Judul : Jejak Langkah
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tahun : 2007
Halaman : 724
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tahun : 2007
Halaman : 724
Rating : 5 of 5
Yang lain-lain akan datang dengan sendirinya. Semua membutuhkan permulaan. – hal 319
Finally
Jejak Langkah is done.
Begitulah
aku memulai tulisan ini. Siapa sih yang meragukan kepiawaian Pram dalam membuat
pembaca Tetralogi Buru hanyut dalam emosi dan pikiran masing-masing? I will not tell you about the way he
describes the stories, the twist, the character that he creates, or anything, not
at all. Seperti dalam dua novel pendahulunya Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, selalu ada rasa yang
tertinggal di endingnya. Seperti ada ketidakrelaan buat nutup buku ini sambil
nyeletuk, “udah abis aja? I want more!”.
Nggak,
aku nggak melebih-lebihkan.
Like what I said in every review
I’ve made; Silakan baca sendiri.
Anakkku sudah jadi pujangga. Sekarang hendak jadi dalang pula. Setelah itu kau hendak jadi apa lagi? Hal. 85
Jangan jadi dalang tiada cerita. Tanpa anakwayang pun dalang masih bisa, tapi tanpa cerita...anakwayang pun dia sendiri tidak. – hal 450
Menikmati
Jejak Langkah memang sedikit berbeda dengan dua buku sebelumnya. Jejak Langkah
terkesan lebih ‘serius’ karena mengingatkan aku dengan pelajaran sejarah jaman
dulu kala. Beberapa tokoh yang berperan dalam awal pergerakan nasional kerap
disebut-sebut. Contohnya Bung Tomo, Abdoel Moeis, Gadis Jepara a.k.a R.A
Kartini. Proses lahir dan berkembangnya Budi Utomo, Syarikat Priyayi, dan
Syarikat Dagang Islam sebagai generasi pertama organisasi pergerakan pribumi di
Hindia menjadi poin penting dalam menggugah kesadaran berbangsa.
Let me give my very subjective
point of view, karena belom baca yang keempat ya;
Jejak Langkah sepertinya menjadi novel yang lebih ‘kaya’ dibandingkan yang
lain. Tidak hanya tentang kehidupan sosial bermasyarakat Minke, yang berasal
dari golongan pribumi, ataupun kehidupan asmaranya yang mulai menunjukkan
keseriusan dalam merancang masa depan karena mulai memikirkan untuk memiliki
anak sebagai penerus jejak langkah yang telah ia tempuh, tapi karena beberapa fakta
sejarah berhasil dipadukan dalam sebuah fiksi.
Semangat
nasionalisme menjadi potongan-potongan yang paling menarik. Bagaimana seorang Minke, yang pada zaman itu sudah mampu menjadi sosok yang visioner,
bahwa berorganisasi saja tidak cukup kalau masih bersifat kedaerahan.
Jangan anggap rendah bangsa-bangsa lain. Jawa kita ini hanya satu titik kecil di tengah-tengan samudra, Bunda. Setiap bangsa juga punya kebesarannya. – hal 632
Oiya,
potongan-potongan kisah pergerakan dalam novel ini bisa menjadi referensi yang
menarik dalam penyampaian materi-materi terkait kemahasiswaan dan organisasi,
apalagi kalau pesertanya adalah mahasiswa yang baru-baru belajar untuk aktif
berorganisasi.
Berorganisasi sebagai permulaan, belajar berorganisasi secara modern, melalui praktek langsung. – hal. 196
Perjuangan di jaman modern membutuhkan cara-cara yang modern pula: berorganisasi. – hal 255
Dan hanya dengan organisasi, Tuan, golongan lemah bisa menunjukkan kekuatan diri sebenarnya. – hal 396
Well,
mungkin bagi beberapa orang buku ini bakalan bikin cepat bosan karena sifatnya
yang padat sejarah. Paling tebel juga.
Ah, anakku, kan sudah berkali-kali kukatakan: belajarlah berterimakasih, belajarlah bersyukur, anakku. Kau, aku, berlatihlah mulai sekarang, Nak, berterimakasihlah, dapatkan pada segala yang ada padamu, yang kau dapatkan dan kau dapat berikan. – hal. 75
Tak ada satria lahir, tumbuh perkasa tanpa ujian. – hal 201
Bila akar dan batang sudah cukup kuat dan dewasa, dia akan dikuatkan oleh taufan dan badai. – hal 360