Berjodoh
dengan Entrok sebenarnya ada kesan yang special. Bukan hanya karena beli dengan
harga cuma Rp 10.000 di Gramedia Obral akhir tahun, tapi juga karena nemu
dengan nggak sengaja di rak buku anak-anak. Aku heran deh sama yang narok
disana.
Entrok.
BH.
Iya,
BeHa a.k.a Kutang a.k.a Bra.
Bukan
ini bukan novel jorok. Nggak ada hubungan yang mendalam malah antara judul
dengan isi keseluruhan cerita. Entrok hanya diceritakan sedikit di permulaan.
Sebuah pengantar yang bagus sebenarnya jika ‘entrok’ dapat dijadikan penyambung
dua generasi. Hal ini menjadi poin ‘sayangnya’ buatku. Sayangnya ‘entrok’ Cuma
sedikit disinggung. Sayangnya ‘entrok’ modern sama sekali tidak disinggung.
Sayangnya, ‘entrok’ menghilang begitu saja.
Menceritakan
dua perempuan dari dua generasi dengan dua sudut pandang, Ibu dan Anak. Entrok
bercerita dari sejak Marni kecil, yang terobsesi ingin memiliki ‘entrok’,
hingga menikah dan memiliki anak, Rahayu.
Marni tumbuh besar dengan kondisi sulit secara
ekonomi. Bahkan membeli ‘entrok’ saja Marni harus rela menjadi kuli angkut di
pasar agar mendapat upah berupa uang. Menutup mata dan telinga dari kepatutan
pada masa itu, dimana perempuan tidak patut, tidak pantas jika menjadi tukang angkut
lebih lagi jika diupah tidak dengan bahan makanan. Marni tidak peduli. Upah duit
yang ia terima kemudian dikembangkan, menjadi penjual kebutuhan sehari bahkan
menjadi penjual duit itu sendiri.
Rahayu,
hidup dengan zaman yang lebih modern. Berkecukupan dan berpendidikan. Namun
disinilah konflik Ibu dan Anak dimulai. Tidak hanya menjadi korban dari ‘cap
sosial’ akibat pekerjaan Ibunya, Rahayu juga sering mengkritisi kebiasaan
sesajen dan bentuk syukur Sang Ibu. Ketidakharmonisan berlanjut hingga akhirnya
Rahayu memilih jalan hidup sendiri
Kenyataan
budaya disuguhkan dengan sisi feminisme yang kental. Kondisi politik saat itu
diceritakan dengan sederhana melalui penggambaran pemilu dari masa ke masa.
Hanya saja memang alurnya jadi terkesan lambat. Mungkin karena benar-benar dari
Marni kecil, sampai masa tuanya.
Aku
sendiri sebenarnya tekecoh. Buku ini tidak seringan yang aku pikir.
Tweet |
0 komentar:
Post a Comment