Oeroeg.
Buku tipis yang
secara tidak sengaja dibeli saat bazaar buku murah. Seriously, tertarik beli karena dua hal. Pertama karena gambar covernya.
Kedua karena tulisan ‘World Classic’
di covernya. Nggak nyangka aja ternyata penulisnya adalah seorang Sastrawan
Belanda. *keplak Fia*
I have
no idea what this novel about.
Setelah membaca
beberapa halaman, gambaran awal yang muncul di otak adalah kisah tentang
persahabatan dua anak yang berasal dari ras dan strata social berbeda. Eropa
dan pribumi.
Semakin kebelakang, ada yang lain ternyata.
Novel ini tidak
bertutur sebatas tentang kisah persahabatan tokoh ‘Aku’ dan Oeroeg, yang
dianggap sebagai sahabat bahkan pelengkap kehidupan ‘Aku’. It’s more than that. Novel ini menyiratkan kisah perubahan-perubahan
kehidupan yang dialami si dua tokoh, kemampuan menyikapi perbedaan asal-usul,
hingga pencarian jati diri. Pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul dalam
pikiran tokoh ‘Aku’ terhadap Oeroeg maupun keadaan sekitar terkadang membuat
kita lupa bahwa sebenarnya ‘Aku’ terhitung masih belia secara usia.
Pembaca akan sampai
pada bagian di mana perubahan yang terjadi dalam diri dua tokoh penting ini digambarkan
dengan kuat. Sedikit dari bagian favoritku, di halaman 81-83, tertulis:
Kali ini Oeroeg dan aku menyadari dengan semacam perasaan kecewa yang mengejutkan bahwa mandi di sungai tidak lagi kami nikmati sepenuhnya. Mungkin ini agak berlebihan. Sebaiknya mungkin aku mengatakan ini: berenang ketika itu – dan sejak saat itu—tidak lebih dari sekedar membenamkan diri di air demi mencari kesegaran, tindakan yang timbul akibat kebutuhan mendinginkan tubuh. Begitu keinginan itu terpenuhi, sebetulnya tidak ada lagi alasan bagi kami berdua untuk tetap berada di air. Kendati kami berdua memang menyadari hal ini, kami tetap bermain air agak lama, karena kebiasaan, dan mungkin juga karena rasa malu terhadap satu sama lain. Perbedaannya adalah, kami memnadang berenang, sungai, aliran sungai yang berkelap-kelip dengan mata yang berbeda, dengan mata yang tak lagi bisa melihat dunia nyata sebagai dunia ajaib. ...
... Sesuatu telah berlalu. Kami bukan lagi anak-anak.
Sampai ke ujung
buku ini, aku sedikit terkejut karena esensi nasionalisme Indonesia dimunculkan
di akhir cerita. Bedanya, kali ini diceritakan oleh sudut pandang orang
Belanda.
Tweet |
0 komentar:
Post a Comment