Tidak,
aku tidak jatuh cinta dengannya.
Namanya
Biru.
Dia tidak menggoda. Aku juga tidak tertarik. Aku
bahkan tidak ingat kapan persisnya pertama kali aku bertemu dengannya. Pertemuan
selanjutnya juga tidak ada yang spesial. Hanya senyum tersungging dari wajahnya
kemudian melengah tanpa peduli apakah aku membalas senyumnya atau tidak. Seolah
tahu bahwa aku telah membangun dinding di ruang tak terlihat dan tak ada yang
bisa masuk.
Tapi
di pertemuan entah keberapa, ada sepotong kata terucap.
Masih
dengan senyum manisnya,“Hai.” Kemudian berlalu.
Satu kata yang di hari-hari berikutnya
menjelma menjadi percakapan yang tak terhingga. Ia tersenyum,memintaku untuk
mengizinkannya berkunjung ke rumah. Bertamu. Mengajakku mengobrol, menemaniku
menghabiskan malam. Semalaman. Hingga malam-malam berikutnya.
Biru.
Tulang rahang dan garis muka yang keras
membentuk paras yang sangat ideal untuk seorang laki-laki. Aku akui bahwa ini benar, salah seorang
temanpernah bilang kalau dia naksir Biru. Tidak aneh. Biru memang keren. Sikapnya
yang cuek dan cenderung acuh tak acuh membuat dia dilirik banyak perempuan. Yang
kemudian aku yakini bahwa Biru tidak menyadari hal itu.
Satu hal yang membuat Biru menyukai saya, “Kamu
tidak banyak bicara,” katanya.
Kata-kata
yang membuat aku terpaku. Diam sejenak, lalu tersipu.
Biru tetap setia bercerita padaku. Hingga malam-malam
berikutnya. Obrolan tentang hari-harinya, tentang pekerjaannya, tentang
cintanya. Dan aku tetap setia menawarkan telinga yang selalu mendengar, juga
hati yang kian terbuka. Lalu jatuh cinta.
Deg, tersirat perasaan hangat. Lalu ngilu. Ah…Biru
sudah ada yang punya. Sudah ada yang menyimpan sebagian hatinya. Kepingan yang
ini hanya terlepas dan jatuh sembarangan. Logika hidup yang meminta perasaanku
kepada Biru, untuk tidak dipelihara.
“Aku kangen kamu,” bisik Biru tiba-tiba. Aku senyum
kecil mendengarnya. Biru memelukku. Kelakuannya seperti rindu yang tertertahan.
Bola matanya mengatakan banyak hal yang tak mampu kuterjemahkan. Tatapannya seolah-olah
meyakinkan kalau sebagian hatinya, adalah pasangan hatiku. Bukan sekedar
kepingan yang tercecer.
Dalam dekapannya aku tak bisa berpikir. Kecuali
meminta waktu berjalan lambat dan membiarkan aku merasakan harum yang melekat
pada kemejanya lebih lama. Sampai lelap dan tak perlu banyak cerita.
***
Biru. Lelaki yang kukenal dalam sebuah
perjumpaan. Yang perlahan membuka pintu dan melangkah dengan santai melewati
dinding tak terlihat. Yang juga membuatku berani masuk dalam sebagian hatinya.
Itu 2 tahun yang lalu.
Malam ini. Biru bercerita kepadaku. Saat pertama,
saat kesekian kalinya dia menemuiku, dan begitu ingin menemuiku. Sampai berujung
pada kesimpulan; Kita hanya sepenggal cerita backstreet masa lalu.
“It’s my fault,” kata Biru.
Mulai malam inilah aku tahu bahwa Biru tidak
akan menemuiku lagi. Juga dari sana aku kembali jatuh cinta pada Biru, melebihi
sebelumnya.perlahan, aku mengataknnya pelan di hadapan wajah Biru,
“Jangan pulang dulu, lebih lama sebentar. Ini yang
terakhir.”
Aku memeluk Biru. Lebih lama. Tapi waktu memang
tak pernah terasa baik saat di ujung perpisahan. Jam terasa seperti detik.
Malam berjalan dengan semestinya. Aku mengantar
Biru sampai ke depan pintu pagar seperti seorang tamu. Tamu yang tidak hanya
singgah di sofa, tapi juga dalam dada.
Tweet |
6 komentar:
spechless :')
@penuliscemen: salam kenal emen :) knapa speechless segala...hehe...
Fhia request cerita yang bahagia dong :D
Kyaaa....
Bagus...
Btw, gaya nulis lo yang ini beda sama yang biasanya *IMHO ya*
@kak takodok: mau sih kak..tp sbelom dapet ide d perasaan yg pas. maklum, masi depends on mood. diusahakan kok kak :) *makasi sarannya*
@iip: mgkn krn di puncak kegalauan. hahaha... belajar bikin monolog lebih banyak,..
Based on true story? Hehe
Post a Comment