Judul : Arok Dedes
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tahun : 2009
Halaman : 561
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tahun : 2009
Halaman : 561
Rating: 3 of 5 stars
Berpendapat tanpa berpengetahuan, hukuman mati bagi seorang calon brahmana – hal 63
Another
Pram’s!
Aku
baru tau kalau Arok Dedes juga merupakan tetralogi. Rangkaian berikutnya adalah
Mata Pusaran, Arus Balik, dan Mangir, Dikenal dengan Tetralogi Arok Dedes.
Dan
setiap membacanya aku selalu harus keluar tidak hanya dari cara-cara membaca
yang biasa tapi juga berpikir yang biasa. Apalagi untuk membaca Arok Dedes. Roman
yang berkisah tentang sosok yang kita kenal melalui mata pelajaran sejarah,
yaitu Ken Arok, Ken Dedes, Tunggul Ametung, Empu Gandring, dan teman-temannya,
disajikan berbeda. Aku harus keluar dari apa yang aku lupa-lupa ingat pada
yang pernah diterima dari guru-guru masa sekolah dulu. Membaca Arok Dedes, aku
mencoba menjadi sosok awam yang menikmati penuturan Pram tanpa ada tendensi
apa-apa.
Bagi
kamu penikmat sejarah, mungkin bacaan ini cocok.
Meski
sayangnya aku kecewa.
Novel
ini berbeda dari yang aku bayangkan sebelumnya. Beberapa teman merekomendasikan
karena katanya penokohan perempuan di Arok Dedes lebih kuat daripada
perempuan-perempuan lain yang dimunculkan di Tetralogi Buru. Sayangnya, menurut
pandangan subjektif aku sih penggambaran karakter Dedes, seorang brahmani cantik,
pintar, dan bijaksana, tidak sekuat sosok Nyai Ontosoroh pada Bumi Manusia. Kenapa?
Wajar saja Dedes seperti itu, karena dia memang berasal dari kasta brahmana,
memang begitu dia seharusnya. Namun, bagaimana Dedes kemudian bersekongkol
untuk menjatuhkan suaminya sendiri yang ia benci, toh tidak lepas dari
kehadiran Arok. Hal ini berbeda dengan bagaiman Pram membangun karakter tokoh
Nyai Ontosoroh. Gitu sih...
Memang
sih, tema tentang perempuan yang selalu turut andil dalam hal-hal strategis kayak
begini jarang yang nggak seru. Ini pun menjadi warna yang dominan dalam Arok
Dedes. Bahkan juga ada Umang, perempuan sudra dengan perlengkapan perang yang
menghiasi dirinya, sedangkan Dedes berkilauan perhiasan emas dan intan. Endingnya
seru dan menggelitik naluri, apalagi ketika Dedes merasa tidak siap untuk
dipoligami tapi mau bagaimana lagi. Don’t
make any guess, read the book first!
Barangsiapa tidak tahu kekuatan dirinya, dia tidak tahu kelemahan dirinya. Barangsiapa tidak tahu kedua-duanya, dia pusing dalam ketidaktahuannya. – hal. 212
Seru?
Buat aku, novel Pram yang ini standar deh.
Bagian
yang seru buatku hanyalah bagaimana tokoh-tokoh di novel ini berpolitik. Tentang
bagaimana strategi itu dibangun dalam hal-hal yang tidak terduga bikin aku berimajinasi
dalam setiap intrik yang muncul.
Rumit
dan bikin bingung. Apalagi banyak istilah-istilah yang aku ga paham maknanya. Atau
aku lagi bego pas bacanya ya..jadi banyak yang nggak ngertinya. Salah sendiri
sih, baca buku ini di moment-moment closing
alias tutup buku di kantor.
Ia memerlukan keadilan, ia harus belajar mengenalnya dengan seluruh tubuh dan jiwanya, bukan hanya suara hampa untuk bunga bibir dan bunga hati juga untukmu sendiri, juga untukku sendiri. Juga untuk kita semua. Setiap orang. – hal. 352
Tweet |
0 komentar:
Post a Comment