Mungkin
begini jadinya jika seorang penyair menulis cerita. Trilogi Seokram, adalah
hasil cetak ulang tiga buah cerita yang akhirnya digabung menjadi satu buah
buku.
Bercerita
tentang Soekram, tokoh karangan atau rekaan yang protes kepada pengarangnya. Soekram
mempertanyakan, kenapa ia tidak bisa menentukan sendiri jalan ceritanya. Aplagi
ketika ia tau bahwa pengarangnya telah mati. Mau dibawa kemana kelanjutan
kisahnya.
Dari
tiga cerita itu yang berhasil aku mengerti hanyalah cerita pertama. Semakin
kebelakang aku makin bingung. I swear.
Aku
nggak bisa menangkap makna cerita kedua.
Untuk
cerita ketiga, bagiku ini lucu. Karena Soekram ‘disatukan’ dengan Siti Nurbaya,
Datuk Maringgih (atau Datuk Meringgih?), Hanafi, Samsul, Kartini, Semar, Darma,
Sena, dan Parta dalam satu cerita. Bahkan Marah, nama ‘pencipta’ Siti Nurbaya,
disebut-sebut dan sempat membuat Soekram bingung. Namanya juga cerita, jadi
semua terserah pengarang donk ya.
For me,
pada akhirnya buku ini jadi sebuah hiburan tersendiri aja sih.
Udah,
segitu aja tentang cerita Soekram.
Tapi
sebelumnya, ada dua kalimat yang mau aku kutip dari bagian pertama, Pengarang
Telah Mati:
Langit memang suka aneh. Ia sayang pada penghujan, tetapi juga pada kemarau. Hal – 65
Satu lagi:
Ucapkan terima kasih kepada jalan, meskipun tidak akan pernah membawa ke suatu tujuan yang jelas. Hal – 100
Yang
menarik bagiku bukan hanya kalimatnya Sapardi. Itu udah jelas aja sih. Coba baca
ulang dua kalimat tadi. Keduanya ditulis dalam satu cerita. Aku terkesan dengan
bagaimana Sapardi memuji tidak hanya langit tapi juga bumi. Sapardi menyebut
keduanya. Dan bagiku, itu adil.
Tweet |
0 komentar:
Post a Comment