Judul: Pulang
Pengarang: Leila S.
Chudori
Penerbit: Kepustakaan
Populer Gramedia (KPG)
Tahun Terbit: 2014
Cetakan: Keenam,
Februari 2015
Halaman: 461
Rating: 4 of 5
C’est la vie et l’histoire de la vie – hal. 257
Setelah
hampir setahun buku ini dianggurin, bahkan direlain untuk dibaca duluan sama
beberapa adek komisariat karena mereka dirasa perlu membaca buku seperti ini.
Entah mana yang aku beli duluan, Amba atau buku ini, aku nggak inget. Yang penting
keduanya sama-sama bercerita tentang pergolakan Indonesia tahun 1965. Meskipun bagi
aku, Pulang terasa lebih kental dan ‘berisi’.
Saya percaya Allah memberi rizki kepada saya dengan menyisakan speetak ruang kecil di hati hamba-Nya. Dalam sepetak ruang suwung, sebuah gelembung kekosongan, yang hanya diisi antara saya dan Dia, di sinilah saya selalu mencoba memahami apa yang terjadi – hal 34
Adalah
Dimas Suryo, seorang eksil yang terpaksa tinggal di Paris. Bersama Nugroho,
Tjai, dan Risjaf, mereka bukan hanya tidak bisa pulang, tapi juga tidak lepas
dari pengamatan intel. Dimas adalah gambaran generasi pertama yang berhubungan
langsung dengan peristiwa perburuan 30 September 1965. Meskipun dari yang aku
tangkap, Dimas sebenarnya nggak murni ‘kiri’ hanya karena dia sangat dekat
degan Hananto. Toh dia juga sering berdiskusi dengan bang Amir tentang agama
dan spiritualitas. Tapi kala itu memang begitu kan. Orang-orang dekat juga
menjadi incaran. Well, kisah ini
berlanjut hingga Mei 1998, ketika Lintang Utara, anak Dimas dengan Vivienne Deveraux,
harus mengerjakan tugas akhir berupa film dokumenter tentang sejarah Indonesia yang
juga berkaitan dengan masa lalu ayahnya.
Kalau
sebagian pembaca menyukaai the part of
romance in this book, aku malah lebih merhatiin tentang aktivitas memasak
di Restoran Tanah Air yang banyak menyebutkan bumbu dapur, bau kunyit dan
cengkeh, serta resep ikan pindang yang emang sih nggak terlalu dijelasin. Hal itu
yang termasuk bikin aku betah bacanya kali ya. Mungkin naluri emak-emak aku
lagi terpanggil.
Hal
lain yang bikin aku terpesona adalah ketika Leila membuat tokoh-tokoh dalam novelnya
terkesan cerdas karena banyak membaca karya sastra tidak hanya Indonesia, tapi
juga dunia. Potongan-potongan puisi yang diselipkan bikin novel ‘kelam’ ini
menjadi lebih berwarna.
Meskipun
berlatar tentang politik dan peristiwa bersejarah di Indonesia, novel ini tidak
lantas melelahkan pembacanya. Tutur bahasanya sederhana dan berhasil bikin aku
terbawa dengan santai dalam buku yang sebenarnya cukup membuat ‘berpikir’. Leila
tidak hanya memberikan cerita tapi juga wawasan. Hubungan antar tokoh juga kuat
dan saling mengisi. Aku juga suka little
question ending, antara Alam atau Nara.
Pulang, seperti
mengajak pembacanya mendefinisi kata itu sendiri.
Pentingkah kita mencari akar jika sudah menjadi sebatang pohon yang kokoh? – hal. 153