiam. Padahal tadi aku sempat berharap kamu sudah di jalan pulang. Tapi mengapa aku malah mendengar kabar yang tak mengenakkan ini.
        “Aku akan menantimu” jawabku.
        Aku memejamkan mata. Satu sosok berkelebat dalam angan. Akhirnya kupersilakan pagi ini merebut secuil. kebahagiaanku. Kamu selalu ada buat Fatia. Itu kenyataannya. Aku melangkah lemas menuju kamar. Dimas, kapankah? kau tuntaskan rinduku sampai tak bernyawa agar ia tak lagi mengganggu.
        Ah, kutunggu saja waktu.

1 komentar:

Anonymous said...

Bagus. Salam kenal :)

 

tentangku © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates