Merupakan
buku kedua dari Trilogi Warna. Setelah di buku pertama, Warna Tanah, tokoh Ehwa
pada Warna Air telah beranjak remaja. Kendati Ehwa menjadi lebih banyak
bercerita kepada Ibu, tapi ia mulai memiliki rahasia, seperti layaknya gadis
remaja. Tentang cinta, sosok lawan jenis yang mulai disuka, dan
respon-responnya terhadap perasaan yang menyelimuti hatinya.
Masih
memakai ‘bunga’ sebagai analogi dalam setiap perubahan psikologis yang terjadi
pada diri Ehwa dan masih dengan gaya bahasa yang menyentuh, Kim Dong Hwa lebih
berkisah mengenai bagaimana anak gadis di mata seorang Ibu. Dibuktikan dengan
beberapa percakapannya dengan Ehwa yang sarat pesan, seperti (lupa cek halaman
berapa):
Seorang anak sangat berharga, namun rapuh. Seorang ibu tidak akan membiarkan anaknya tidur di atas lantai yang kasar, makan buah yang bentuknya tidak sempurna, mengenakan pakaian compang-camping, atau menelan makanan yang sulit dikunyah. Begitulah hati seorang Ibu. (hlm. 166)
Jalan seorang wanita berbatu, dan jikalau kau tidak hati-hati, kau akan tersandung dan jatuh dan pincang sepanjang hidupmu. Hidupmu akan sulit dan selamanya kau akan jadi bahan tertawaan dan diasingkan.... Itulah sebabnya para Ibu sangat mencemaskan putri mereka, entah putri mereka berada di luar atau di dalam rumah.
Sesuai
dengan usianya, Ehwa pun mulai merasakan yang namanya jatuh hati. Perasaan yang
lebih kuat daripada ketika dirinya menyukai si Biksu dan si Pelajar. Kini Ehwa
mulai menyukai sosok pria yang lebih dewasa. Dalam moment-moment inlah Ehwa dan
Ibu sering membicarakan tentang cinta:
Namun, putriku sayang, meskipun cinta yang di mata bagaikan petir, cinta di hati adalah seperti perapian. Dan sebuah perapian adalah api yang terus menyala sepanjang malam. (hlm. 52)
Hati seorang perempuan benar-benar aneh. Ada saat-saat kita mendambakan perapian tempat kita bisa menghangatkan hati sepanjang malam. Jika tidak memeliki perapian, kita pun mengeluh. Tapi kita mencari penghiburan lewat kehadiran keluarga dan teman-teman. Meskipun begitu, kita mendambakan perapian berkobar-kobar yang dapat kita jaga sepanjang malam. (hlm. 53)
Tidak seperti bunga, manuisa –entah kaya atau miskin,cantik atau tidak—menilai tinggi diri mereka dan menghabiskan waktu dengan meributkan hal itu. mereka berusaha keras untuk menjadi yang pertama mekar, meskipun mereka belum siap.
Konflik
yang dimunculkan dalam buku Warna Air juga lebih kompleks. Apalagi konflik ini
terus berlanjut sampai ke penghujung cerita. Dan seperti biasa, bikin
penasaran!
Yah, berarti mesti
segera cari buku ketiganya, Warna Langit.
Tweet |
2 komentar:
Jadi penasarann..
selama ini nggak kepikiran baca buku ini. soalnya terkesan agak berat hehe
nggak kok aul...malah kayak baca komik -__-" baca giiih...pengen tau juga menurut aul gmn..
Post a Comment