October 16, 2011

My Family, My Little Wonders

My Family, My Little Wonders
Oleh: Hafizhah

Let it go. Let it roll right of your shoulder
Don’t you know. The hardest part is over…
Suara jernih Rob Thomas dalam lagu Little Wonder mengalun indah dari mp3 player ku. Gemanya memenuhi kamarku yang kini kosong karena semua barang sudah kumasukkan dalam kardus. Sembari membersihkan sisa-sisa selotip bekas poster yang tertempel di dinding aku mengucapkan selamat tinggal pada kamar yang kutempati 12 tahun terakhir. Aku besar disini, lirihku..
“Silmy….masukinlah barang-barangnya ke mobil.”
Tiba-tiba suara Papa terdengar dari balik pundakku. Aku memandang wajah Papa. Sekilas, kulihat senyumnya untukku. Aku membalas tapi buru-buru aku membalikkan badan mengangkat satu kardus penuh berisi buku-buku diari milikku sejak SD sampai SMA. Aku takut air mata yang mulai menggenang di mata ku terlihat oleh Papa. Papa tidak boleh melihatku menangis. Hanya karena ini.
“Yang itu mau di bawa juga? Emangnya masih dipake?” tanya Papa sambil melirik kardus yang kubawa.
Aku mengangguk cepat. Tentu saja Pa, batinku. Di dalam kardus ini aku mengabadikan huidupku dalam bentuk tulisan. Memang tidak setiap hari aku menulis, tapi aku selalu menyempatkan diri menuliskan setiap moment berharga bagiku. Dan itu sudah kumulai dari sejak kelas  5 SD. Sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di rumah ini 12 tahun yang lalu. Sejak kepindahan pertama ku ke kota ini. Dan kini untuk kedua kalinya dalam hidup, aku dan keluargaku harus pindah. Tapi kali ini dengan nuansa hati yang jauh berbeda.
“Sabar..kita juga pindah buat sementara. Nanti kalo Papa ada rejeki, kita bikin rumah yang lebih bagus. Dan pastinya rumah sendiri. Sekarang kita ngontrak dulu.”
Papa seperti bisa membaca pikiranku. Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum. Bukannnya aku tidak setuju untuk pindah. Hanya saja, rumah ini puny nilai sejarah yang tinggi. Terlalu banyak memori yang direkam bersama rumah ini.
“Papa juga sabar ya. Mudah-mudahan skripsi Imy cepet selesai, lulus kompre, wisuda, trus dapet kerja. Abis itu gajinya bisa ditabung buat bantu bikin rumah,”
        Sepertinya Papa tak tahu harus menjawab apa. Karena setelah itu, Papa hanya mengusap rambutku dan membantu mengangkat dua kardus sekaligus. Ini memang yang terbaik. Kami memang harus pindah. Pikiranku kembali melayang ke masa itu. Dulu sekali.
Dulu, 13 tahun lalu, Mei 1998.
       
