Judul: I Love I Hate I
Miss My Sister
Pengarang: Amelie Sarn
Penerbit: Delacorta
Press
Tahun Terbit: Agustus
2014
Halaman: 152
Rating: 4 of 5
“Carefree.”
What a strange word.
Sepertinya
menjadi kalimat yang sering diulang di awal buku ini. Memang karena di sana
letak perbedaan yang mencolok antara dua kakak beradik, Sohane dan Djelila, keluarga
Muslim Algeria yang tinggal di Prancis. Djelila, adik perempuan Sohane
digambarkan sebagai sosok dengan karakter lebih ceria dan lebih cantik juga. Sohane
digambarkan lebih cerdas namun cenderung tertutup.
Beberapa
konflik mulai muncul ketika Sohane memutuskan untuk menggunakan head scarf, not veil, fyi. I don’t want to be ashamed of being Muslim
and of practicing my religion, gitu sih kata Sohane. Di sisi lain, Djelila
malah tampil dengan lebih fashionable,
rambut diwanarnai, bahkan mengakui kalau dia suka minum. Back to topic, sayangnya, peraturan sekolah melarang keras murid
mengenakan hal-hal yang ada hubungannya dengan atribut keagamaan. Yaa…Prancis
lah namanya. Sensitif untuk urusan beginian. Sohane sontak menjadi the most-popular student, mengalahkan
popularitas adeknya. Haks. Tapi
hebatnya, ketika teman-teman lain memandang aneh pada Sohane, Djelila justru
tampil sebagai guardian angel.
Puncak
konflik ketika Sohane yang telah memutuskan untuk mengambil kelas belajar di
rumah, meminta izin kepada Ibunya untuk berjalan-jalan keluar rumah. Ketika itu
ia seperti mendengar suara anjing melolong kesakitan. In fact, itu adalah suara Djelila yang sedang terbakar, -dibakar,
tepatnya oleh Majid, teman sekolah Djelila-
I don’t want to live in fear. I don’t want my choice to be dictated by fear. I don’t want to be what others have decided I should be. I want to be myself. – pg.131
Singkat dan tragis.
Buku
ini tergolong tipis dan untungnya berbahasa Inggris yang cukup mudah dimengerti
tanpa harus membuka translator. Makanya aku bisa namatin bacanya selama
perjalanan udara CGK-PDG. Menohok, karena ceritanya nggak berbelit-belit. Klimaks
dan penyelesaian langsung diceritakan di bagian akhir. Berhasil bikin perasaan
jadi campur aduk deh. Mungkin karena substansi ceritanya juga keren.
Menurutku
jalan ceritanya cukup seimbang. Menggunakan sudut pandang orang pertama dari
sisi Sohane, menggiring pembaca menjadikan Sohane sebagai tokoh utama. Namun,
kejadian Djelila sebagai puncak konflik juga menguras fokus. Bikin shock, sesak
nafas, kaget sumpah. Makanya jadi balance. *ketauan anak akuntansi*
Oya,
menjelang akhir cerita, there’s one thing
that impress me.
Setelah
kejadian dibakarnya Djelila hidup-hidup, diadakan semacam diskusi tentang
kematiannya. Sohane yang tidak sengaja membaca pengumuman itu dari sebuah
poster memutuskan untuk datang dan melihat. Ketika Sohane datang terlambat
dan duduk, semua peserta diskusi mendadak diam dan memandang ke Djelila. Ia sempat
ge-er dan beranggapan orang-orang pada tau siapa dirinya. Eh, taunya, dia malah
disuruh keluar ruangan.
You
don’t belong here. Our group fights for the liberty of women, for the defense
of their free will. You disavow these values by accepting to wear the veil –
pg. 140
Jleb.
Banget. Kan.
Sebenarnya
sih aku heran. Ya kalau menjunjung tinggi kebebasan, mestinya disana
boleh-boleh aja donk kalau mau pakai veil. Gitu.
Oya, cerita ini based on true story, lho.
Tweet |
2 komentar:
pinjem dong kaaaaaak
Huahahahahanggak :p
Post a Comment