Day 19: point of
view about Religion.
Kalau dipikir-pikir ini adalah tema yang
berat, sensitive dan menakutkan. Aku yakin sedikit nih yang mau nulis tentang
ini. That’s oke. Special for today,
actually it’s a challenge for my self to measure how deep that I know about
what I’ve discussed before. Sekali lagi, ini tantangan sbenarnya bersifat
pribadi, nggak maksa orang buat ikutan apalagi memaksakan sudut pandang dan
menyamakan persepsi.
Well, kita liat aja seberapa mampu aku bikin tulisan tentan g tema ini
dalam waktu yang terbatas
(siapa suruh nunda-nunda!) let’s start:
(siapa suruh nunda-nunda!) let’s start:
Secara garis besar, kebutuhan manusia
dapat dibagi jadi 2, Jasmani dan Rohani. Kebutuhan itupun bertingkat-tingkat;
primer, sekunder, tersier. Bahkan seorang tokoh, Abraham Maslow, memnabgi
tingkat kebutuhan ini menjadi 5 kebutuhan dasar; biologis, keselamatan, rasa
aman, sosialisasi, harga diri, aktualisasi diri.
Kalau diperhatikan, seringkali kebutuhan
tersebut bersifat material. Sayangnya, kebahagiaan seringkali diukur dan
ditentukan oleh sejauh mana ia mampu memenuhi kebutuhan material, sehingga
melupakan hal-hal yang bersifat immaterial seperti kebutuhan terhadap agama dan
jiwa (batin).
Kebutuhan terhadap agama dan kebebasan
dalam menjalankannya adalah kebutuhan yang paling asasi. dan hal-hal yang
bersifat material ataupun immaterial sekalipun penting, merupakan instrument untuk
terpenuhinya kebutuhan agama (kepercayaan) agar menjadi lebih baik.
Pada dasarnya, semua agama mengajarkan
kepada pemeluknya agar berbuat baik. Dalam agama inilah ada system pandangan
hidup yang menawarkan tentang makna dan tujuan hidup yang benar dan baik itu. berbeda
dengan ‘idelogi’, agama memiliki tingkatan tertinggi, yaitu Tuhan. ‘Idelogi’
hanyalah system nilai yang menggiring manusia untuk bersikap ideal sesuai
dengan kerangka berpikirnya.
Nah, agama adalah suatu hal yang sangat
penting, karena sebenarnya disinilah titik kebutuhan yang paling hakiki. Yaitu adanya
dorongan hati nurani untk selalu tunduk dan patuh pada Tuhan Sang Pencipta.
Lalu bagaimana dengan atheis? Memang,
pada dasarnya atheis merupakan ideology yang menolak keberadaan atau eksistensi
Tuhan. Namun, tanpa disadari, alam bawah sadarnya akan tetap ada satu bentuk
pikiran yang mengarah pada Tuhan. Kita analogikan saja, dalam keadaan panik, atau
terdesak, bahkan sekaratul maut, pikirannya bergantung pada Tuhan. Dia akan
meminta pertolongan pada Tuhan.
Kita contohkan saja Prof Ehrenfest dan
Prof Kohnstamm (Capita Selecta, hlm 113) yang meninggal akibat gantung diri. Seorang
professor yang ilmu nya sangat dalam, semakin hari ternyata merasa semakin
kehilangan tempat berpijak. Mereka merasa tidak ada ketentraan dalam hidup. Apa
penyebabnya? Karena kebutuhan batin tadi yang tidak
terpenuhi. Hal-hal yang bersifat ruhaniyah tidak lagi memilik tempat
bergantung, dan tidak ada lagis ebuah keyakinan dan pegangan dalam hidupnya. Mereka
tidak merasakan sesuatu yang orang bilang: Kepercayaan kepada Tuhan.
Dengan demikian, kebutuhan akan kepercayaan terhadap Tuhan merupakan FITRAH manusia itu sendiri. Ini merupakan fitrah kemanusiaan yang tidak dapat begitu saja ditolak. Kenapa? Karena sejak di dalam kandungan saja, manusia sudah dibisikkan untuk pasrah dan tunduk kepada Sang Pencipta. Maka dari itulah, Tuhan mengizinkan seorang bayi lahir, karena dia telah menyepakati ‘perjanjian’ itu.
Masih ingat tentang analogi yang
diceritakan di atas tadi kan? Kenapa seorang atheis memiliki sedikitnya
pemikiran tentang Tuhan? Islam, punya jawaban ini.
Karena manusia cenderung pada pasrah dan
tunduk (hanif) (QS 6:79). Jadi,
sebagaimanapun pemikiran tentang penolakan terhadap Tuhan, ada tempat dimana
perjanjian yang pernah dia bikin bersama Sang Pencipta terucap, yaitu alam bawah sadarnya. Pemikran alam bawah
sadar inilah yang muncul dan memenuhi alam sadar.
Berbicara tentang agama, tidak bisa
dilepaskan dengan konteks keyakinan dan Ketuhanan (Tauhid).
Seperti kata M. Natsir (Capita Selecta, hlm 116)
Mengenal Tuhan, men-tauhidkan Tuhan, mempercayai dan menyerahkan diri kepada Tuhan, tak dapat tidak. Harus menjadi dasar bagi tiap-tiap pendidikan yang hendak diberikan kepada generasi yang kita latih. Meninggalkan dasar ini berarti melakukan suatu kelalaian yang amat besar yang tidak kurang besar bahayanya daripada berhianat terhadap anak yang kita didik. Walapun sudah kita sempurnakan makan dan minumnya, dan telah kita cukupkan pakaian dan perhiasaannya, serta sudah kita lengkapkan pula ilmu penegtahuan untuk bekal hidupnya. Semua ini tak ada artinya bila ketinggalan memberikan dasar Ketuhanan.
Lagi-lagi, Islam menjawab dalam QS 31:13
dan QS 3:112 (kalo nggak salah, kalau salah, mohon diralat yaaa…)
Lalu, Tuhan yang bagaimana yang harus disembah? Sebelum dijawab, mari
kita logikakan saja.
ü Kalau seluruh
kepercayaan (agama) itu benar, maka itu salah. Karena, tidak mungkin kebenaran
itu berbilang, kebenaran itu hanya satu.
ü Tuhan, adalah Sang
Pencipta, maka Pencipta tidak mungkin sama dengan Makhluknya.
ü Manusia memiliki
keterbatasan, berarti Tuhan Sang Pencipta tidak terungkap oleh manusia tentang
keberadaannya (gaib).
Sudah dapat logikanya?
Selamat berpikir J soalnya kalau
dibahas disini kepanjangan.
Mari kita cari moment dan tempat lain untuk diskusi.
Tweet |
3 komentar:
Hmm capita selecta , buku yang dulu wajib dipegang oleh aktivis islam *terutama generasi HMI , PII , GPI*
Berbicara tentang logika ketuhanan , silahkan rujuk buku-buku aliran Asy'ariyah dan maturidiyah , yang memakai dalil2 logika berbalut dalil naql dan nash
@Zamzami Saleh: dari pertama bikin tulisan ini udah nebak uda bakal komen :D
thanks referensinya..
lakum dinukum waliiyadin aja ya...
Post a Comment