gambar dari google |
Membaca buku
Life Traveler – Windy Ariestanty menggoda aku untuk membuat postingan khusus
tentang satu hal: Berkemas.
Baca deh kalimat pembuka Windy:
Berkemas buat saya tak ubahnya dengan menyisakan ruang kosong lebih banyak agar bisa memuat lebih banyak – hal. 3
Kemudian yang ini;
Proses mengemas buat saya selalu menarik. Dan ini membutuhkan seni tersendiri. Kita harus memilih mana yang penting dan mana yang kurang penting. Kita belajar memutuskan. Belajar berani meninggalkan dan yakin tidak akan membutuhkannya ketika memutuskan, ‘ Yang ini tidak perlu dibawa’ – hal. 7
Setiap
perjalanan -dekat ataupun jauh- yang kita mulai pasti diawali dengan pemikiran apa
aja yang akan dibawa. Untuk setiap
perjalanan (literally), aku pribadi
males buat bawa banyak barang. Menjadi perempuan yang tidak terlalu hobi
‘meng-gaya’ bisa sangat menguntungkan. Mau kemana-mana nggak terlalu repot,
nggak mesti bawa banyak baju, sepatu, dsj. Aku masih ingat masa-masa ‘hobi’
mengelola training yang yang full 7 hari. Dimana ketika itu jeda antar satu
training ke training berikutnya bisa
dibilang hanya 2 atau 3 hari, plus istirahat barang 1 atau 2 kali training.
Otomatis kehidupan di kos ‘berpindah’ ke tempat yang dikenal dengan nama ‘Wisma
HT 158’. Aku selalu hanya membawa 1 ransel. Kalaupun ada goody bag, itu dipakai untuk membawa 5 buah buku yang memang harus
dibawa setiap pengelola training. Bagi seorang perempuan yang terkenal dengan
banyak tetek-bengek nya di mata pria, itu bukan perkara biasa, Bro eh, Sis! Rentan
menjadi bahan obrolan, bikin aku mesti sabar atas setiap komentar atau
pertanyaan yang muncul;
‘Ih, dikit banget, emang cukup?’
‘Ondeh, enak ya, bawaannya nggak
banyak.’
‘Cuma segitu?!’
Lagi-lagi ini menguntungkan waktu jadi Liaison OfficerTour de Singkarak, yang bikin aku berhasil menjajaki 17 dari 19 Kab/Kota Sumatera Barat dalam waktu 1 minggu dengan bawaan hanya 1 ransel dan tas samping kecil untuk menyimpan dompet, hp, racing schedule dan rundown acara seminggu. Atau saat pergi Latihan Bela Negara selama 5 minggu di Secata B Padang Panjang, aku cuma membawa 1 tas jinjing tidak terlalu besar. Itupun masih banyak space kosong. Meski akhirnya ‘pakaian preman’ itu harus di drop pulang karena toh akhirnya nggak ada yang kepake juga. Dari 26 orang perempuan, hanya aku dan 2 orang teman yang membawa 1 item tas.
Mungkin karena aku sadar, bawa banyak barang itu repot
Yah, malah ngalor ngidul.
Sebenarnya bukan itu yang mau dibahas, toh aku
Kita belajar memutuskan. Belajar berani meninggalkan dan yakin tidak akan membutuhkannya. Begitu kan tadi?
Kalau dibawa ke dalam hidup kita sebagai khalifah di muka bumi #tsaaah, bolehlah aku mempertanyakan diriku sendiri (kita, kalau mau ikutan). Seberapa beranikah kita memutuskan ini penting atau tidak? Seberapa berani kita meninggalkan apa yang sebenarnya tidak dibutuhkan?
Anggap saja setiap pagi yang kita lalui adalah awal perjalanan yang baru. Maka setiap pagi pulalah kita akan berkemas. Membawa apa yang perlu dan meninggalkan apa yang sekiranya memberatkan. Apakah kita akan memulai hari yang baru dan mencampurkannya dengan apa yang telah dilalui hari sebelumnya. Bagaimana kita memutuskan seberapa banyak yang akan kita bawa? Jika seandainya kita membawa ‘kemarin’, maka ‘hari yang baru’ itu tidaklah bisa dikatakan baru karena sudah ternodai oleh ‘yang lalu’. Kalau memang setiap hari adalah lembaran yang baru, tentu hidup jadi lebih seru. Kayak iklan minuman bersoda yang liriknya:
Buka kita buka hari yang baru, bukalah buka semangat baru.
Oke, itu
tentang satu hal kecil. Mari kita geser sedikit analogi tadi menjadi tentang
‘fase kehidupan’ atau yang biasa disebut-sebut sebagai ‘naik kelas’.
Seperti mendaki gunung (katanya sih, aku kan belum pernah), si pendaki mesti pinter-pinter memilih perlengkapan yang dibawa dan mengatur siapa yang membawa apa. Jika tidak, tentu akan menambah kesulitan saat melalui medan yang semakin curam saat menuju puncak. Tidaklah, tentang mendaki. Tentang hidup yang lurus-lurus aja. Seberapa berat beban hidup kita? How does our life weigh?
Imagine for a second that we’re carrying a
backpack. Feel the straps on our shoulder. Then, pack it with all the stuff
that happen in our life. Feel the weight as that adds up. Now, try to walk. I
think it’s kinda hard, isn’t it? Kalau semua mau dibawa dan dimasukkan ke
dalam backpack, yang ada justru
memberatkan, memusingkan, merepotkan. Pokoknya yang susah-susah deh.
Membayangkannya aja ribet apalagi mengalaminya, yes?
Begitulah.
Mungkin benar apa yang dibilang penulis buku itu. ternya berkemas pun ada ‘seni’nya. Buat aku, ternyata berkemas pun bisa jadi tulisan sepanjang ini, #halah
Hidup ini terlalu pendek dan ia bergerak tanpa menungu saya. Waktu tak peduli seberapa cepat kita berjalan. Time always move in constant motion. Saya yang harus menentukan ritme gerak saya. – hal. 10
Yep, inginnya aku tidak memberatkan hidup dengan urusan yang kurang penting. Now I’m gonna set that backpack down. I think it’s gonna be exhilarating. Because I’m sure that we don’t need to carry all those weights. Sekarang tinggal belajar memilih mana yang penting dan tidak. Meski itu tidak pernah benar-benar mudah untuk sebagian besar kita.
Maafkan bahasa aku yang campur-campur. Maafkan juga tengah malam malah nulis beginian. Efek tidak bisa tidur padahal masuk pagi dan bertepatan dengan jadwal closing.
Selamat bingung bagi yang mau
bingung. Selamat berfikir bagi yang mau berfikir.
Sekian dan terima pitih J
00:44
Senin, 2 Juni 2014.
Tweet |
1 komentar:
Keren tulisannya, Kak. Terlalu banyak membawa barang saat bepergian mungkin jadi salah satu indikasi ketidaksiapan untuk meninggalkan hal-hal yang tidak perlu *ami menangkapnya seperti itu*
Post a Comment