|
Foto Papan Petunjuk ini diambil pas pulang dan saat itu udah mendung |
Sepertinya
tidak banyak orang yang mengenal nama Puncak Pato, termasuk teman-temanku yang
juga orang Sumatra Barat. Buktinya, ketika aku seketika mengganti display picture BBM, banyak yang
mengirim pesan yang sama: Ini dimana?. Dan ternyata pertanyaan tidak terhenti
disana, karena berikutnya sebagian besar dari mereka menginginkan jawaban yang lebih
detail tentang lokasi ini.
Disaat orang-orang sedang memboomingkan beberapa spot wisata pantai atau pulau di Sumatra Barat, aku memilih jalan-jalan kesini lebih dulu, biar nggak kena efek rame karena orang pasti berbondong-bondong ke daerah yang lagi sering disebut-sebut.
Puncak
pato sebagai tempat wisata memang tidak setenar Puncak Lawang di Agam atau tempat-tempat
lain di daerahnya, seperti Tabek Patah yang sekarang terkenal dengan home industry Kiniko atau Istano Basa
Pagaruyung. Mungkin karena keduanya terletak di pusat pariwisata sehingga
gampang untuk dikunjungi. Sedangkan untuk menuju Puncak Pato masih harus
menempuh 17 km lagi dari Batusangkar dengan kondisi jalan yang menanjak dan tentunya
belok-belok ke daerah bernama Lintau Buo. Berada tepatnya di Nagari (desa
kecil) Batu Bulek, Puncak Pato sebenarnya bukan hanya untuk wisata alam tapi
juga objek wisata sejarah.
|
Pohon Pinus |
Untuk masuk kesana, kita mesti membayar Rp 4.500,-
per orang. Setelah itu kita mesti berjalan menuju puncak, ada dua jalur kiri
dan kanan. Terserah mau lewat mana duluan. Ya.., namanya juga puncak bukit, spotnya
memang bisa buat ngider dan ujung-ujungnya akan balik ketempat semula.
Aku
memilih jalan kanan duluan. Kalau lewat tangga ini, di sisi kiri adalah hutan
pinus, dan sisi kanan adalah pemandangan daerah Sungayang.
|
Pemandangan dari Atas Puncak Pato |
|
Keliatan banyak puncak bukit-bukit lain |
Yang
menjadi main-spot Puncak Pato adalah
Monumen Perjanjian Sumpah Satiah Bukit Marapalam. Ada yang bilang mestinya Sumpah
Satie atau Sati, karena katanya Satie/Sati itu artinya sakti. Bunyi sumpah itu
adalah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Masih inget donk,
pertentangan antara Kaum Adat dengan Kaum Agama yang menjadi pemicu terjadinya
Perang Paderi? Nah, ‘sumpah’ tersebut ternyata hasil dari kesepakatan tiga unsur
kepemimpinan di Minangkabau yang terkenal dengan Tigo Tungku Sajarangan, bahwa
antara adat dengan agamas ebenarnya tidaklah bertentangan. Adat itu mesti berdasarkan
Syarak/Agama, dan Agama berdasarkan Kitabullah (Alqur’an). Maka dibangunlah
tiga buah patung yang melambangkan sosok Cadiak Pandai (intelektual), Niniak
Mamak (sosial masyarakat) dan Alim Ulama (agama).
|
main spot |
Kesepakatan ini terjadi di bukit Marapalam yang
merupakan bukit tertinggi Kabupaten Tanah Datar. Marapalam berasal dari kata ‘Merapatkan
Alam’, yang mengandung makna untuk merapatkan tiga Luhak yang ada di
Minangkabau: Luhak Agam, Luhak Tanah Datar, dan Luhak Limo Puluah Koto. Apa itu
Luhak kayaknya nggak usah dijelasin disini ya. Nanti kepanjangan jadinya -_-“.
Bener kan, jadi inget masa-masabelajar BAM alias Budaya Alam Minangkabau pas sekolah
dulu. Nah, puncak bukit tertinggi ini dinamakan Puncak Pato, yang katanya pato
itu berarti pakta alias perjanjian.
Yang
namanya puncak otomatis udaranya sejuk. Hanya saja..banyak kekurangan yang aku
temui disini. Mulai dari kamar mandi yang nggak ada (ada sih, setelah pintu mauk,
tapi kondisinya kotor banget, dengan rumput tinggi dan bikin ogah buat masuk),
tempat shalat yang nggak ada, dan tidak terawat.
Padahal,
sebelum kesini, aku udah googling via
google maps karena nggak tau jalan
dan buka beberapa situs media lokal dan blog pribadi, aku terpesona dengan pemandangannya yang bagus.
Tapi ternyata, pemandangan bagus ini nggak didukung dengan fasilitas yang
cukup. Bahkan sebuah bangunan dekat monument penuh dengan coret-coretan dan
menimbulkan efek ‘peninggalan sejarah’ tersendiri. Bikin nggak nyaman buat
berfoto disana deh jadinya.
|
bangunan ini udah penuh dengan coretan |
Hal
berbeda lainnya adalah warung yang katanya ada justru nggak aku temuin. Untung banget
udah makan siang ketika masih di daerah Sungayang (p.s: ada warung nasi enak di
Sungayang. Lokasinya sebelah kiri jalan di daerah pasar). Jadi kalau mau kesana
pas nggak moment liburan, lebih baik bawa air minum dan cemilan sendiri aja
deh. Mungkin adanya warung hanya di hari libur panjang atau lebaran aja kali
ya, pas pengunjung lagi rame. Memang sih, pas aku kesana suasananya tidak
terlalu ramai. Sebagian besar pengunjung adalah anak-anak masih berbaju sekolah
yang nggak langsung pulang, beberapa keluarga dan of course...couple(s).
|
Nggak apa-apa foto sendiri, yang penting gaya :D |
|
Nambah satu, Bundo Kanduang. Tapi sayang, nggak pake rok atau baju kurung. Posenya gitu pula -_-" |
|
nggak lengkap kalo nggak selfie |
|
di arah kebawah sana, banyak pohon tebu |
|
Jalan Pulang |
Then, who’s to blame atas
ketidaknyamanan ini? Pemerintah? Kasian
ya pemerintah disalahin terus karena nggak ngurusin tempat wisata bagus plus
bersejarah kayak gini. Pengennya tentu penduduk setempat atau paling tidak,
pengunjung juga ikut membantu dengan nggak nambah masalah, kayak yang nyoret-nyoret
gitu.
Mudah-mudahan suatu
saat kesini lagi, tempat ini bisa lebih terawat dan lebih ‘dijual’ ke masyarakat
luas.
|
Jalan Pulang dari Puncak Pato |
Pas pulang ke Padang, aku mengambil jalan ke Padang via Solok. Berharap bisa mampir ke Danau Singkarak, eh malah keburu hujan pas disana.
|
Perjalanan Pulang ke Padang |
|
Jl. Raya Batusangkar-Solok |
|
Pemandangan dari rumah makan pinggir jalan menuju Singkarak |
|
berasa pengen nyemplung |
Notes of April, 4th 2015.
3 komentar:
Aku belom pernah ke Puncak Patooo.. Selama ini ngarepnya selalu ke Sikuai en Pasumpahan mulu.. Masukin ke list ah :D
Fix, masukin "Puncak Pato" dalam list perjalanan berikutnya :D
Ijin buat referensi min
Post a Comment