Judul: No Sex In The
City
Pengarang: Randa
Abdel-Fattah
Penerbit: Gramedia
Pustaka Utama
Tahun terbit: November
2015
Halaman: 416
Rating: 3 of 5
Aku tumbuh dewasa dengan kepercayaan bahwa orang tua tak boleh dilawan; aku putri mereka dan menghormati mereka sebagai orang yang lebih bijak dan berpengalaman. Bukan berarti aku tak pernah bertengkar dan berdebat dan mencoba menggeser keseimbangan kekuasaan, tapi bagiku selalu ada garis—yang diukir rasa hormat, segan dan bersyukur—yang tak berani kulangkahi. – hal. 25
Actually my heart didn’t fit in
this book. Ceritanya bikin nggak enak sih, personally. Tapi seru juga kok
sebenernya. Mungkin akunya aja yang lagi baper. Tentang Esma, Ruby, Lisa, dan
Nirvana, dalam mencari ‘cinta sejati’. Halah. Bukan deh, dalam mencari pasangan
hidup tepatnya. Yep, makanya bikin hati nggak enak, hahaha *iykwim*.
Esma
dan para sahabatnya mendirikan klub; No
Sex In The City, which is mereka
sepakat untuk tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah. Berlatar di
Australia, tentu nggak gampang memegang prinsip hidup begitu. Tapi bagi Esma
seorang Muslim keturunan Turki, yang katanya nggak terlalu taat dalam mematuhi
ajaran agama, ia cukup berani memegang teguh beberapa prinsip dasar kayak
begini. Well, I like this point, actually.
Esma, 28 tahun, yang masih menjomblo
mesti mengalami hari-hari dimana pastinya keluarganya sibuk dalam hal
mencomblangkan dia dengan beberapa ‘anak teman Mama/Papa’. Sebenarnya Esma
secara pribadi sih nggak masalah for
being alone eh single. Daripada dapet calon yang asal-asalan, gitu. *Sounds familiar, yes? Bedanya, adek
Esma, Senem sudah memiliki suami, #eh. Hahaha. #bawaketawaaja #padahaldalemhatinangis*
Lika-liku
kehidupan Esma, tidak hanya tentang pencarian Mr. Right, tapi juga tentang
kehidupan kantor, persahabatan, dan masalah pelik keluarga yang mesti ia simpan
berdua dengan Dad. Setiap konflik yang dialami Esma aku pikir diselesaikan
penulis dengan tidak terburu-buru. Beberapa bagian malah berhasil bikin
deg-degan.
Cinta selalu ada, bahkan jika cinta itu layu dan tergeletak lemas. Itu bukan hal ideal, tapi itulah kehidupan. Menjaga cinta tetap mekar merupakan hal tersulit di dunia. Cinta membutuhkan perhatian yang tak putus. Ada hari-hari ketika akulah yang harus mempertahankannya. Ada hari-hari ketika ayahmu yang mempertahankan. Tapi itu tidak masalah. Sebab kami sama-sama tahu kami tak akan pernah berhenti mencoba. – hal 351
Konflik
dalam buku ini juga tidak hanya berkutat tentang Esma. Dibumbui dengan cerita
tentang Nirvana dan Rubi tentang ‘calon’ pasangan masing-masing, bikin pembaca
sedikit teralihkan dan sukses dalam hal menjaga rasa penasaran. Berbagai konflik
yang ditonjolkan sebenarnya bikin buku ini lebih ‘berwarna’. Meski sayang,
cerita tentang Lulu tidak terlalu banyak muncul.
Gaya
penuturan ceritanya sederhana dan ringan. Termasuk buku yang cepat selesai
dibaca deh. Beberapa statement juga quotable. Sayangnya, aku agak terganggu
dengan hasil terjemahannya. Meski masih dalam batas toleransi.
Eh,
tapi mesti agak hati-hati sih ya bacanya. Kalau boleh aku bilang, buku ini
bermaksud ‘meyakinkan’ kita bahwa kalau mau sabar, penantian tersebut akan
sepadan dengan hasilnya. Bukan justru kebalikannya. Karena ada beberapa kalimat
yang takutnya bikin orang-orang yang mungkin lagi hopeless, berpikir lebih baik sendiri. It’s note to yourself, too, Fia!
*kemudian galau
di pojokan*