Sudah seharian
jari ini terdiam di atas tuts hitam milik notebookku. Sudah puluhan kali
pula kakiku mondar-mandir mencari sesudut tempat yang nyaman sambil mengharap
sang inspirasi datang. Seketika aku kehilangan kemampuan menulisi apa yang aku
pikirkan dan kurasakan. Mungkin karena masih berduka karena tidak mampu melawan
sepiku sendiri. Hingga aku hanya bisa diam berjam-jam memandang layar Ms. Word yang
masih polos.
Bip. 1 new
message.
Hatiku berdetak
kencang. Harusnya itu kamu, Ari. Kuraih ponsel dengan tangan gemetar.
Kamu dimana De? Jangan
menghilang ginilah. Share donk. Gue pinjemin bahu deh buat nangis. Jangan sok
kuat sendiri deh.
Lyra.
Dia pasti tau
ada apa-apa padaku karena tak menemukan tulisan baru di teras blog coklat
milikku. Antara senang dan kecewa. Senang karena hubungan persahabatan yang
telah kami jalin sejak SMP dulu menciptakan ikatan emosi yang kuat. Kecewa,
karena itu bukan kamu Ari. Dengan enggan kubalas sms Lyra.
Sabar. Having writer’s
block nih.
Sent.
Gambar surat
meloncat-loncat di layar ponselku. Seperti pikiranku yang meloncat kian kemari.
Pada tiap moment yang telah kulewati bersamamu setelah hampir setahun. Hampir. Beberapa
menit lagi. Satu tahun kita.
Sudah hampir jam
9 malam. Belum ada satu kata pun yang kuketik. Juga belum ada satu kabar pun
darimu. Aku memutuskan untuk mengambil strawberry cupcake kesukaanmu. Tahukah
kamu? Saat aku beli tadi pagi, Ami, si penjaga toko tersenyum padaku. Akhirnya,
dia tersenyum! memang sih, ada yang sedikit aneh dari tatapannya. tapi, ingatkah gara-gara kamu sering berbelanja disana, dia naksir
kamu dan bersikeras untuk menjadi orang yang selalu melayani kamu? Itu membuat
kamu takut. Sehingga sejak saat itu kamu tidak pernah berani menginjakkan kaki
ke toko itu tanpa menggandeng tanganku. Sepertinya itu cukup membuat dia
patah hati sampai-sampai aku menjadi korban muka masamnya tiap kali aku kesana.
Mungkin dia kesal karena aku merebut pujaan hatinya. Hahaha…kamu memang gampang
membuat wanita jatuh hati Ari. Wanita mana yang tidak meleleh melihat senyum
kamu?
Strawberry
cupcake itu masih dalam kotak dan terbungkus plastik.
Aku mengeluarkannya dengan hati-hati. Takut lepas dari genggaman tanganku yang
mulai mengigil. Aku meletakkannya dari plastik. Berharap beberapa saat lagi
kamu datang dan kita berdua bisa menghabiskan malam sambil menyantap
cupcake itu sampai habis.
Aku kembali melangkahkan kaki menuju tempat duduk favorite kita. Sofa berwarna krem menghadap ke jendela. Tempat kita biasa menikmati malam. Tempat dimana aku bisa menunjukkan padamu indahnya hujan yang turun di bawah lampu jalan berwarna orange di depan rumah kita. tempat dimana aku bersikeras bahwa hujan itu indah, tapi kamu tidak suka. karena bagimu hujan itu mematikan langkah. akhirnya kita berdebat tentang hujan. biasanya perdebatan ini berakhir dengan aku yang geregetan mencubit pinggang kamu sampai kamu mau menyerah.
Aku memainkan bandul berbentuk jam pasir di leher ku. Sambil memejamkan mata, aku mencoba memanggil bayanganmu. Tapi sepi kembali
datang. Lagi-lagi aku hanya bisa menatap layar notebook. Ah, entahlah apakah
aku tengah menikmati indahnya rasa sepi ini atau memang ada yang menari-nari
dijiwaku dan tak mampu aku keluarkan menjadi tulisan atau sekedar kata. Aku meluruskan
kaki sekedar meregangkan otot. Mataku memandang lurus kearah lampu jalan. Malam
ini hujan tak datang. Aku menghela nafas panjang. Saat itu pula ringtone ponselku
berbunyi. Lyra.
Kubiarkan beberapa
saat. Sepertinya dia terlalu gigih untuk tetap menelponku. Ari, kalau kamu disini pasti kamu yang membantuku berbohong dan mengatakan aku
sudah tidur. Pasrah, kutekan tombol hijau.
“De..aku di depan...”
Tanpa sempat
kujawab, Lyra sudah memutuskan hubungan telfon. Dengan malas aku beranjak ke ruang
tamu. Saat itu juga aku melirik jam dinding. Jarum panjang menunjukkan angka 12.
Kamu tak datang. Air mataku tumpah. Tangisanku semakin kencang. Hari ini,
setahun yang lalu, aku resmi menjadi istrimu. Tepat jam 9 malam, kamu
menyematkan kalung emas putih ini dileherku seraya membisikkan sesuatu ke
telingaku. Aku tak akan pernah meninggalkanmu.
“De...De…bukain pintu! De..kamu kenapa?”
Aku mengumpulkan segenap tenaga untuk
bangkit dan berjalan ke arah pintu. Pintu terbuka. Lyra berlari memelukku.
“De…”
“Ari nggak dateng Ra. Ari nggak dateng…” isakku. Bahu Lyra basah.
“Ari nggak dateng Ra. Ari nggak dateng…” isakku. Bahu Lyra basah.
“De…sabar. Ari nggak mungkin dateng. Biarin Ari tenang disana,” pelukan Lyra semakin erat.
“Tapi dia janji ga akan ninggalin aku…Dia
janji…”
Mataku yang
basah melihat keluar. Pintu masih terbuka. Malam ini hujan tak datang. Sama seperti
kamu, Ari.
Tweet |
3 komentar:
Heh kamu bikin orang nangis aja pake cerita ini
really?
waduuh..efek galau nih..
anyway..thanx :)
separo nyata,,separo fiksi
Post a Comment