Burung-burung manyar tidak merebut betina dari rivalnya, tetapi menerima dan menghormati pilihan si betina. Boleh sedih, membongkar, dan menghempaskan sarang yang dibangunnya dengan susah payah, dengan dedikasi sepenuhnya, dengan hati seluruhnya. Tetapi jantan yang tidak dipilih tetap menghormati kedaulatan pemilihan betina...
... .Tetapi sekali lagi inilah kesulitanku. Aku bukan manyar. (hlm. 262)
I must confess: I never seen this Burung Manyar before. Baru setelah baca bukunya langsung googling (terpujilah Google
dengan segala pengetahuan di dalamnya - @deritamahasiswa). Penasaran,
penampakannya kayak gimana, sarangnya seperti apa.
Ternyata butuh
waktu seminggu buat namatin buku yang terbilang tipis ini. Lagi-lagi sebuah roman
sejarah, yang terjadi ketika masa penjajahan Belanda, Jepang, sampai masa
kemerdekaan, memaksa memori megingat kejadian-kejadian sejarah yang pernah
dipelajari waktu SMP (atau SMA?) kemudian mengimajinasikannya. Gaya bahasa Romo
Mangun yang seringnya berfalsafah membuat pembaca berfikir dua kali atau menelusup
dalam untuk mencari maknanya, dan banyak ditemukan di bagian ketiga. Meskipun,
pemaparan seperti inilah yang cenderung tidak membuat bosan *pandangan subjektif*
Lalu apa hubungan
burung manyar dengan tokoh Aku (Teto) dan Atik? Kisah burung manyar baru akan
ditemui di bagian ketiga, di saat Atik sidang untuk mempertahankan tesisnya. Itupun
hanya satu bab. Namun, setiap potongan ceita dari bagian pertama dan kedua merupakan
sebuah pertalian yang membuat analogi burung manyar sebagai kisah cinta Teto
dan Atik menjadi make sense. Well,
baca aja kalimat pembuka tulisan ini.
Aku termasuk orang
yang berharap cinta Atik dan Seta (Teto) akan bersatu. Meski sayang, harapan itu
pupus.
Ah, kalau saja Romo
Mangun mau membuat Teto ‘sedikt’ berjuang untuk Atik, cerita ini nggak akan
berujung tragedi.
Perang tidak bisa dimenangkan dengan emosi. Tetapi perhitungan yang dingin. (hlm. 85)
Aku tidak tahu apakah harus berterima kasih atau mengutuk memori. Ingatan manusia menolong kita belajar mengalami dan membentuk hari depan yang lebih baik, dan kretivitas kita sebagian besar berudik dari sumber-sumber yang hidup; ingatan kita. Bahkan cinta atau benci hanya mungkin bila memori kita hidup. Tetapi justru itulah, segi-segi gelap seperti benci, balas dendam dan bisa juga kekuatan seperti kebimbangan bermunculan. (hlm. 220)