Di Atas
Kereta
Oleh:
Hafizhah
Pa,
Dulu Papa
pernah bilang kalau menulis itu melegakan. Apalagi kalau hati sedang menanggung
beban berat. Marah, sedih, rindu, cinta, bahkan maaf. Tapi entah kenapa aku tak
pernah mencobanya. Bukan meragukan kata-katamu, Pa. Tapi meragukan kemampuan ku
untuk menulis dan merangkai kata yang bagus. Nilai menulisku di kelas Bahasa
dulu tak pernah lebih dari 7. Kurasa, aku tak punya bakat. Aku juga takut kalau
maksud dan tujuanku tak tersampaikan lewat tulisan. Bagiku, berbicara lebih
asik. Lebih langsung dan lebih ekspresif.
Tapi Pa,
jangan marah kalau aku baru mencobanya sekarang ya? Butuh keberanian besar
untuk menuliskan kalimat pertama. Takut salah. Takut jelek. Takut berhenti di
tengah jalan. Tuh, bener kan Pa? Baru saja mau mencoba semua ketakutan sudah
muncul lagi. Ah, bingung..
Pa,
Kabarku
baik kok Pa. Selalu baik. Aku punya teman-teman yang baik disini. Memang tak
selalu ada untukku Pa, karena yang bisa seperti itu cuma Mama dan Papa. Aku
jarang sakit. Meski sering begadang, merokok dan pola makanku tak teratur,
rasa-rasanya aku menjadi sosok yang lebih kuat sekarang. Aku sanggup tidak
tidur tanpa sempoyongan besoknya Pa. Buat Papa, itu bukan suatu yang patut
dibanggakan ya? Tapi bagi aku dan teman-teman, itu prestasi Pa.
Kuliahku,..hmm,….
Aku berterima kasih karena Papa tidak pernah menuntutku. Tapi aku tau, akhir-akhir
ini, hal itu yang menjadi beban buatmu. Aku mengerti dari raut wajahmu tertahan
sebuah pertanyaan. Yang dulu pernah Papa lontarkan padaku dan seketika
perasaanku berubah. Pertanyaan yang bisa membuatku uring-uringan. Itu juga yang
membuatku malas pulang ke rumah. Padahal 2 jam perjalanan tidak akan ada
artinya jika dibanding dengan senyummu yang menungguku di teras rumah dan urap
sayur buatan Mama.
Waktu itu, aku tidak bermaksud melukai perasaanmu. Karena aku tahu, tanpa Papa tanyakan pun sebenarnya perasaanmu sudah cukup terluka karena terlalu lama menungguku. Papa sudah terlalu lama berada dalam dan penantian tak pasti sampai kapan, karena aku juga tak pernah berani memberi jawabannya. Aku sudah bilang Pa, aku kan berusaha tapi kenapa tatapan matamu seolah tak percaya? Itu juga membuatku terluka Pa. aku sudah bilang padamu untuk bersabar. Sebentar lagi saja. Aku juga tau banyak keluarga dan kerabat yang menanyakan hal ini padamu. Apalagi aku anak tertuamu. Aku yang punya tanggung jawab menggantikanmu jika kamu sudah…..ah, aku tak sanggup meneruskannya Pa.
Aku tak
mau menggantikanmu. Papa tetap Papa. Dan aku tak akan bisa menyerupaimu. Meski orang bilang kita begitu mirip, tapi kita begitu berbeda.
Aku tak sekuat kamu Pa. aku tak akan tahu bagaimana cara membesarkan anak,
apalagi yang seperti aku..
Ketika
aku bilang aku sudah berusaha, tidakkah kamu percaya Pa? aku sudah jarang absen
sekarang, Pa. Nilai-nilaiku meningkat seiring skripsiku yang akhirnya
selesai. Memang tidak mudah, Pa. apalagi teman-teman
seperjuangan sudah tidak ada lagi. Aku sendiri memperjuangkan sebuah toga, Pa.
Untuk Papa.
Dan
ketika aku bilang padamu untuk bersabar, aku mengucapkannya sambil berjanji Pa.
Janji seorang lelaki. Bukan sekedar omongan yang seperti biasa kulontarkan. Karena
aku tau, saat itu kan datang.
Sekarang,
Pa. Aku ingin menyerahkan toga ini untukmu. Toga yang akan kupakai hari Sabtu,
2 minggu lagi.
-----
Aku menatap jendela yang berada di sisi
kiriku. Kulempar pandanganku sejauh mungkin. Roda kereta yang kunaiki perlahan
melambat seiring suara peluit yang berbunyi nyaring. Aku menghela nafas. Pundakku terasa sedikit lebih ringan. Kumasukkan
pena ke kantong jaket dan kulipat kertas tadi baik-baik. Kereta pun berhenti.
Aku berjalan keluar gerbong seraya merogoh ponsel dari kantongku dan membaca
ulang pesan singkat yang kuterima tadi pagi.
Bg,papa pergi…
Hatiku
kembali ngilu.
------
Satu per
satu orang pergi meninggalkan gundukan merah yang berada tepat dihadapanku.
Mama menatap makam itu lama. Matanya menyiratkan kerinduan. Aku masih
menggenggam tangan Mama.
“Yuk,
pulang. Papa sudah tenang disana.” Mama mengajakku berdiri.
“Maaf
Ma, seandainya bisa lebih cepat..pasti…” ucapanku terhenti
“Papa
percaya kamu berusaha sekuat tenaga. Papa juga bersabar, seperti yang kamu
minta. Tapi Tuhan berkehendak lain. Jangan jadikan beban, Nak,”
Aku
tersenyum memandang sosok yang begitu tegar di depanku. Baru beberapa langkah
aku meninggalkan makam, aku membalikkan badan. Kutatap makam itu sekali lagi.
Kemudian megeluarkan secarik kertas dari kantong jaket dan meletakkannya dekat
nisan. Aku mengambil batu kecil dan mengganjalnya supaya tidak diterbangkan
angin.
“Ini
tulisan pertamaku, Pa. Baca dari sana ya,” gumamku.
Aku menghela
nafas. Lega.
Tweet |
0 komentar:
Post a Comment