Krisis moneter yang terjadi di beberapa daerah di nusantara termasuk Ibu Kota memberi efek besar bagi hampir seluruh penduduk Indonesia. Kerusuhan, tawuran dan pembakaran  dimana-mana. Aku, yang masih duduk di kelas 4 SD tidak mengerti apa yang terjadi. Yang kuingat hanyalah Papa lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Hampir setiap hari.  Hingga setahun setelah itu, keadaan tak kunjung membaik. Kemudian Papa memutuskan untuk pindah ke kampung halaman kami. Bukittinggi.
        Pada saat itu aku baru naik kelas 5 SD. Aku sudah mengerti bahwa kepindahan itu berarti aku tidak akan kembali lagi ke Jakarta hingga mungkin kalau aku sudah besar nanti. Pemahaman ku sebatas itu saja. Lalu aku menjalani hari-hari seperti biasa. Selayaknya anak perempuan yang beranjak remaja. Sampai pada masa dimana aku harus melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Takdir memutuskan bahwa aku tidak perlu berada jauh-jauh dari keluargaku. Selama itu aku terus mencari jawaban-jawaban yang kadang terlintas di benakku. Dan aku mulai mengerti apa yangterjadi di keluargaku.
        Mei 1998 mengakibatkan usaha Papa bangkrut. Mama yang bekerja sebaga asisten apoteker tidak sanggup membiayai 3 orang anak yang bersekolah. Maka, ketika memutuskan pindah, aku baru tahu bahwa itu adalah masa-masa tersulit bagi orangtuaku. Mereka memulai semuanya dari nol. Atas izin Nenek, Papa menempati rumah keluarga sehingga kami tidak harus membeli rumah lagi. Dan dirumah inilah, kami tinggal selama 12 tahun. Sampai suatu ketika, kakak tertua Papa juga ingin menempati rumah ini. Awalnya semua berjalan biasa saja. Setahun hidup bersama Om, aku bisa melihat ada yang tidak beres. Om jarang berada di rumah, apalagi kalau malam hari. Entah kapan saja dia pulang. Aku pun tak pernah berani betanya kepada Mama, apalagi Papa.
        Ternyata, benar saja. Suatu sore, ketika aku sampai dirumah untuk menghabiskan akhir minggu bersama adik-adikku, aku melihat perempuan paruh baya duduk di teras rumah. Sekilas, kupikir dia hanyalah tamu biasa. Tapi perasaanku mulai tak enak ketika aku membuka pagar, ada sesosok perempuan lain seumuranku. Mirip banget sama Om, pikirku. Masa sih..  
        “Assalamualaikum,” aku tersenyum kaku.
        “Wa’alaikumsalam,” Si perempuan paruh baya membalas senyumku lebih kaku.
        Aku masuk ke pintu dan seketika terdengar suara keras dari ruang tengah.  
        “Itu bukan urusan kamu! Ini urusan rumah tangga saya!!”
        ‘Jadi ini perbuatan Abang selama ini? Astagfirullah…Abang bahkan belum cerai. Perempuan itu juga masih punya suami?? Jangan hancurin rumah tangga orang gitu lah! Kalau memang mau menikah lagi, nikahlah baik-baik, jangan se…”
        Plak!
Tamparan mendarat di pipi Papa. Tepat di hadapanku dan Zahra,adik perempuanku paling kecil.
“Ini bukan rumah kamu! Ini rumah Ibu. Kalau sama-sama jantan, kita harus sama-sama keluar dari rumah ini! Lagipula rumah ini dibangun bukan buat kamu dan istri kamu yang kampungan itu!”
“Ga bisa!! Juga bukan hak Abang buat ngusir kami dari sini. Atas izin Ibu aku tinggal disini”
Segera saja kugendong Zahra keluar ruangan. Terdengar suara pukulan di meja dan sosok lelaki besar mendahuluiku. Saking terburu-burunya, aku tersenggol dan hampir saja Zahra jatuh dari pelukanku. Seketika aku kembali ke ruangan tadi, melepaskan Zahra dari pelukanku dan membiarkannya memeluk Mama. Aku menatap Papa.
“Kita pindah” hanya itu yang teucap dari mulut Papa.
-------
Semuanya terjadi begitu cepat. Dalam beberapa hari Papa berhasil menemukan rumah kecil untuk kami tempati. Barang-barang juga sudah mulai dimasukkan ke dalam kardus dan karung sejak kejadian itu.
Di depan rumah mungil ini aku dan Papa berdiri. Mama dan adik-adik sudah berada di dalam rumah baru kami. Rumah baru kami tidak terlalu jauh dari rumah sebelumnya. Adik perempuan Papa sebagai pemilik sah rumah setelah Nenek meninggal mengamanahkan Papa untuk tetap melihat-lihat rumah keluarga itu. Bagaimanapun, tak ada yang menerima perselingkuhan itu. Apalagi hal itu sudah dilakukan sejak lama.
“Imy seneng koq Pa, kalau kita pindah. Mama ga stress lagi karena Om selalu marah-marah kalu di rumah. Nia juga takut tuh ngeliatinnya.”
“Haha..ya sudahlah. biarin aja. Tau ga Imy, kalo sebenarnya dia itu iri liat Papa.”
“koq gitu Pa?”
“Yaaa gitu..diliatnya Papa udah mulai enak hidupnya. Anak-anak papa udah gede. Kakak kamu udah kerja, udah ngasi kiriman tiap bulan buat Papa. Nah, Imy juga udah mau selesai kuliahnya. Mama juga selalu ada buat Papa, apapun kondisinya. Coba kalo masa-masa ga ada uang dulu Mama ga nemenin Papa, ga tau deh. Apalagi yang Papa pikirin? Kita sekeluarga seneng. Liat dia. Uangnya banyak, tapi ga bahagia. Marah-marah terus. Anak-anak Om pasti kaget, tiba-tiba mereka udah punya adek aja.”
“Kalau dipikir-pikir, justru Tuhan sayang sama kita ya Pa? daripada lama-lama deket orang kayak gitu, jadi kita disuruh pindah deh sama Tuhan. Hahaha..”
Aku melangkah masuk ke rumah sambil mengangkat kardus. Sementara kuletakkan dekat pintu kamar. Kuintip besarnya yang seberapa. Satu lemari dan satu tempat tidur sudah menghabiskan hampir seluruh ruang yang ada. Keningku mengernyit. Apa aku bakalan betah tinggal disini?
        Langsung saja aku ambil mp3 Player dan kupasang headset. Masih suara Rob Thomas. Aku bingung. Kayaknya ini terus deh lagu nya. Aku langsung mengecek pengaturannya yang memang ternyata sedang dalam mode Repeat: On.
        Aku keluar mengambil kardus lain dari dalam mobil. Oiya, keep moving forward.
        Dan Rob Thomas terus bernanyi.

….Our lives are made in these small hours
These little wonders, these twists & turns of fate
Time falls away, but these small hours,
These small hours still remain

Let it slide, let your troubles fall behind you
Let it shine until you feel it all around you
And i don't mind if it's me you need to turn to
We'll get by, it's the heart that really matters in the end…

1 komentar:

Anonymous said...

Saalut,saya suka ini..!!
seolah tokoh imy dalam cerpen tu memaksa pembaca menjelajahi alur yg di ceritakan..dan saya menikmatinya...!! awesome sis :)

 

tentangku © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates