Sudah
saatnya gantung muts dan gordon.
Begitu pernyataan yang terucap 2 tahun
lalu, April 2013. Ketika itu, ketika gelar sarjana akhirnya sudah
ditangan, ada satu keinginan untuk menjadi bagian dalam kepengelolaan basic training untuk terakhir kalinya,
sebelum memasuki dunia nyata. Demi komisariat tercinta dan terkasih.
Ternyata
Allah SWT berkata lain.
Karena, pada Mei 2015, satu kalimat
merubah segalanya; Tidak ada Master of Training untuk Komisariat Ekonomi Unand.
Tidak ada yang lebih menyedihkan bagi
seorang instruktur atau master, yang tugas utamanya adalah kaderisasi, ternyata
tidak mampu melahirkan generasi penerus. Apalagi bagi komisariat sendiri. Tidak
ada yang lebih menyakitkan ketika mengetahui bahwa rantai proses itu putus di
tangannya. Lebay? Mungkin. Tapi biarlah, kalau itu lebih baik daripada tidak
merasa sama sekali. Then, who’s to blame? Apakah karena abang atau kakak yang
tidak berusaha cukup keras untuk membina adik-adiknya? Apakah karena abang atau
kakak yang tidak siap untuk menjadi contoh? Sehingga bagi mereka, proses yang
bermula dari LK 1, komisariat, cabang, bahkan hingga jenjang yang lebih tinggi
tidak lagi menarik. Atau apakah karena adik yang terbiasa dengan status ‘adik’,
maunya selalu dimanja dan diperhatikan lalu terlena dengan suasana nyaman
sehingga keinginan untuk menempa diri tidak lagi terbersit dalam hatinya? Apakah
karena adik yang setiap kali mengalami kesulitan, tinggal mengadu ke kakak,
sehingga tidak lagi muncul kreatifitas dalam menyelesaikan masalah sendiri?
Well, I don’t know. Tentu akan lebih arif kalau kita bisa cover both sides dalam memandang
fenomena tersebut.
Memutuskan untuk memakai kembali muts
dan gordon yang sudah lama tergantung, tentu bukan tanpa pertimbangan yang
masak. Bukan karena sekedar bujuk rayu adik-adik komisariat yang sudah
‘mambana’ ke kakak perempuannya. Tidak. Bukan berarti juga pengurus dan panitia
tidak diminta untuk mencari tim master dari komisariat lain. Sudah. Toh,
kenyataannya beberapa tim master generasi sekarang yang available dan dipercaya juga terkendala mengelola pada saat itu. Lalu
kenapa tidak yang lain yang bisa saja? Kenapa harus memaksakan keinginan bahwa
Master of Training pengelolaan kali ini tetap berasal dari komisariat sendiri? Sebenarnya
tidak ada keharusan. Sama sekali. Ini hanya tentang siapa dan bagaimana sosok
yang pertama kali dikenal oleh peserta training. Ini hanya tentang kepercayaan
dalam mengelola seluruh elemen training. Tentang bagaimana nilai-nilai afektif
yang menjadi penilaian terbesar dalam standar LK 1 ditransformasikan dengan
maksimal sesuai dengan pedoman perkaderan. So, frankly speaking, bagi Tim Master yang tidak ‘dipercaya’, silakan
tanya diri, kenapa seorang yang menjadi pucuk pimpinan dalam kepengelolaan
malah menjadi sosok yang tidak dipercaya dalam mengemban amanah? Meski memang,
terlepas dari itu semua, tentu tidak ada yang tidak ingin LK 1 nya dikelola
oleh Master of Training dari komisariat sendiri. Kearifan tentang pemahaman
kebutuhan dan budaya komisariat menjadi alasan paling pamungkas. Tapi, hey,
siapa bilang mengelola di komisariat sendiri itu gampang? Nggak percaya?
Silakan jadi instruktur, silakan jadi Master of Training.
Langkah untuk ‘turun gunung’ juga
tidak lantas lepas dari segala perseteruan. Internal dan eksternal. Memusatkan
pikiran dan perhatian dengan kondisi setengah kaki sudah berada di dunia nyata
bukanlah suatu hal yang mudah. Belum lagi segala bentuk perhatian berlimpah yang
mendadak mucul dari orang-orang sekitar, kakak, abang, uda, uni, bahkan
adik-adik sendiri. Jangan dikira tidak ada yang melarang. Meski pada akhirnya
ada rasa terima kasih yang tak hingga untuk semua pihak atas perhatian tersebut,
karena tentu semua dilakukan atas dasar kasih sayang.
