Judul : The Silkworm: Ulat Sutra
Pengarang : Robert Galbraith
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2014
Halaman : 536
Pengarang : Robert Galbraith
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2014
Halaman : 536
Rating : 4 of 5 stars
Tiada kecemasan yang tidak berkesudahan melebihi pikiran-pikiran manusia sendiri. – hlm. 35
Alhamdulillah,
buku bantal kedua di 2015. 536 halaman.
Entah
kenapa aku lebih suka buku kedua ini daripada Cuckoo’s Calling. Mungkin karena
kasusnya lebih menarik. Dan mungkin karena modal minjem temen kantor, juga
nggak berekspektasi lebih setelah agak kecewa di buku pertama.
Setelah
terkenal dengan kasus Lula Laundry, jasa detektif partikelir Cormoran Strike
berkembang pesat. Strike mendapat banyak
klien setelahnya, meskipun pada umumnya adalah kasus-kasus keluarga dan harta
kekayaan.
Di The Silkworm, Strike masih memecahkan kasus
pembunuhan, meski nggak straight to the point.
Awalnya Strike hanya diminta eh, dibayar untuk menemukan suami yang
hilang karena ngambek buku yang dia tulis yaitu Bombyx Mori (nama latin dari Ulat Sutra) batal diterbikan. Agak aneh
sebenarnya, karena sang istri yang menyewa jasa Strike tidak terlihat cemas
sama sekali. Bahkan sampai cerita berakhir berakhir beberapa tindakannya tidak
menunjukkan ekspresi seperti orang pada umumnya berekasi. Seringnya Leonora
terlihat santai dan tenang. Setelah pencarian beberapa hari ternyata Owen Quine,
penulis Bombyx Mori ditemukan terbunuh menggenaskan di rumah kosong milik Quine
dan temannya.
Dengan
latar industri penerbitan buku, tokoh yang dimunculkan dalam The Silkworm agak
lebih banyak dari Cuckoo’s Caliing. Beberapa penulis, editor, dengan jalan
pikiran dan karakteristik masing-masing mewarnai novel ini dalam ulasannya tentang
Bombyx Mori sehingga jauh dari kesan monoton. Well, mungkin karena aku memang suka dunia kepenulisan dan
penerbitan buku aja kali.
Ya, ada orang yang diijinkan masuk oleh Penulis dalam hatinya. Tapi dalam Bukunya? Itu special. Itu beda. – hlm. 85
Lagi-lagi
tidak seperti buku pertama yang menurutku agak membosankan. Strike juga
diceritakan mengalami konflik batin dalam hubungan cintanya. Seperti bagaimana
dia memulai berhubungan dengan orang baru, sampai tentang Strike bereaksi
ketika mengetahui mantan kekasihnya akan segera menikah. Calon suami Robin,
Matthew, juga lebih banyak diceritakan dengan konflik yang menarik. And I love
how Strike and Robin built their relation. Cerita-cerita seperti ini buatku menjadi sedikit
angin segar setelah membaca bagian-bagian tentang penyelidikan yang memang agak
rumit.
Satu
kesamaan dengan novel sebelumnya buatku adalah masih tidak bisa menebak siapa
pembunuh sebelumnya. Maybe this is the
point I like the most. Yaa...tapi tetap aja sih aku masih terganggu dengan transletnya.
Tweet |
0 komentar:
Post a Comment