Judul:
Genduk
Penulis:
Sundari Mardjuki
Penerbit:
Gramedia pustaka Utama
Tahun terbit: Juli, 2016
Tahun terbit: Juli, 2016
Halaman:
232
Rating:
3 of 5
Awalnya
tertarik dengan Genduk karena diskon 25% dari Gramedia untuk buku-buku yang
masuk nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa 2016. Berhubung aku nggak terlalu
suka baca buku puisi dan untuk kategori prosa udah baca buku O, pilihanku jatuh
ke Genduk.
Buku
tipis ini selesai aku baca hanya waktu 1, 5 jam. Ceritanya ringan, mengalir
begitu saja, tanpa mesti berfikir keras. Tipikal buku yang memang lagi aku
butuhkan karena lagi pengen baca buku yang nggak berat dan bisa langsung
selesai sekedar untuk bikin otak segar.
Adalah
Genduk, gadis yatim berusia sebelas tahun yang hidup dalam keterbatasan. Tidak hanya
keterbatasan finansial tapi juga keterbatasan pengetahuan tentang sosok Pak’e,
ayah kandungnya. Yung, singkatan dari biyung atau ibu, juga tidak bisa Genduk
harapkan untuk bercerita tentang ayahnya karena responnyayang kerap membisu
ketika ditanya. Konflik mulai menguat ketika rok warna oranye ubi jalar milik
temannya mampu membakar hati Genduk yang sudah tak sanggup lagi menahan laku prihatin setiap kali musim
panen tembakau datang. Entah itu karena gejolak pubertas seorang gadis yang
beranjak dewasa, yang ingin tampil cantik jelita, Entah itu karena hati yang
sudah penuh dengan masalah-masalah yang ditahannya selama ini. Genduk
memutuskan melakukan tindakan yang bahkan tak pernah dia pikirkan sebelumnya.
Tidak
hanya Genduk, karakter masing-masing tokoh di buku ini pas, nggak lebay, dan
menurut aku semua berjalan sesuai alurnya. Berlatar belakang kehidupan petani
tembakau di lereng Gunung Sindoro, nuansa pedesaan yang digambarkan cukup kuat.
Bahasa daerah yang digunakan untuk membangun tokoh dan menghidupkan suasana pun
dirasa tidak berlebihan. Aku aja ngerti bacanya, padahal bukan orang jawa.
Meskipun
ide ceritanya sederhana, salut deh sama penulisnya yang rela sebelumnya
melakukan penelitian selama 4 tahun supaya tau proses tembakau sejak ditanam
sampai panen. Kayaknya nggak sia-sia deh perjuangnnya. Meksipun mengambil latar
tahun 1970-an, pembaca nggak perlu bingung untuk set their mind into that time karena penulisnya mewarnai cerita
dengan kondisi sosial yang mungkin terjadi di masa itu. Misalnya, penulis masih
memasukkan cerita tentang PKI atau tentang ritual Yung dalam berdoa. Eh, itu pendapat subjektif aku sih ya.
Namun,
ketika ada yang bilang novel ini seolah menjadi bayang-bayang novel Ronggeng Dukuh Paruk, aku cenderung mengiyakan. Memang sekilas novel ini mengingatkan
aku dengan Ahmad Tohari. Malahan entah kenapa aku juga inget Gadis Kretek dan Entrok, padahal ceritanya nggak mirip. Tapi itu nggak mengganggu aku sih. Apalagi ketika
mbak penulisnya menyebut AT sebagai salah satu penulis yang menginspirasinya. Katanya
sih, itu biasa.
Aku suka buku ini! Covernya juga bagus.
p.s: cerita ini
terinspirasi dari kisah ibu kandung penulis sendiri, lho.
Tweet |
0 komentar:
Post a Comment