Tentu banyak yang meyakini bahwa ini
adalah bentuk kemunduran bagi komisariat jika LK 1 masih dikelola oleh generasi
yang sudah lama tidak bersentuhan langsung dengan training formal. Sudah banyak
melahirkan adik-adik baru pula. Tapi apa hendak dikata? Memilih jalan yang beda
untuk mencapai visi besar butuh energi yang besar juga, kan? Kalau dinilai sekedar
panggung yang dicari disana, perlu diketahui, di titik kehidupan tempat
berpijak saat ini semua itu tidaklah relevan lagi. It’s not what I’m looking for. Not anymore. Sudah sejauh dan
sebesar ini langkah yang diambil tentu akan sia-sia rasanya jika hanya hal
‘ecek-ecek’ yang dibawa.
Everything
have to be worthy. Semua elemen training harus
menjadi pihak yang ‘berproses’ di sana. Tidak hanya peserta, tapi pengelola dan
panitia juga. Kalau dipikir-pikir, tidak apalah, jika kita mundur satu langkah
untuk kemudian maju beberapa langkah. Bukankah Hatta sendiri pernah bilang
dalam buku ‘Untuk Negriku’:
“Kita pun tau, bahwa kemenangan tidak mudah didapat dalam perjuangan kita menuju cita-cita. Kita akan kalah berkali-kali dan tewas berulang-ulang”
Anggap saja, langkah mundur kemarin
menjadi cambuk buat semua pihak, tidak hanya pengurus komisariat, tapi juga
alumni, pengurus cabang dan BPL yang harusnya menjadi muara dalam mencari dan mencetak
tim pengelola. Lagipula, selama ini kita digembar-gemborkan dengan pernyataan:
‘JIka mau HMI baik, perbaiki perkaderan. Jika perkaderan mau baik, perbaiki
training. Jika training mau baik, perbaiki instruktur.’ Lalu bagaimana jika instruktur mau baik? Kalau
diizinkan menyambung kalimat tadi, jawaban yang akan diberikan adalah dengan
memperbaiki diri sendiri. Jadilah instruktur, perbanyaklah mengelola. Kalau sekiranya
ada yang tidak suka dengan gaya dan tingkah polah pengelola yang ada, jadilah
pengelola yang seperti kita inginkan.
Last
but not least, untuk anggota-anggota baru, siapa
saja, dari LK 1 apa saja. Selamat datang dan selamat berproses. Kita semua
sudah memegang tongkat estafet. Mau bagaimana setelah ini dan mau menjadi apa
kita nanti tentu tidaklah mudah. Kita tidak tau seberapa panjang jalan yang
akan ditempuh dan apa saja yang akan dihadapi. Life is full of surprise, isn’t it? Bukankah dari yang tidak mudah
itu kita bisa menjadi kuat? Apalagi menjadi generasi yang R.E.A.L: Religius,
Educated, Attitude, Loyal (meminjam tema LK 1 Komisariat Ekonomi kemaren). Kita semua belajar untuk itu. Dengan segala
ujian yang ada.
Kalau
kata @pidibaiq (you may check on twitter):
“Mudah-mudahan kita kuat, sekuat kehidupan, sekuat cinta dan pemahaman.”
After
all, I
do really apologize, mewakili tim pengelola, atas semua kekurangan,
kesalahan, konflik yang tercipta, perseturuan yang muncul dengan berbagai
pihak, semoga ini menjadi sesuatu yang mendewasakan kita. Juga sebagai seorang
kakak, maaf karena seorang ‘KakPi’ belum maksimal dalam berperan aktif selama
berproses di komisariat. Atas segala sisi yang tidak baik, silakan dibuang dan
dijadikan pelajaran untuk tidak menjadi seperti itu. Ingatkan jika salah.
Puji syukur kepada Allah SWT, dan
terima kasih kepada semua pihak yang terlibat, karena LK 1 Komisariat Ekonomi
Mei 2015 telah menciptakan pengalaman pertama (dan terakhir) untuk dapat
merasakan sensasi hubungan yang dulunya adalah Master-Peserta menjadi
Master-Instruktur. Mengelola bersama Andri (Komisariat ITP), Ferdi (Komisariat
IS UNP), dan Ijek, Trendy, Ibob (Komsariat Ekonomi Unand) menjadi sebuah
penutup manis dalam catatan sejarah kepengelolaan seorang Fia. Semua yang
terjadi disana, hingga nanti, telah menciptakan ruang baru yang berisi
kemenangan dan kekalahan, kekecewaan dan kerinduan, dalam satu titik di
kehidupan ini.
Dan
akhirnya.
Sudah
saatnya gantung muts dan gordon.
P.S:
pernyataan terakhir di atas bukanlah sebuah permohonan izin, tapi informasi. :)
13:13
- Jumat 19 Juni 2015.
Hafizhah