December 31, 2014

Selamat Ulang Tahun @BloggerPalanta

5komentar

Selamat Ulang Tahun PALANTA!!
Selamat berusia 7 tahun.
Harusnya posting tulisan ini kemaren ya, di 30 Desember 2014. Demi Palanta, kata seorang teman.
Tapi apa daya, kondisi sudah berbeda. Akhir tahun. Bahasa bekennya Year-End Closing.
Ingin rasanya menulis panjang.
Lagi-lagi apa daya. Ini pun hanya break sebentar, untuk kemudian melanjutkan kerja yang tersisa.
Demi Palanta, disempetin juga.
Update blog setelah sekian lama J
Udah, itu aja, 

July 01, 2014

[review] Amba: Sebuah Novel - Laksmi Pamuntjak

1 komentar

Mungkin itu sebabnya kita diajari untuk tidak mengumbar kata, karena begitu sesuatu diikrarkan, kita terikat dan tidak bisa menariknya kembali. Di hari itu aku semakin sadar, tak ada laku yang lebih ksatria dibanding menepati janji – hal. 289
Jleb banget yak?

Butuh waktu dan energi yang lumayan besar untuk menyelesaikan Amba. Novel berlatar sejarah 1965 setebal  496 halaman ini awalnya memang sedikit bikin bingung. Bingung karena,meskipun diramu dengan gaya bahasa yang puitis, kisah yang padat dengan nilai sejarah dan politik bikin aku ga kemudian langsung mengerti dengan sekali baca. Mesti pelan-pelan biar lebih menjiwai  #yakali.  

Memang tentang cinta. Namun mencintai Bhisma, seorang aktivis perkumpulan yang dinilai ‘bertentangan’ pada zaman itu tentu tidak mudah. Pun, mencintai seorang Amba, perempuan yang ‘berbeda’ dari kebanyakan kaumnya  pada masa itu juga bukan perkara gampang. Amba memiliki keteguhan hati dan prinsip. Beradu argument dengan adiknya yang kembar tentang apa itu kebahagiaan dalam membangun rumah tangga, Amba berani mengatakan bahwa ia pikir Ibunya tidak bahagia. Paling tidak begitulah yang dia lihat. Dan dengan gamblangnya Amba mengatakan ia tidak mau seperti itu. Bahkan Amba mampu membuat Si Ibu menangis-nangis karena lebih memilih kuliah dan meraih mimpi-mimpinya ketimbang menikah. Wel, buat kita yang hidup di zaman sekarang mungkin itu biasa. Tapi masa itu? Lain cerita! Terlepas setuju atau tidak pada akhirnya setelah dewasa, bagi Amba, Ibu tetaplah dipandang sebagai sosok yang berperan dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan untuk diri dan adik kembarnya.
Rahasia itu, Nduk, seperti kain lurik. Kita pakai di badan kita seperti tidak ada apa-apa di permukaan, tapi hangatnya menyelimuti tubuh. Itu akan membuat kita tak tergantung pada siapapun. Jangan mudah takut. – hal. 174
Bukankah ibu selalu mengajarkan, sebagai perempuan Jawa tenan, kau tak boleh mengumbar perasaan; Kita tidak dilahirkan dengan bakat menangis di panggung orang ramai.
Ibu, disini, tidak ada panggung orang ramai. – hal. 206
Aku mulai benar-benar menyukai novel ini ketika surat-menyurat antara Salwa dan Amba. Gimana tutur kata Salwa dalam mengekspresikan kerinduan-kerinduan dan harapannya tentang masa depan. Juga sikap Amba dalam merespon setiap surat; setiap keraguan yang muncul, setiap keheranan yang muncul karena Salwa yang begitu setia, semua ditulis dengan bahasa yang penuh kias. Sudut pandang yang berganti-ganti sesuai dengan tokoh membantu aku yang akhirnya mengerti jalan cerita novel ini. Bukan sekedar ‘cinta segitiga’. Karena dari novel ini aku baru tau dan tertarik dengan kisah Mahabrata, bahwa Amba adalah tokoh perempuan yang ditolak dua kali, oleh dua pria yang berbeda. Meskipun dalam novel ini Amba nggak secara eksplisit ditolak juga sih.  Tentang perjuangan Amba mengejar Bhisma sampai ke Pulau Buru dengan segala kenekatan seorang perempuan yang sudah berusia lanjut demi menjawab tanda tanya masa lalu berujung sia-sia, ada poin menarik disana...
Jika aku berbuat dan kalah, setidaknya kekalahan itu tidak kehilangan nilai. – hal. 260
Satu lagi yang membuat aku terkesan dengan novel ini, karena menjadikan Pulau Buru sebagai latar tempat. Jadi bikin nambah wawasan tentang Pulau yang terkenal dengan pengasingan. Kalau ada novel yang ngambil latar di sana, mau deh baca lagi. Entah kenapa aku cukup tertarik dengan cerita-cerita tentang kondisi 1965 yang dibalut dengan ‘ringan’ seperti ini.

Oya, banyak kalimat-kalimat yang bisa diambil buat pembelajaran hidup:
 Aneh memang: selalu ada yang membuat terlena dan tak berdaya pada hujan, pada rintik dan aromanya, pada caranya yang pelan sekaligus brutal dalam memetik kenangan yang tak diinginkan. – hal. 24
Apabila kita bertanya pada seorang ksatria tua, apa keberanian yang paling purba, dia akan menjawab: kewajiban. – hal. 58
Harga diri sering dekat dengan tinggi hati. – hal. 208
Bukankah terpisah,mengucapkan selamat  tinggal, adalah salah satu krisis terhebat dalam kehidupan manusia? – hal. 215
Sebab satu-satunya hal yang kekal adalah cinta orang tua pada anaknya dan cinta itu adalah yang bahagia melihat anaknya bahagia. – hal. 291
 Well, guys, I give 4 of 5 stars for this. Selamat membaca, terus saling berbagi komentar deh. Karena mana tau, apa yang aku nilai nggak sama J   
Kadang-kadang hidup ini bisa begitu...begitu sinting. Bahwa situasi tertentu sering mengundang tafsir tertentu. – hal. 23

June 13, 2014

Jalan-Jalan ke Pusat Penangkaran Penyu Pariaman

3komentar
bergaya dulu sebelum masuk
 29  Maret 2014.
Lagi-lagi cerita lama yang baru diposting. Gara-gara mindahin foto-foto dari hp ke notebook aku jadi terinspirasi buat ‘nyimpen’ beberapa foto dan cerita disini. Untuk dibaca oleh anak cucu kelak. Duile...

sebagian kecil yg ikut. dari sini aku dapet banyak temen baru 
Acara yang disebut dengan #PiknikHijau dan aksi #SaveTurtle diadakan oleh @EHPadang alias Earth Hour Padang. Namanya juga #PiknikHijau, jadinya kita berangkat ke Pusat Penangkaran Penyu yang berlokasi Kota Pariaman, Sumatera Barat tepatnya di Jl. Syekh Abdul Arif, Desa Apar, Pariaman Utara dengan menggunakan kereta. Berangkat dari Stasiun Simpang Haru Jam 08.30, kami sampai di Pantai Gandoriah 2 jam berikutnya. Perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan angkot. Yaa...sekaligus menggalakkan gerakan menggunakan transportasi umum. Biar hemat J   
Banyak yang nggak tau, termasuk saya, bahwa Pariaman memiliki UPT Penangkaran Penyu yang lokasinya dikenal dengan sebutan Pantai Penyu. Terbukti ketika aku minta izin sebelum pergi ke orang tua, beliau nggak tau kalau tempat itu ada. Begitu juga teman-teman kantor yang langsung komentar dan bertanya-tanya ketika aku mengganti dp BBM.
saking udah lama ga ke Pariaman, aku baru tau kalo banyak grafiti disana. 



Sesampai di tkp, kami disuguhkan video tentang kehidupan penyu. Dari lahir, eh, menetas, kemudian berjuang ke pantai/laut, keseret-seret ombak demi memulai perantauan untuk bertahan hidup. Adalah wajar ketika kita tahu bahwa penyu termasuk binatang langka. Gimana nggak, dari belum lahir aja alias saat masih berupa telur, penyu udah menghadapi banyak tantangan dan cobaan. Tau kan, banyak orang yang mengincar telur penyu untuk dikonsumsi dan dijual.
Kemudian, ketika sudah menetas, tukik alias anak penyu harus ‘merekam’ hal disekitarnya. Pasir, bibir pantai, batu-batuan, semuanya! Makanya adalah hal terlarang jika kita memegang tungkai tukik,  meletakkannya di telapak tangan ataupun membantu tukik berjalan ke bibir pantai pada saat pelepasan. Kenapa? Karena tukik akan kembali ke pantai tempat dia menetas 30 tahun lagi sebagai penyu yang siap untuk bertelur dengan modal ‘memori’ tadi. Nggak banyak yang bisa bertahan selama 30 tahun itu, lho. Dari 100 tukik yang dilepaskan, cuma 10 (kalo nggak salah) yang bisa bertahan hidup. Bahkan ketika dia bertahan pun, nggak sedikit dari mereka yang ‘bingung’ ketika mesti kembali ke pantai. Yep, the world change so fast. Tempat yang dia tinggalkan tentu tidak akan sama lagi. Sumpah, aku baru tau tentang ini semua di sini. 


      Ada 4 jenis penyu yang berasal dari Sumatera Barat; Penyu Sisik, Penyu Lekang, Penyu Belimbing dan Penyu Putih. Jenis-jenis penyu inilah yang dikembangbiakkan. Oiya, telur penyu baru bisa menetas dengan tingkat kehangatan pasir yang ebrbeda-beda. Maka bapak-bapak di sini selalu dengan sabar mengontrol hawa pasir dan memindahkan telur-telur tersebut ke pasir yang berbeda-beda suhunya. Penyu disini dikasih makan ikan.  
ngasi makan penyu




di dalam pasir ini ada telur penyu
Di akhir sesi, kita dikasi kesempatan buat melepas penyu. Sayangnya dokumentasi pas moment ini nggak banyak di kamera aku. Soalnya udah sibuk sama tukik sendiri. Ada sih, video. Call me if you want to see.

pemandangan sekitar UPT
Run Tukik, Run! See u next 30 years!

June 06, 2014

Tentang Berkemas

1 komentar
gambar dari google
Membaca buku Life Traveler – Windy Ariestanty menggoda aku untuk membuat postingan khusus tentang satu hal: Berkemas.
Baca deh kalimat pembuka Windy:
Berkemas buat saya tak ubahnya dengan menyisakan ruang kosong lebih banyak agar bisa memuat lebih banyak – hal. 3
Kemudian yang ini;
Proses mengemas buat saya selalu menarik. Dan ini membutuhkan seni tersendiri. Kita harus memilih mana yang penting dan mana yang kurang penting. Kita belajar memutuskan. Belajar berani meninggalkan dan yakin tidak akan membutuhkannya ketika memutuskan, ‘ Yang ini tidak perlu dibawa’ – hal. 7
Setiap perjalanan -dekat ataupun jauh- yang kita mulai pasti diawali dengan pemikiran apa aja yang akan dibawa.  Untuk setiap perjalanan (literally), aku pribadi males buat bawa banyak barang. Menjadi perempuan yang tidak terlalu hobi ‘meng-gaya’ bisa sangat menguntungkan. Mau kemana-mana nggak terlalu repot, nggak mesti bawa banyak baju, sepatu, dsj. Aku masih ingat masa-masa ‘hobi’ mengelola training yang yang full 7 hari. Dimana ketika itu jeda antar satu training  ke training berikutnya bisa dibilang hanya 2 atau 3 hari, plus istirahat barang 1 atau 2 kali training. Otomatis kehidupan di kos ‘berpindah’ ke tempat yang dikenal dengan nama ‘Wisma HT 158’. Aku selalu hanya membawa 1 ransel. Kalaupun ada goody bag, itu dipakai untuk membawa 5 buah buku yang memang harus dibawa setiap pengelola training. Bagi seorang perempuan yang terkenal dengan banyak tetek-bengek nya di mata pria, itu bukan perkara biasa, Bro eh, Sis! Rentan menjadi bahan obrolan, bikin aku mesti sabar atas setiap komentar atau pertanyaan yang muncul;

‘Ih, dikit banget, emang cukup?’
‘Ondeh, enak ya, bawaannya nggak banyak.’
‘Cuma segitu?!’

Lagi-lagi ini menguntungkan waktu jadi Liaison OfficerTour de Singkarak, yang bikin aku berhasil menjajaki 17 dari 19 Kab/Kota Sumatera Barat dalam waktu 1 minggu dengan bawaan hanya 1 ransel dan tas samping kecil untuk menyimpan dompet, hp, racing schedule dan rundown acara seminggu.  Atau saat pergi Latihan Bela Negara selama 5 minggu di Secata B Padang Panjang, aku cuma membawa 1 tas jinjing tidak terlalu besar. Itupun masih banyak space kosong.  Meski akhirnya ‘pakaian preman’ itu harus di drop pulang karena toh akhirnya nggak ada yang kepake juga. Dari 26 orang perempuan, hanya aku dan 2 orang teman yang membawa 1 item tas.

Mungkin karena aku sadar, bawa banyak barang itu repot apalagi dengan kondisi badan yang kurus pasti bakal merasa berat dan nggak kuat kalau mesti bawa semuanya sendiri. J
Yah, malah ngalor ngidul.

Sebenarnya bukan itu yang mau dibahas, toh aku bukan Uni atau Pak Bos  yang sering dinas luar, nggak punya banyak pengalaman tentang packing. Sebenarnya ini tentang rasa penasaran aku tentang ‘seni’nya berkemas.

Kita belajar memutuskan. Belajar berani meninggalkan dan yakin tidak akan membutuhkannya. Begitu kan tadi?

Kalau dibawa ke dalam hidup kita sebagai khalifah di muka bumi #tsaaah, bolehlah aku mempertanyakan diriku sendiri (kita, kalau mau ikutan). Seberapa beranikah kita memutuskan ini penting atau tidak? Seberapa berani kita meninggalkan apa yang sebenarnya tidak dibutuhkan?

Anggap saja setiap pagi yang kita lalui adalah awal perjalanan yang baru. Maka setiap pagi pulalah kita akan berkemas. Membawa apa yang perlu dan meninggalkan apa yang sekiranya memberatkan. Apakah kita akan memulai hari yang baru dan mencampurkannya dengan apa yang telah dilalui hari sebelumnya. Bagaimana kita memutuskan seberapa banyak yang akan kita bawa? Jika seandainya kita membawa ‘kemarin’, maka ‘hari yang baru’ itu tidaklah bisa dikatakan baru karena sudah ternodai oleh ‘yang lalu’. Kalau memang setiap hari adalah lembaran yang baru, tentu hidup jadi lebih seru. Kayak iklan minuman bersoda yang liriknya:
Buka kita buka hari yang baru, bukalah buka semangat baru.
Oke, itu tentang satu hal kecil. Mari kita geser sedikit analogi tadi menjadi tentang ‘fase kehidupan’ atau yang biasa disebut-sebut sebagai ‘naik kelas’.

Seperti mendaki gunung (katanya sih, aku kan belum pernah), si pendaki mesti pinter-pinter memilih perlengkapan yang dibawa dan mengatur siapa yang membawa apa. Jika tidak, tentu akan menambah kesulitan saat melalui medan yang semakin curam saat menuju puncak. Tidaklah, tentang mendaki. Tentang hidup yang lurus-lurus aja.  Seberapa berat beban hidup kita? How does our life weigh?
Imagine for a second that we’re carrying a backpack. Feel the straps on our shoulder. Then, pack it with all the stuff that happen in our life. Feel the weight as that adds up. Now, try to walk. I think it’s kinda hard, isn’t it? Kalau semua mau dibawa dan dimasukkan ke dalam backpack, yang ada justru memberatkan, memusingkan, merepotkan. Pokoknya yang susah-susah deh. Membayangkannya aja ribet apalagi mengalaminya, yes?
Begitulah.

Mungkin benar apa yang dibilang penulis buku itu. ternya berkemas pun ada ‘seni’nya. Buat aku, ternyata berkemas pun bisa jadi tulisan sepanjang ini, #halah
Hidup ini terlalu pendek dan ia bergerak tanpa menungu saya. Waktu tak peduli seberapa cepat kita berjalan. Time always move in constant motion. Saya yang harus menentukan ritme gerak saya. – hal. 10

Yep, inginnya aku tidak memberatkan hidup dengan urusan yang kurang penting. Now I’m gonna set that backpack down. I think it’s gonna be exhilarating. Because I’m sure that we don’t need to carry all those weights. Sekarang tinggal belajar memilih mana yang penting dan tidak. Meski itu tidak pernah benar-benar mudah untuk sebagian besar kita.

Maafkan bahasa aku yang campur-campur. Maafkan juga tengah malam malah nulis beginian. Efek tidak bisa tidur padahal masuk pagi dan bertepatan dengan jadwal closing.
Selamat bingung bagi yang mau bingung. Selamat berfikir bagi yang mau berfikir.
Sekian dan terima pitih J

00:44
Senin, 2 Juni 2014.

June 04, 2014

Mengenang masa-masa menjadi LO Tour de Singkarak

5komentar

Atribut LO
bersama Koor LO (yang di belakang)
Beberapa hari eh, 2 hari deh, menjelang Tour de Singkarak 2014.  
3 tahun berturut-turut menjadi LO a.k.a Liaison Officer meninggalkan banyak cerita dan  pengalaman. Meskipun sekarang hanya tinggal kenangan karena nggak bisa lagi menjadi bagian dari kemeriahan ajang balap sepeda tahunan yang diadain oleh Kemenparekraf *duile bener nggak sih ini tulisannya* *kalo salah kan malu-maluin* *ntar disuruh ulang lagi jadi LO baru tau* #appeu.
Boleh lah ya sekedar berbagi cerita, mengenang kembali masa-masa ‘jaya’ plus bahagia. Gimana nggak, lha wong kerjaannya jalan-jalan, dibayar lagi! Siapa yang nggak mau? Bisa sekalian latihan Bahsa Inggris pula. Wuih deh pokoknya. 
Full Team
3 tahun. 3 kali. Sebanyak itu aku dipercaya untuk memandu tim dari negara Taiwan. 2011, bersama Fuji Cyclingtime[dot]com, meskipun sekarang tim nya sekarang udah bubar. 2012 dan 2013 aku disandingkan buat Action Cycling Team, yang sekarang berganti nama dan status (udah jadi Continental Team) jadi Team Gusto. Aku jadi heran, kok dapetnya Taiwan terus ya? Yaudahsih, mudah-mudahan aja suatu saat bisa kesana.
Menjadi Liaison alias penghubung itu susah-susah gampang. Beruntung lah kalau dapat tim yang riders dan officialnya bisa berbahsa Inggris, atau timnas Indonesia sekalian. At least, nggak akan ada kesulitan berarti dalam berkomunikasi. Beda sama Taiwan. Bersama ACT yang sebagian besar riders nya nggak bisa bahasa Inggris itu bikin #sigh moment banget! Karena disana kita mesti belajar satu bahasa universal; Bahasa Tubuh. Untungnya mereka mau belajar. Bahkan sepertinya mereka termotivasi untuk bisa berbahasa Inggris setelah aku bilang percuma jadi Atlet Internasional tapi tiap mau presscon mesti bopong-bopong translator *silahkan  bayangkan gimana kira-kira nyampein ini pake bahasa tubuh* 
dinner beberapa LO
Comissaire 2,
ini U-21 lho
 Tahun pertama kenal ACT, 2012, official team aku adalah ibuk-ibuk rempong tapi baik hati dan penuh perhatian yang hobi ber-rok pendek. Seksi? Ndak do lai! Iya pake banget. Jadinya si bukbos itu panggilan aku dan temen-temen LO manggil sering dibecandain sama driver tim lain. Bermodal bahasa inggris pas-pasan driver-driver itu selalu bilang kalo si bukbos adalah pacarnya.  Tapi si bukbos nya nggak pernah marah,malah bakalan dibales pake becandaan juga. ACT masuk 5 besar tahun itu. Jadinya aku kecipratan dapet tip yang ‘lumayan’ juga.
Tahun kedua bersama ACT, officialnya ganti. Nggak ada perempuan, otomatis aku jadi yang paling cakep diantara mereka J.
1 juni 2013, adalah hari kedatangan tim ke Indonesia. Hari itu juga aku wisuda.  Alhasil aku nggak menyambut kedatangan mereka di bandara dan dengan terpaksa ‘menitipkan’ ke LO yang lain. Yang berkesan lagi, aku ngalamin yang namanya ‘kecelakaan’. Yep, kecelakaan, literally. Waktu itu di Etape 1 menuju Bonjol. Kan jalannya belok-belok tuuuh, dan entah kenapa, pas lagi belok, eh mobilnya hampir masuk sungai di sisi kanan. Pas juga aku duduk di sisi kanan, belakang supir. Di kiri aku ada icebox buat nyimpen stock minuman dan makanan buat feeding (ngasi minum dan makan selama racing sedang berlangsung) yang otomatis bergeser ke arah aku karena kemiringan mobil. Untung aja nggak ketindihan. Sedikit lagi. Tuh mobil udah goyang-goyang karena tinggal satu ban belakang yang nahan di sisi jalan dan satunya lagi nyangkut di ranting-ranting pohon.  Sayang, fotonya (warga setempat yang ngambil foto, trus driver team aku minta kirimin juga ke hp nya)  udah aku hapus dari hp. Waktu itu takut kalau ada anggota keluarga di rumah yang ngutak-ngatik trus liat, trus nanyain dan ntar malah ngelarang nggak bole kemana-mana lagi.
Pre Race
Pelepasan Tukik
Bareng Ryan, Palanta-ers juga.
Moment paling deg-degan adalah ketika racing. Alhamdulillah, 3 kali itu juga aku dibolehkan ikut dalam racing car, mobil yang mengiringi riders saat racing. Kita nggak dibikin dan nggak boleh  ngantuk selama racing berlangsung. Satu lagi. Nggak boleh minta berhenti buat pipis! Aplagi kalau perempuan. Bakal repot. Makanya waktu Etape 3 sepanjang 208 km, aku bersyukur ada kejadian dimana racing dihentikan sebentar karena ada pohon runtuh di Kelok Maninjau. Di waktu yang sempit itu, aku minta tlg sama penduduk setempat untuk dianterin ke pemukiman terdekat  karena di tkp nggak ada rumah penduduk buat numpang pipis. What a day!
Jadi, selama racing team car diizinkan ngasi minum dan cemilan buat riders setelah diizinkan Comissaire alias yang jadi juri dan bertugas buat ngeliatin jalannya racing. Driver mesti hati-hati dalam mengatur kecepatan untuk mengiringi riders yang juga lagi ngayuh sepeda sambil bertransaksi botol minuman atau makanan. Driver juga mesti awas dengan keadaan sekitar karena bakalan ada riders yang mengejar dari belakang mobil dan bisa jadi nggak keliatan. Atau mesti sabar buat ngadepin klakson dari mobil team lain yang juga mau ngejar ridersnya di depan kita . apalagi kalau jalan sempit. Uh, seru deh!
Well, overall...

I thank God to give me that chance. Temen-temen aku jadi makin banyak. Sesama LO juga selalu ngumpul tiap malam buat tukar cerita tentang tim masing-masing. Yang paling penting, karena TdS aku bisa keliling Sumatra Barat. 
ada photo-boothnya 
                               

