Pagi,
tepatnya siang ini, ketika aku mendongakkan pandangan ke langit-langit kamar,
tepat ke cahaya lampu, keningku berkerut. Silau. Cahaya matahari menerobos
membentuk pantulan kotak-kotak jendela.
Disampingku
kertas-kertas berserakan, buku-buku masih dalam kondisi terbuka, piring kotor
bekas makan malam, gelas kopi yang tinggal ampas dan bungkus-bungkus snack yang
ludes dimakan semalam.
Diatas
meja kecil setentang kepalaku, notebook dengan posisi stand by dan kalender
meja dengan tanggal yang tidak sesuai dengan waktu ini. Training berturut-turut kemaren itu memang sukses bikin aku LDR-an sama kamar.
Tempat
tidur acak-acakan, bantal guling tidak (belum) tertata dan seprai kusu. Di pojokan
ada gundukan kain yang belum disetrika. Beberapa helai rambut rontok tergeletak
di lantai.
Kamarku…
Sepertinya
aku kembali pada situasi kemalasan akut. Akhir-akhir ini sebagian besar
waktuku habis untuk tidur. Tanpa jadwal. Tidur mengalahkan usaha untuk mendisiplinkan
membaca dan menulis skripsi setiap harinya. Buku yang sedang kubaca
mendadak hampa, tak berasa.
Aku
tidak heran. Aku bisa saja tidak tidur selama 2 hari berturut-turut. Juga, aku bisa
saja tidur selama berjam-jam dengan sesekali terbangun.tapi aku tidak pernah (belum
pernah) kuat membaca berjam-jam dengan sesekali tertidur.
Masalahnya
kemudian adalah, waktu yang tersita tidur membuat aku kalang kabut menjalani
hari-hari. Jangankan untuk membaca atau menulis, bahkan untuk sekedar merapikan
kamar atau hal-hal sepele lainnya menjadi terabaikan.
Pada
kondisi semacam itu kadang kala aku sedikit berfikir. Apa hanya aku saja yang
pernah begini? Lantas, kalau tidak, adakah ini proses menuju dewasa? Sayangnya aku
tidak punya alasan untuk menepis sekaligus menyetujuinya.
*22 mei 2012