Perempuan Pertama
Oleh: Hafizhah
Seperti
biasa aku menunggumu di ambang
senja. Saat kakimu mulai letih
dan pundakmu rapuh. Wajahmu terbeban oleh setumpuk masalah di kantor. Kau
kembali menemuiku. Memelukku dalam bisu. Kemudian aku menatapmu, jauh ke dalam matamu.
Ada gelisah yang kau simpan di sana.
“Kenapa sayang?” tanyaku
“Tadi siang Fatia menelfonku.
Nirina sakit. Sejak kemarin panas badannya belum turun. “
Tenggorokanku tercekat. Pantas saja.
Anakmu sakit. Setiap Ayah pasti akan cemas jika itu menimpa anak perempuannya.
Buah hati yang selalu ada dalam ceritamu. Tiap kata yang meluncur dari mulutmu
selalu tentang Nirina dan sejuta tingkahnya yang menggemaskan. Tentang
panggilan ‘Ayah’ yang keluar dari bibir mungilnya. Tentang keluhmu ketika si kecil
lebih memilih Bunda-nya hanya karena kau larang dia berlari terlalu cepat agar
tidak terjatuh. Semua tentang dia. Selalu tentang dia. Hatiku teriris setiap
kali mendengarnya. Tak jarang aku berteriak dalam hati agar kamu mau
menghentikan ceritamu dan memintamu memandang wajahku. Menikmati sedikit waktu
yang kita punya. Tapi aku juga tak mau merampas senyum itu dari wajahmu.
Sehingga aku memilih menarik semua teriakan hatiku dalam kebisuan.
Aku
melepasakan pelukanku. Menunduk dan tersenyum pahit. Namun cepat aku menguatkan
hatiku, seraya berkata,
“Kalau
begitu, pergilah. Kamu Ayah yang baik.”
Kamu
terpana memandangku. Tapi aku tahu kamu juga tak kuasa meminta hal itu langsung
dari mulutmu. Malam ini seharusnya malamku. Malam kita. Sekilas kulihat tatapan
kasihan terpancar dari sana. Kamu buru-buru memelukku lagi. Aku tau kamu
berterima kasih atas keputusanku ini. Dan aku yakin kamu tengah berpikir untuk
membayar pengorbananku. Kamu tak akan tahu, setiap waktu yang hilang tak akan
pernah bisa terbayar oleh papaun. Karena bagiku, kehadiranmu adalah segalanya.
“Cuma
buat malam ini. Aku akan mengabarimu,” janjimu.
“Sampaikan
salamku pada Fatia. Aku juga mendoakan kesembuhan Nirina.”
Tentu
saja semua itu agar kamu sgera kembali dalam pelukku. Setelah mengecup bibirku,
kamu berlari ke mobil sambil mengeluarkan kunci dari saku. Bisikanku tenggelam
dalam suara mesin mobil yang menderu.
“Aku
merindukanmu,”
Kamu
meninggalakanku sebuah senyuman. Aku menatapamu, melepasmu sampai mobil yang
kamu bawa hilang dari pandangan. Ketika itu juga seluruh pertahananku hancur.
Tangisku pecah.
Pagi
ini hujan. Aku terbangun dengan mata bengkak. Blackberry pemberian Dimas
masih berada dalam genggaman. Masih belum ada kabar darimu Sayang, batinku.
Kutarik selimut hingga menutupi kepalaku. Seandainya Dimas disini, aku tidak
membutuhkan selimut ini untuk meghangatkanku. Tinggal meringkuk ke dalam
pelukannya, Dimas pasti akan membelai rambutku dan menguatkan dekapannya.
Menyalurkan hangat tubuhnya. Seandainya saja. Aku menatap screensaver.
Senyum sepasang manusia di foto itu terlihat indah. Siapapun yang melihat
langsung tahu bahwa mereka saling mencintai.
Dalam foto itu, aku terbalut gaun putih dan terlihat begitu mungil di
dalam pelukanmu. Kita saling memandang. Aku masih ingat betapa sulitnya sang
fotografer mengatur kita waktu itu. Karena tiap kali kita saling bertatapan,
aku tak pernah bisa menahan senyumku yang seolah menular dan membuatmu tertawa.
Kemudian aku pasti ikut tertawa.
Waktu
itu, aku adalah perempuan pertama yang Dimas cintai. Perempuan pertama yang
mengatakan siap untuk menemaninya menjalani hidup. Perempuan pertama yang
berjanji untuk rela memberikan apapun dalam hidup demi kebahagiaannya. Dan
janji itu telah terpancang kuat di hati.
Dan
benar saja. Kita selalu berdua menghabiskan malam bahkan sekedar untuk menatap
bintang, atau hujan. Seringkali kamu bercerita tentang hal-hal rumit yang tak
ku mengerti. Tapi alih-alih menunjukkan kebingunganku, aku memilih membiarkanmu
berceloteh dan melihat setiap perubahan ekspresi ajahmu saat becerita. Semua
kurekam dengan baik dalam memoriku. Dan aku berusaha memberikan semua yang
terbaik yang ada padaku untuk membahagiakanmu. Dan keluarga kita. Hingga sampai
suatu hari, aku tidak bisa memberikan apa yang benar-benar kamu inginkan.
Seorang anak.
-----
5
tahun lalu. Kita menghabiskan waktu dalam mobil dengan diam. Sibuk dengan
pikiran masing-masing. Memutar kembali tiap kata yang disampaikan dr. Frans.
“Ada kista di rahimmu. Ini
yang menghambat pembuahan sel telurmu. Rahimmu tidak kuat untuk menampung
perekembangan sel telur yang sudah dibuahi. “
“Apa yang bisa kami lakukan?
Operasi?” muka Dimas seketika keruh.
“Terlalu beresiko. Kalaupun
dioperasi, kita juga harus ikut mengangkat rahimnya. Istrimu harus steril agar
bisa sembuh benar.”
Disanalah aku melihat Dimas
menyerah. Dia merebahkan badannya di kursi. Aku hanya bisa terdiam. Kesulitan
menerima semua kenyataan ini. Aku pasrah. Bahkan setelah 2 tahun kemudian, aku
tak bisa menolak permintaanmu untuk meminang perempuan lain. Perempuan yang
bisa memberimu apa yang tidak bisa kuberikan. Bukankah aku sudah berjanji untuk
memberikan apa yang kamu minta?
“Kalau kamu mau, aku tidak
akan menceraikanmu. Aku tetap mencintaimu. Walau bagaimanapun, kamulah
perempuan pertama yang memenangkan hatiku.”
Pada saat itu, yang kuingat,
aku mengangguk.
-----
Aku
melemparkan pandangan ke jendela. Tampak sinar matahari mulai memancarkan
merahnya. Aku selalu suka pemandangan ini. Sunshine after the rain.
Sekelompok burung gereja terbang ke atas pohon mangga di depan jendela kamar.
Mereka kembali ke sarang. Pasti kamu juga akan segera kembali, gumamku. Mengapa
begitu lama, rutukku, tak sabar. Aku terus menatap pagi. Kemudian bangkit dari
tempat tidur dan berjalan ke luar rumah. Aku melihat ujung jalan yang lengang.
Belum juga kutemukan bias bayangmu mendekat. Aku kecewa.
Aku memandang
layar ponsel yang berada di genggamanku. Bimbang. Tampak sederet angka juga
namamu tertera di layar. Jemariku masih sangat enggan menekan tombol call.
Sebelum aku berhasil menghalau keengganan yang bergelayut. Aku telah lebih dulu
mendengar nada panggil berseru-seru. Hatiku melonjak. Bukankah ini pertanda
kalau sebenarnya kita sehati? Aku girang mendengar suaramu dari seberang sana. Pulanglah segera, temani aku.
“Dona, aku tak
bisa pulang lagi hari ini. Nirina akan dirawat inap.”
Aku terdiam.
Padahal tadi aku sempat berharap kamu sudah di jalan pulang. Tapi mengapa aku
malah mendengar kabar yang tak mengenakkan ini.
“Aku akan menantimu” jawabku.
Aku memejamkan mata. Satu sosok berkelebat dalam angan.
Akhirnya kupersilakan pagi ini merebut secuil. kebahagiaanku. Kamu selalu ada
buat Fatia. Itu kenyataannya. Aku melangkah lemas menuju kamar. Dimas, kapankah? kau tuntaskan rinduku sampai
tak bernyawa agar ia tak lagi mengganggu.
Ah, kutunggu saja waktu.
Tweet |
1 komentar:
Bagus. Salam kenal :)
Post a Comment