June 02, 2014

[review] Life Traveler - Windy Ariestanty

1 komentar

Terima kasih kepada @penuliscemen yang telah meminjamkan buku ini. Nggak murni minjem juga sih, tukar pinjam tepatnya. Aku meminjamkan buku Eka Kurniawan, dia meminjamkan aku ini. Udah lama juga nggak minjem buku ke orang.
Bercerita tentang pengalaman penulis selama travelling di berbagai negara. Kita dibawa meloncat-loncat dari suatu tempat ke tempat lainnya. Aku mengira Windy Ariestanty akan bercerita tentang pengalamannya travelling di Indocina aja, karena itulah yang disuguhkan di awal bab. Ternyata kita dikasih lebih, nggak hanya Indocina, penulis juga bercerita tentang pengalamannya selama di Eropa, seperti Prancis, Jerman, Czech a.k.a Ceska a.k.a Ceko, dan Belanda. Bahkan di akhir bab buku ini juga ada tambahan cerita jalan-jalannya di Indonesia. Sejujurnya ini bikin bingung sih, karena ada bebrapa yang flashback dari perjalanan sebelumnya.
Tapi yang asyik saat membaca buku ini adalah, nggak hanya tentang jalan-jalannya aja. Menceritakan latar tempat adalah hal biasa dalam novel travelling. Yang bikin beda adalah penulis juga menyisipkan beberapa pandangan-pandangan terhadap apa yang dia lihat. Kita jadi tau bagaimana si penulis memaknai nggak hanya setiap perjalananya, tapi juga semua hal yang berhubungan dengan itu. Mulai dari berkemas, melihat kearifan lokal, menunggu, bahkan tentang pulang.
Ini yang berhasil aku kutip, dari novel Life Traveler. Tentang Windy yang melihat perjalanan lebih dari sekedar jalan-jalan:
Berkemas buat saya tak ubahnya dengan menyisakan ruang kosong lebih banyak agar bisa memuat lebih banyak – hal. 3
Hampir setiap hari kita hidup dalam batasan yang dibuat orang lain, nilai kebenaran yang berlaku umum karena dibentuk oleh lingkungan sosial kita. Perjalanan memberikan kita jeda dari itu, sedikit merdeka dari batasan tadi – Hal. 100
Cinta adalah sebuah perjalanan yang tak bisa ditempuh dalam satu atau dua hari. Tidak juga dalam sebulan atau saru tahun. Tidak ada peta untuk menemukan tempat bernama cinta. Tak ada buku panduan travelling yang bisa menuntun kita kesana. Cinta adalah perjalanan panjang, ia tumbuh tua bersama waktu dan manusia. Dan ia tak pernah benar-benar jauh, selalu memeluk manusia dengan erat. Mengisi celah yang mungkin hanya sejengkal itu. Memberi kita alasan untuk selalu pulang. – hal. 117.
Menunggu memang seperti sebuah jebakan. Bersembunyi di antara sela-sela waktu yang tak terduga. Ketika saya ingin bergegas, ia justru membuat saya harus memelankan langkah. Meminta saya melihat sesuatu dengan lebih jeli. Memberi saya sedikit ruang untuk menarik nafas untuk menikmati apapun tanpa tergesa – hal 233.
Entah di sudut mana, ia meninggalkan kita dalam rasa sesal karena kehabisan waktu. Padahal waktu tak pernah habis. Ia hanya terus bergulir dengan iramanya yang konstan, ia meninabobokan kita hingga lupa untuk bergegas. Kita tertinggal. Sementara ia terus melesat. Saya kerap berpikir, waktu ini seperti makhluk yang tak mau kalah. Selalu ingin jadi pemenang. – hal. 265
Membaca buku ini membuat aku ingin melakukan perjalanan lagi. Ingin kembali merasakan sensasi melihat sesuatu yang baru. Tetapi kali ini inginnya menceritakan lengkap dengan segala detail. Mengamati hal-hal yang mungkin terlewati; moment, ekspresi, atau sensasi. Merekamnya di otak dan menuliskannya di catatan untuk kemudian di posting kalau sempat.
Rindu rasanya. Apalagi setelah memasuki dunia 08-05. Masuk jam 8, pulang jam 5 kalau nggak lembur. Bukan, bukan berarti aku mengkambinghitamkan dunia yang aku pilih ini. Aku bersuyukur malahan. Nyari kerja nggak gampang, apalagi dengan penghasilan yang ’lumayan’ untuk aku yang masih sendiri. And i swear to God, it’s worthed. Hanya karena masih baru dan belum mengenal cuti, jadi keinginan untuk jalan-jalan ke tempat yang jauh harus disimpan dulu. Mungkin dimulai dari tempat-tempat di Sumatra Barat aja dulu kali ya.
Eh, jadi inget. Ada hal yang mesti aku syukuri. Menjadi mahasiswa selama 5 tahun 7 bulan membuat aku memiliki kesempatan melihat lebih banyak. Dan itulah yang membuatku ingin mengalaminya lagi.
Eits, satu lagi. Kita juga diingatkan untuk ‘pulang’ ke ‘rumah’, setelah melakukan perjalanan.
Home is a place where you feel more comfortable. Home is a place where you can be and find yourself. – hal. 349

June 01, 2014

Dialog Sepi

1 komentar

Malam ini hanya bersama musik.
Semakin sepi, semakin sesak.
Hujan turun bersama air mata, lalu tenggelam di laut.
Aku merindukanmu; Dialog sepi sendiri denganku.
Hari ini aku menunggu.
Dari detik-detik yang kulewati kemarin.
Tapi kenyataan mengharuskan kita beradu punggung.
Anganku tertiup.

May 28, 2014

[review] Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

0komentar

Bingung.
Itulah yang bisa aku komentarin setelah buku ini selesai dibaca. Gimana nggak, ngebet banget nyari buku ini berari-hari, sampe bela-belain pulang jogging, belom mandi,langsung ke Gramed, eh nggak ada, mensyen akun @Gramediabooks, balik lagi Malam minggu kesana, sendirian demi dapetin ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’. Sebegitu banget? Iya! Tergoda dari judul yang ngena banget bahkan direkomendasiin uda @melviyendra, gimana nggak penasaran, tentang apa sih bukunya?
Taunya, tentang burung. Iya, burung.
Burung yang terbang  di langit? Bukan. Tentang burung yang tertidur sangat lama alias impoten.  
Sumpah aku nggak ngerti.
Sepertinya aku belum punya ilmu tentang buku yang seperti ini. Nama Eka Kurniawan ini sebenarnya pernah aku kenal sebelumnya. Cantik Itu Luka  sudah aku baca sejak kelas 3 SMA. Masih jelas dalam ingatan, saat itu pun aku nggak negrti bukunya tentang apa. Yang aku ingat hanyalah tentang seorang gadis, ada mimpinya, ada harimau (kalau nggak salah) pokoknya jelmaan-jelmaan gitu, ada kuburan. Ah, gitu deh. Dan karena aku nggak ngerti maksud dari cerita itu, aku nggak terlalu tertarik lagi.
Eh, ketemu lagi sama Eka Kurniawan di buku ini. Katanya sih buku ini ditulis setelah vakum sekian lama.
Lalu maksud judulnya apa? Entahlah.
Aku Cuma bisa menebak ‘dendam’ dan ‘rindu’ yang dimaksud mungkin karena Eka Kurniawan yang pernah vakum 10 tahun dalam menulis. Mungkin...
‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’ adalah tulisan di truk milik Ajo Kawir, si tokoh utama. Hal ini pun muncul di sepertiga terakhir cerita. Kemudian, di akhir cerita ketika si burung akhirnya bangun dan ‘sehat’ dengan cara yang tidak terduga, dan ‘berkata’ bahwa dia akan menunggu dengan sabar, sesabar Ajo Kawir yang menunggunya bangun.
Dipaparkan dengan gaya bahasa yang vulgar dan bikin sedikit risih sih sebenarnya. Jadi buat yang gampang ilfeel, mending nggak usah baca deh, apalagi kalau cuma buat nge-judge. Ada banyak tokoh dengan nama yang unik, seperti Tokek yang juga sahabat Ajo Kawir, Rona Merah, perempuan sinting yang menjadi titik ‘kesialan’ Ajo Kawir, Si Kretek, Macan, Iteung, Budi Baik, Jelita, Mono Ompong, , dll.  Penamaan ini juga ada artinya nggak sih? Atau analogi gitu?
Well, I strongly emphasize that I have no idea about the book.
Jadi, ini review apa bukan sih, fhia? Haha..entahlah. kan udah bilang tadi intinya bingung. Aku sendiri akhirnya aku belajar dari sini. Jadi, allowed me to learn it first. Thanks to uda @Melviyendra.  

May 26, 2014

[review] Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah

0komentar

Sejatinya, rasa suka tidak perlu diumbar, ditulis, apalagi kau pamer-pamerkan. Semakin sering kau mengatakannya, jangan-jangan dia semakin hambar, jangan-jangan kita mengatakannya hanya karena untuk menyugesti, bertanya pada diri sendiri, apa memang sesuka itu.
Yeay, Tere Liye lagi!
Kali ini seorang adek komisariat yang katanya baik hati dan ‘elok laku’ (kalem, nggak banyak ulah) meminjamkan begitu saja ke aku. Baik, kan? Namanya Ijek.
Sederhana, Borno. Kau bolak-balik sedikit saja hati kau. Sedikit saja, dari rasa dipaksa menjadi sukarela, dari rasa terhina menjadi dibutuhkan, dari rasa disuruh-suruh menjadi penerimaan, seketika wajah kau tak kusut lagi. Sayangnya itu lebih mudah dikatakan. Praktiknya susah. –Pak Tua (hal. 59)
Sama dengan karangan Tere Liye lainnya; sederhana.

Memang sudah kelebihan Tere Liye sepertinya mengemas kisah-kisah sederhana namun selalu penuh makna. Borno, bujang berhati lurus yang mengalami satu fase disebut jatuh cinta. Tapi...Cinta yang jauh dari kesan murahan. Kepolosan Borno kerap membuatnya bingung dengan yang namanya ‘perasaan’ dan ‘cinta’ sehingga membuat dia sibuk dengan pikirannya sendiri, dengan pertanyaan-pertanyaan yang sering dilontarkan kepada Pak Tua ataupun Andi. Pak Tua yang bijaksana memang tak jarang memberikan ‘kata mutiara’ meski sering juga mengolok-oloknya.
Dunia  ini terus berputar. Perasaaan bertunas, tumbuh mengakar, bahkan berkembang biak di tempat paling mustahil dan tidak masuk akal sekalipun. Perasaan-perasaan kadang dipaksa tumbuh di waktu dan orang yang salah. – Pak Tua (hal. 146)
Pak Tua benar, masa muda adalah masaketika kita bisa berlari secepat mungkin, merasakan perasaan sedalam mungkin tanpa perlu khawatir jadi masalah. - Borno (hal. 164)
Camkan, cinta adalah perbuatan. Nah, dengan demikian, ingat baik-baik, kau selalu bisa memberi tanpa sedikit pun rasancinta. Tetapi kau tidak akan pernah bisa mencintai tanpa selalu memberi - Pak Tua  (hal. 168)
Mei, gadis bermata sendu menawan. Gara-gara angpau merah yang ternyata sengaja ditinggalkan di sepit milik Borno, kisah itu dimulai. Sengan segala lika-likunya, ternyata angpau merah itulah yang menjadi kunci untuk mengkahiri cerita. Mengambil latar di Kapuas, bikin beberapa moment terasa lebih romantis. Coba bayangin nge-date diatas sungai naik sepit berdua. Jadi lebih gimanaaa gitu. Juga ada Sarah, dokter gigi yang ceria dan riang. Bisa dibilang Sarah Adalah ‘pihak ketiga’ dari hubungan mereka.

Aku tetap suka dengan gaya bahasa dan cara pemaparan cerita Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah, meski nggak segreget waktu baca Rembulan Tenggelam Di Wajahmu. Tapi apapun itu, kalau udah tentang cinta, selalu menarik buat diperbincangkan. Daripada cinta-cintaan ala sinetron mending pad abaca ini deh. Nih, bisa dibaca beberapa kata mutiara *ceile* dari sini:
Dalam banyak urusan kita terkadang sudah merasa selesai sebelum benar-benar berhenti.- Pak Tua (44)
Jangan sekali-kali kau biarkan prasangka jelek, negative, buruk, apalah namanaya itu muncul di hati kau. Dalam urusan ini, selalu berprasangka positif. Selalulah berharap yang terbaik. Karena dengan prasangka baik saja hati kau masih sering ketar-ketir memendam duga, menyusun harap, apalagi dengan prasangka negatif, tambah kusut lagi perasaan kau - Bang Togar (Hal. 299)
Nak, perasaan itu tidak sesederhana satu tambah satu sama dengan dua. Bahkan ketik perasaan itu sudah jelas bagai bintang di langit, gemerlap indah tak terkira teta[p saja dia bukan rumus matematika. Perasaan adlah perasaan. – Pak Tua (355)

