May 16, 2012

Tamu Itu Bernama Biru


Tidak, aku tidak jatuh cinta dengannya.
Namanya Biru.
Dia tidak menggoda. Aku juga tidak tertarik. Aku bahkan tidak ingat kapan persisnya pertama kali aku bertemu dengannya. Pertemuan selanjutnya juga tidak ada yang spesial. Hanya senyum tersungging dari wajahnya kemudian melengah tanpa peduli apakah aku membalas senyumnya atau tidak. Seolah tahu bahwa aku telah membangun dinding di ruang tak terlihat dan tak ada yang bisa masuk.
         Tapi di pertemuan entah keberapa, ada sepotong kata terucap.
         Masih dengan senyum manisnya,“Hai.” Kemudian berlalu.
Satu kata yang di hari-hari berikutnya menjelma menjadi percakapan yang tak terhingga. Ia tersenyum,memintaku untuk mengizinkannya berkunjung ke rumah. Bertamu. Mengajakku mengobrol, menemaniku menghabiskan malam. Semalaman. Hingga malam-malam berikutnya.
Biru.

Tulang rahang dan garis muka yang keras membentuk paras yang sangat ideal untuk seorang laki-laki.  Aku akui bahwa ini benar, salah seorang temanpernah bilang kalau dia naksir Biru. Tidak aneh. Biru memang keren. Sikapnya yang cuek dan cenderung acuh tak acuh membuat dia dilirik banyak perempuan. Yang kemudian aku yakini bahwa Biru tidak menyadari hal itu.
Satu hal yang membuat Biru menyukai saya, “Kamu tidak banyak bicara,” katanya.
Kata-kata yang membuat aku terpaku. Diam sejenak, lalu tersipu.
Biru tetap setia bercerita padaku. Hingga malam-malam berikutnya. Obrolan tentang hari-harinya, tentang pekerjaannya, tentang cintanya. Dan aku tetap setia menawarkan telinga yang selalu mendengar, juga hati yang kian terbuka. Lalu jatuh cinta.
Deg, tersirat perasaan hangat. Lalu ngilu. Ah…Biru sudah ada yang punya. Sudah ada yang menyimpan sebagian hatinya. Kepingan yang ini hanya terlepas dan jatuh sembarangan. Logika hidup yang meminta perasaanku kepada Biru, untuk tidak dipelihara.
“Aku kangen kamu,” bisik Biru tiba-tiba. Aku senyum kecil mendengarnya. Biru memelukku. Kelakuannya seperti rindu yang tertertahan. Bola matanya mengatakan banyak hal yang tak mampu kuterjemahkan. Tatapannya seolah-olah meyakinkan kalau sebagian hatinya, adalah pasangan hatiku. Bukan sekedar kepingan yang tercecer.
Dalam dekapannya aku tak bisa berpikir. Kecuali meminta waktu berjalan lambat dan membiarkan aku merasakan harum yang melekat pada kemejanya lebih lama. Sampai lelap dan tak perlu banyak cerita.
***
Biru. Lelaki yang kukenal dalam sebuah perjumpaan. Yang perlahan membuka pintu dan melangkah dengan santai melewati dinding tak terlihat. Yang juga membuatku berani masuk dalam sebagian hatinya.
Itu 2 tahun yang lalu.
Malam ini. Biru bercerita kepadaku. Saat pertama, saat kesekian kalinya dia menemuiku, dan begitu ingin menemuiku. Sampai berujung pada kesimpulan; Kita hanya sepenggal cerita backstreet masa lalu.
It’s my fault,” kata Biru.
Mulai malam inilah aku tahu bahwa Biru tidak akan menemuiku lagi. Juga dari sana aku kembali jatuh cinta pada Biru, melebihi sebelumnya.perlahan, aku mengataknnya pelan di hadapan wajah Biru,
 “Jangan pulang dulu, lebih lama sebentar. Ini yang terakhir.”
Aku memeluk Biru. Lebih lama. Tapi waktu memang tak pernah terasa baik saat di ujung perpisahan. Jam terasa seperti detik.
Malam berjalan dengan semestinya. Aku mengantar Biru sampai ke depan pintu pagar seperti seorang tamu. Tamu yang tidak hanya singgah di sofa, tapi juga dalam dada.  

6 komentar:

penuliscemen said...

spechless :')

Fhia said...

@penuliscemen: salam kenal emen :) knapa speechless segala...hehe...

Unknown said...

Fhia request cerita yang bahagia dong :D

Ifnur Hikmah (iiph che) said...

Kyaaa....
Bagus...
Btw, gaya nulis lo yang ini beda sama yang biasanya *IMHO ya*

Fhia said...

@kak takodok: mau sih kak..tp sbelom dapet ide d perasaan yg pas. maklum, masi depends on mood. diusahakan kok kak :) *makasi sarannya*


@iip: mgkn krn di puncak kegalauan. hahaha... belajar bikin monolog lebih banyak,..

Anonymous said...

Based on true story? Hehe

 

tentangku © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates