Judul : Norwegian Wood
Penulis: Haruki Murakami
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Halaman : 426 halaman
Cetakan Keempat: Mei 2013
ISBN: 9789799105639
Terinspirasi
dari salah satu tumpukan buku yang ada pada banner
#100DaysofAsianReadsChallenge, aku rela meminjam buku ini dari seseorang yang
sama penasarannya denganku terhadap Haruki Murakami. Thanks a bunch, you J
Kalau kita membaca buku yang sama dengan orang lain, kita cuma bisa berpikir seperti orang lain.
Kalimat
yang mungkin terdengar familiar itu ternyata berasal dari buku Norwegian Wood.
Sayang, aku lupa nyatet di halaman berapa. Tapi ya begitulah, pertama kali membaca
karya Haruki Murakami, sama dengan membuka satu lagi jendela di otakku. Norwegian
Wood adalah novel yang katanya ‘tepat’ bagi
siapapun yang ingin memulai membaca karya-karya Haruki Murakami. Mungkin
karena ini adalah novel yang realistis, tidak seperti novel lainnya (p.s: 1Q84
adalah salah satu yang masih menumpuk di kamar dan masih berplastik).
Berlatar
di tahun 1969, Murakami bercerita tentang kehidupan Toru Watanabe dalam perubahan
budaya Jepang. Sepertinya Haruki Murakami penyuka musik dan literature barat,
karena banyak referensi lagu-lagu dan literature yang oke, sampai aku rela buat
bikin notes untuk kemudian dicari tau. Contohnya aja judul novel ini, yang ternyata
adalah judul lagunya Beatles, which is,
aku juga baru tau.
Selama
membacanya, aku terbawa dalam alur mundur yang santai, tidak terburu-buru, jalan
ceritanya nggak gampang ketebak, dan yang paling penting adalah ada kesan yang ‘tidak
biasa’ di akhir-akhir bagian. Mungkin karena berkahir dengan question ending kali ya. Apalagi pada Naoko
dan Midori, dua perempuan unik (bahkan semua perempuan di buku ini punya
karakter yang unik, atau aneh?) yang menghuni sebagian besar hati Toru.
Ini
kisah cinta? Iya,
Antara
Toru dengan Naoko.
Antara
Midori dengan Toru.
Antara
Naoko dengan Kizuki.
Juga
Nagasawa dengan Hatsumi dan perempuan lainnya.
Bahkan
cenderung mengarah ke perbuatan seks bebas. Nggak hanya itu, ada satu bagian
yang menceritakan tentang disorientasi seksual, the-so-ewww-part-of-this-book, salah satu tokoh perempuannya
(yang tadi aku bilang unik) juga cerita tentang hubungan tante-tante sama
brondong, haha. Buat aku pribadi sih nggak masalah dengan hal ini karena imho, nggak vulgar kok. Bagi yang biasa membaca karya Eka
Kurniawan, NH Dini (di beberapa judul), Gitanyali, de el el, it’ll really doesn’t matter. Hanya saja
buat siapapun yang tidak biasa, mungkin akan terganggu dengan pendeskripsian
yang yaaa...bisa dibilang terang-terangan.
Apa
hikmah dibalik novel ini? I don’t know. I
just can’t describe it. Sepanjang cerita, aku hanya larut kedalam detail
emosi tokoh-tokohnya: kesepian, keheranan, kemudian terombang-ambing dalam
kebingungan karena masalahnya nggak selesai. Lalu bunuh diri. Haha,..nggak lah.
Cukup beberapa tokoh di buku saja yang harakiri,
kita nggak usah.
Yang paling penting adalah tidak tergesa-gesa. Meskipun persoalannya sedang kusut berbelit-belit dan sulit ditangani, kamu tidak boleh putus asa dan memaksakan diri untuk meluruskannya secara paksa dengan amarah. Kamu harus punya tekad untuk menyelesaikannya secara perlahan, urai satu demi satu. – Hal. 171
Setelahnya, aku
langsung buka youtube buat dengar
lagu Norwegiaan Wood. Di bagian terakhir
liriknya:
And when I awoke I
was alone, this bird had flown
So, I lit a fire,isn’t
it good, Norwegian Wood?
Dan entah kenapa sensasinya sama dengan saat membaca
novel ini. Or maybe it’s just me.
Jangan mempercayai orang yang mengatakan bahwa dirinya orang biasa-biasa saja – Hal. 164
P.S: Jadi pengen
nonton filmnya.
Tweet |
3 komentar:
Yang main filmnya Matsuyama Kenichi... *salah fokus*
penasaran sma bukunya, apalagi ceritanya cenderung realis. Konten vulgarnya masih bisa ditoleransi ya, Kak?
@Ami: amii....kak mau donk filmnya..nanti klo kopdar ami ikut yaa.. konten vulgarnya..emm..gmn yaa..buat kak sih ya masih okelah, nggak bikin jijik..hehehe..
Good novel nih kaka. Tapi kalo menurut aku yah, pilemnya tuh kurang greget lho. Jauh dari novelnya.
Post a Comment