May 25, 2014

Impulsif itu [kadang-kadang] Perlu

0komentar
Kalau mau jalan-jalan atau bikin acara pernah nggak ngalamin gini:
Semua yang udah direncanain suka tiba-tiba batal, ada aja penghalangnya. Sedangkan yang pas kepikiran meski tanpa persiapan apa-apa malah itu yang jadi.
Sama kayak hari ini. Aku dan adek-adek Komisariat Ekonomi cuma punya rencana pergi 'baralek' eh malah lanjut jalan-jalan ke Pantai Tiram. Tau kan dimana? Itu ada di deket Bandara Internasional Minangkabau. Semacam jalan pintas kalau mau ke Pariaman gitu.
Kayaknya ini jadi kebiasaan deh. Yang mendadak malah jadi.
Emang seringnya gitu, ya?
Apapun acaranya, mau bikin ini bikin itu, pergi kesini pergi kesitu, adain ini adain itu, meskipun udah direncanaain entah kenapa realisasinya suka lama banget baru jadi. Padahal mestinya yang udah direncanai donk yang lebih baik. Well, we know that, yang tinggal adalah eksekusi.
Seringnya muncul pikiran [atau perasaan?] kita takut ini itu, ragu ini itu, nanti bagaimana, dsj deh. Ujung-ujungnya hanyalah sebatas percakapan dan pembahasan. Rencana tinggallah rencana.
Padahal mungkin kalau kita punya sedikit keberanian untuk eksekusi dan nggak kelamaan mikir..bisa aja kali ya. Toh ilmu 'dima tumbuah disinan disiangi'-nya orang Minang bisa dipakai. (Dimana tumbuh, disitu disiangi: Apa yang terjadi nanti ya dicari penyelesaiannya nanti). Untuk hal-hal yang nggak terlalu high-risk ya kenapa nggak kan? Kayak sekedar jalan-jalan dalam kota, adain acara diskusi ataupun kopdar, gitu aja kadang emang habis dalam pembicaraan aja.
Mungkin iya, impulsif itu kadang-kadang perlu. Ya daripada terlalu banyak dipikirin akhirnya nggak dikerjain. Daripada terlalu sering dibahas akhirnya tanpa realisasi. Daripada jadinya nggak jadi sama sekali, yes?
Tapi mesti diinget. Ini ga lantas berlaku mutlak untuk semua hal. Ada banyak juga yang mesti dipikirin mateng-mateng, seperti... nerima lamaran orang. #eeaaaa


P.S: seperti tulisan ini yang langsung dibikin tanpa banyak mikir, tanpa banyak backspace. Lumayan jadinya nggak nunda ide dan bisa nambah postingan  ^_^
So, inilah kita yang beruntung bisa pergi jalan-jalan tadi. Eh, ini yang ambil foto keren ya :) 

May 20, 2014

Mereka Bukan Siapa-Siapa, Mereka 'Cuma' Ngenalin Internet

1 komentar

Setahun lalu, ada sekelompok mahasiswa menghubungi aku dan teman-teman komunitas blogger. Jadi ceritanya, teman-teman mahasiswa ini memenangkan sebuah program pemerintah. Mereka mendapatkan sejumlah dana tapi ppenggunaannya harus dimanfaatkan untuk pengabdian masyarakat. Entah bagaimana ceritanya, mereka memilih kegiatan pelatihan tentang email dan blogging. Makanya kamilah yang diundang untuk mengisi acara. Bertempat di sekitaran kampus, yaitu daerah Kelurahan Limau Manis, Padang, Sumatra Barat, tema kegiatan ini adalah ‘Pelatihan dan Pembinaan Generasi Muda di Bidang IT dalam Era Globalisasi’. Gitu sih yang tertulis di spanduknya J
Tenang, aku nggak akan cerita tentang jalannya acara hari itu. Kalau dilihat sekilas, acaranya memang ‘sekedar’ pelatihan di depan anak-anak sekolahan. Hey, did I mention that before? Iya, jadi peserta pelatihannya adalah anak sekolahan, dari SD, SMP, SMA.
Hanya saja,... saat itu aku sempat dibikin bengong. Apa sebab? Mereka tau dan beberapa bahkan punya facebook, tapi nggak kenal dengan email. Ada juga yang nggak tau bahwa google itu adalah mesin pencari. Yang mereka tau, google itu adalah internet. Buka internet ya buka google. Atau buka facebook. Tapi nggak apa-apalah ya. Paling nggak beberapa dari mereka punya pengetahuan.
Ada hal lain juga sih yang bikin aku mikir sendiri. Acara ini ada di Kelurahan Limau Manis, daerah Batu Busuak tepatnya. Daerah yang beberapa tahun lalu pernah kena banjir bandang dan bikin akses kesana terputus. Itu deket sama kampus, meen! Tempat yang notabene nya banyak kalangan ‘berpendidikan’. Tapi ternyata di dekat kami sendiri, di sekitar kami, belum semua kenal dengan internet.
Oh my goodness.
Itu tugas berat buat aku, temen-temen aku, buat kita, yang ngakunya penggerak komunitas tapi belum gerakin apa-apa. Pun belum maksimal dalam bergerak.
Lihat mereka, temen-temen mahasiswa ini. Mereka mungkin tidak membawa-bawa atribut ‘siapa mereka’ di kampus. Mereka juga mungkin belum tergabung komunitas sosial media apapun. Tapi di mata anak-anak sekolah itu, di mata mereka yang masih lugu, mereka adalah pahlawan. Mereka membawa sesuatu yang baru dan mungkin akan selalu membekas di ingatan setiap peserta pelatihan disana. Dari yang tidak tau blog, jadi punya blog. Dari yang nggak tau email, jadi tau bahwa setiap sign up facebook pasti butuh email. dari yang belum paham manfaat internet jadi mengenal lebih dalam lagi.
Mungkin ini cara Tuhan mengingatkan kita. Tentang saatnya kita ikut berbuat. Membuka mata lebih lebar bahwa di sekitar kita masih ada yang belum melek internet dan justru merekalah yang mestinya kita bantu agar tidak tertinggal oleh dunia yang terus bergerak maju. Membantu siapapun yang telah berbuat.  
Salah satu caranya untuk sekarang dengan berpartisipasi aktif dalam rangkaian acara Pekan Informasi Nasional. Tanpa perlu melihat siapa yang mengadakan acara, tanpa perlu banyak berkomentar.  Ikut meramaikan acara dan memasyarakatkan penggunaan teknologi dalam menggali informasi yang bermanfaat. Tentunya tanpa melupakan fungsi-fungsi kontrol yang ada.              

Iya, mungkin mereka bukan siapa-siapa, tapi mereka berbuat. Hal kecil yang mungkin merubah hidup. Hal kecil yang besar J

Yang Muda Yang Milih, Yang Muda Yang Bangkit.

2komentar
Sudah bulan Mei. Tepatnya udah tanggal 20.
Mudah-mudahan masih banyak yang inget kalau hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional.

Atau mestikah aku ber-su’udzan; jangan-jangan nggak banyak lagi pemuda yang inget tentang hari bersejarah ini. Padahal cuma buat inget aja sih. Belom lagi kalau diminta inget kronologis sejarahnya, memaknai perjuangannya, apalagi mengambil hikmah dari peristiwa itu. Padahal lagi, kita nggak disuruh buat berjuang kayak mereka dulu. Kita mah udah enak. Udah nggak perlu perang, angkat senjata, atau bikin kelompok diskusi diem-diem kayak orang yang pacaran tapi backstreet.

Nggak kayak kita, pemuda di masa itu mesti berjuang untuk memajukan pendidikan. Masa itu lah yang menjadi episode sejarah munculnya kaum terpelajar. Bisa dibilang, berkat mereka kita bisa sekolah, berkumpul, berdiskusi, mencari informasi dengan leluasa sepeti sekarang.

Ya udah sih, past is the past. Yang lalu biarkan berlalu kata orang-orang yang udah move on.
Let’s talk about now.

Dengan tetap tidak melupakan sejarah, bahwa Hari Kebangkitan adalah momen dimana para pemuda pada saat itu adalah generasi pemula dalam memunculkan semangat nasionalisme dan generasi terpelajar, mari kita sedikit menatap masa depan. *cieee*.
Jika kita berdiri di titik 20 Mei 1908, kita saat ini adalah masa depan yang mungkin ingin dilihat para pemuda yang berjuang saat itu. Mungkin kita adalah hasil dari kepedulian mereka dalam membangkitkan pentingnya pendidikan dan semangat nasionalisme. That’s it. Peduli.

Apakah kita, sebagai pemuda masa sekarang, masih punya rasa peduli?
Kita ambil contoh kecil aja deh; Pemilu 2014.
Nope! Kita nggak akan ngobrol tentang siapa menjadi apa di daerah mana.

Sebagai pemuda, ternyata kita menjadi penyumbang yang memiliki persentase cukup besar dalam mempengaruhi jalannya Pemilu. Why? Berdasarkan data dari antara.net.id jumlah pemilih terdaftar terdaftar untuk pemilu tahun 2014 adalah sejumlah 186.612.255 orang dimana 20-30% nya adalah Pemilih Pemula. Pemilih Pemula ini terdiri dari mahasiswa dan siswa SMA yang menggunakan hak pilihnya pertama kali di trahun 2014.  Masih dari sumber yang sama,katanya persentase segitu mencerminkan sekitar 40 juta lebih jumlah suara. Suara segitu banyak bakal berpengaruh donk ya buat kemenangan seseorang atau partai tertentu. Sedangkan menurut info dari rumahpemilu.org, tingkat pertisipasi pemilih terus menurun. Begini, di tahun 1999 ada 93%. Berikutnya di 2004menjadi 84% dan berlanjut di 2009 sebesar 71%.

Bayangkan kalau semuanya kompak buat nggak peduli, terus  barengan nggak ikutan berpartisiapsi dalam pemilu alias golput. Sayang sekali saudara-saudara :( 

Masih berdasarkan data yang ada ternyata jumlah golput dalam pemilu legislatif terus meningkat. Data terakhir tahun 2009, jumlah golput mencapai 39,22%. Apakah yang golput ini berasal dari pemilih pemula, pemilih muda, atau siapa? Aku nggak tau pasti. Tapi paling tidak, dengan gambaran demografis yang menunjukkan jumlah pemuda Indonesia yang tinggi, besar kemungkinan memang kitalah penyebabnya.

Lantas, apa yang bikin kita, baik itu pemilih pemula ataupun pemilih muda, memilih untuk tidak memilih?
Mungkinkah karena banyak yang nggak tau caranya?
Helllooo....hari gini? Ada yang namanya internet buat cari tau.

Masih dari data rumahpemilu.org yang katanya mengutip dari factbrowser.com, Pemgguna Internet di Indonesia tahun 2013 mencapai 72,7 juta jiwa, yang kalau di breakdown lagi berdasarkan usia, 43% nya berumur 18-24 tahun. See? Seumuran dengan pemilih pemula kan?

Atau mungkinkah karena sosialisasi dari pihak yang berkepentingan seperti KPU, lingkungan sekolah/kampus, LSM, komunitas, social media, atau siapapun masih belum secara efektif menyampaikan informasi mengenai hal-hal teknis terkait pemilu? Atau mestikah kita kaji lebih rinci tentang seberapa efektif penyuluhan dan sosialisasi yang telah dilakukan?

Kalau itu, nanti deh ya. Di postingan berikunya aja kali. Kalau disini kepanjangan *kemudian dikeplak*

Yang jelas, hari ini informasi udah menyebar dengan mudahnya di internet. Bahkan sudah ada kelompok-kelompok sosial, ataupun komunitas-komunitas yang dengan sukarela membagi informasi kepada masyarakat. Seperti dalam waktu dekat, bakal ada acara Pekan Informasi Nasional. Sebuah acara yang dikemas untuk meningkatkan pengetahuan dan pemberdayaan masyarakat terhdap penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.

For a god sake, jangan bilang pada nggak tau tentang acara itu?!

Sudah..sudah..beneran kepanjangan jadinya.
Yang jelas, kita masih berdiri di masa sekarang dan sedang menatap masa depan.

Masih ada satu lagi rangkaian acara pesta demokrasi yang akan kita lalui. Masih banyak informasi yang bisa kita kumpulkan untuk ikut andil menuju Indonesia yang (mudah-mudahan) lebih baik.

Apakah kita masih mau menyia-nyiakan hak pilih kita? Atau justru dengan bangga menunjukkan bahwa kita, pemuda, PEDULI!  

April 29, 2014

Waktu Itu, Komunitas Blogger Palanta Ulang Tahun ke-6

1 komentar
Birthday Cake

Ini yang dateng



Yang cakep-cakep di Palanta
Seperti janji aku di beberapa postingan sebelumnya, beberapa live event yang udah ga live lagi dan catatan penting bakalan tetep di post. Meskipun itu udah telat banget. Kayak postingan yang ini.
Ceritanya waktu itu 28 Desember 2013.
H-2 Ulang Tahun Palanta.
Sengaja dipercepat karena takut pada punya acara buat tahun baru, akhirnya diputuskan secara mendadak kalau kita bakalan ngumpul hari itu. alhasil, ya emang dikit yang dateng. Buat aku pribadi kopdar plus perayaan ulang tahun Palanta jadi moment buat ngumpul setelah sekian lama nggak ketemu. Beneran nggak ketemu online dan offline,lho! Kan waktu itu abis ikutan Latihan Bela Negara di Rindam I Secata B Padang Panjang selama bulan Oktober. Back to topic, ketemu lagi sama Rian dan Titi, yang ternyata udah jadian. Ada Lala dan Awin, Ada Kak Ferdi juga. Berbekal brownies dan lilin, ya udah deh, dari jam 5 sore kita cerita-cerita sampe malem ditemenin hujan.
Berarti, udah 2 tahun aku disini J
 

tentangku © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates